Masjid merupakan pusat aktivitas ummat. Hakikat dari peran ini dapat kita runut dalam kesejarahan Islam di masa Nabi Muhammad SAW. Masa sosial masyarakat Madinah yang tumbuh dan berkembang juga berawal dari sini. Masjid. Dari aturan keamanan, mekanisme pasar, kebijakan politik dan militer, pendidikan, kehidupan sosial, hukum, kekeluargaan, pelaksanaan undang-undang, dakwah Islamiyah, korespondensi, penyelesaian perselisihan hukum, pengaturan tentang tekhnologi dan strategi perang, pertanian, kematian, pembagian waris, dan masih banyak lagi kegiatan kemasyarakatan yang lainnya dikendalikan dan dikembangkan oleh Rasulullah SAW Di dalam masjid Nabi.
Sumbangan signifikan masjid selanjutnya mengalami metafora seiring laju perubahan dalam dunia muslim. Dimulai dari periode Umayyah – Abbassiah – Fathimiyah – Turki Usmani hingga ia ditelantarkan dalam ruang istana dalam dekade terakhir ini. Namun di akui atau tidak masjid masih memainkan perannya secara sempurna, dalam kegiatan ilmu, pengembangan akhlak disamping ritus-ritus ritual lainnya. Bahkan sejak mulainya golongan atau kelompok sadar sejarah Islam dan “kembali ke Islam” fungsi masjid telah mulai terfikirkan dan dikembangkan dalam pola pendekatan baru kearah fungsi awal masjid sejak masa Nabi Muhammad SAW.
Diberbagai Negara muslim, masjid telah mengalami perkembangan cukup signifikan. Itu jika kita lihat dari segi arsitektur bangunannya. Yang tentunya hal tersebut disesuaikan dengan kultur sosial masyarakat muslim setempat. Dan disisi lain keadaan masjid tentu sangat memprihatinkan bagi kalangan yang hanya menitikberatkan dalam persfektif kriteria fisik semata, keadaan tersebut tidak sepenuhnya keliru dengan tidak menghilangkan karakteristik “ciri kearabannya” atau keindahan seni ukir misalnya.
Dalam suatu daerah kita dapat menyaksikan beragam dan bentuk masjid, mulai dari letak geografisnya, arsitektur bangunannya, pernak-pernik penghiasnya dan banyak karakteristik lainnya. Keadaan tersebut perlu kita pertanyakan. Jika melulu hal tersebut yang lebih ditonjolkan dalam arti melulu hanya memperhatikan kriteria fisiknyanya saja tidak pada fungsi bangunan dan peran jamaahnya atau lebih pada bagaimana masjid tersebut berfungsi untuk menjadi tempat kesepakatan hati untuk hal-hal yang bernilai konstruktif bagi pengembangan keselamatan, kesejahteraan dan peradaban ummat Islam.
Kuntowwijoyo (2001) pernah menghawatirkan tentang gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan symbol-simbol kebudayaan sering dipakai bagi sarana dominasi bagi status yang lebih tinggi dengan sanksi mitos. Ketika symbol ini menjadi segala-galanya, menjadi instrumen kemunafikan dan mengalahkan substansi dan misi, keadaan inilah yang meski didudukkan kembali pada tempatnya. Sebagaimana yang terjadi dalam hal ini, kasus masjid dhirar (sumber bencana) dimana Rasulullah SAW dilarang untuk berdiri di sana dan Beliau pun memerintahkan ummat Islam pada waktu itu untuk membakarnya. Hal ini diabadikan dalam Q.S. At Taubah ayat 108. (Meneladani Kecerdasan Emosi Nabi, Ahmad Al-Jada’, 2005).
Masjid Dhirar ini didirikan oleh Amir Arrahib dengan maksud untuk dijadikan posko bagi golongan Munafiq di Madinah saat itu. Dalam Q.S. At Taubah ayat 107 Allah SWT dengan rinci menjelaskan tentang motivasi masjid tersebut dibangun. Kekufuran, pemecah belah kaum beriman, tempat pengintaian bagi mereka yang memerangi Allah SWT dan rasul-Nya.
Tidak mengherankan jikalau saat ini kita banyak menyaksikan, tidak sedikit masjid keluarga, perusahaan tertutup, atau malah perusahaan keluarga. Diakui atau tidak meski letak geografisnya strategis dan dana sumbangan ummat melimpah. Tuntutan sosial ummat saat inilah yang akhirnya kembali akan menuntut ummat Islam itu sendiri menempatkan masjid kembali kepada fungsi dan peran awalnya. Dan dari sisi pelaku atau manusianya yakni bahwa permasalahan ummat saat ini justru berakar pada persepsi manusia modern yang ditempa ketimpangan kesalahannya karena tercerabut dari ‘spirit’ kemasjidannya.
Meski hal tersebut masih terbatas asumsi dasar, karena diakui atau tidak, belum terdapat bukti yang cukup signifikan seperti wajah masjid dipedesaan yang belum tersentuh tamaddun modern dapat mengurai permasalahan ummat saat ini. Dalam era kemerdekaan Republik ini justru hal tersebut berawal dari sana. Dari masjid, mereka para pejuang lahir dari rahim masjid, namun untuk era reformasi ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya terbukti benar. Karena peran mahasiswa dalam era reformasi banyak yang lahir dijalan, sebagaimana Kunto dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid (2001).
Dalam syi’ar Islam di Eropa dan Amerika modern saat ini. Masjid merupakan salah satu lembaga sosial Islam yang masih dapat mengendalikan sejarah dan peradaban. Mesti untuk menarik kesimpulan tidak dapat dijelaskan atau didekati dengan telaah sistematik Barat. Bukankah kita juga menyadari bahwa megahnya masjid-masjid dalam masa kejayaan Islam dibangun atas pernak pernik pemikiran Yunani. Dan demikian pula saat ini, kejayaan peradaban barat tidak dapat terlepas dari kontribusi yang terlahir dari dalam bangunan tua masjid kaum muslim.
Dan kini dalam masjid kaum muslimin, berlaku ‘kekosongan’ karena ummat lebih mementingkan perdagangan, sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT dalm Q.S. Jum’ah ayat 11 yang meninggalkan Rasulullah SAW berdiri sendirian di masjid. Kini kita juga menyadari bahwa masjid-masjid yang kita bangun tidak berfungsi optimal sebagaimana fungsi dan peran masjid Nabi SAW di awal berdirinya yang terbukti telah mampu melahirkan generasi cemerlang, generasi terbaik, generasi Rabbani. Mengapa? Karena sadar atau tidak fungsi masjid telah berubah dan telah mulai dialihkan dari misi awalnya. Sebagai contoh kecil bahwa kita juga sudah tidak akan dapat merasa aman dan nyaman berada berlama-lama di dalam masjid karena sepasang sandal anda mungkin tidak akan berada ditempat semula anda menaruhnya, disisi lain, dari luar masjid, ummat yang sedang berada atau melakukan aktivitasnya di masjid akan selalu saja dicurigai, semacam ada keadaan jikalau kita tidak ingin mengatakan semacam kecemburuan yang tidak menghendaki syi’ar Islam kembali menggema berawal dari masjid.
Mulai dari prasangka dengan mempertanyakan keabsahan ibadah, meramaikan atau memakmurkan masjid? Atau beragam sikap, sifat dan pernyataan yang bernada kecemburuan, bukan ‘‘bagian kelompok kita’, ‘tidak sejalan dengan garis organisasi’, ‘kurang mendapat restu sang guru’ dan beragam pernyataan lainnya yang justru tidak konstruktif. Yang hanya mengharuskan masjid difungsikan sebagai tempat solat jum’at saja misalnya, atau menyelewengkan fungsi dan perannya yang hanya tempat sujud saja.
Bagi mereka yang mengetahui fungsi dan peran yang dimiliki masjid semasa rasulullah SAW, tentunya mereka akan mengaktualisasikan fungsi dan peran tersebut yang dimulai dengan ibadah ritual keagamaan hingga ibadah sosial kemasyarakatan, baik yang berhubungan dengan hubungan ummat muslim, hubungan dengan ekstern agama dan hubungannya dengan pemerintahan. Jika keadaan tersebut masih berlangsung dan fungsi serta peran masjid yang sesungguhnya tidak dapat teraktualisasi, lalu bagaimana ummat Islam meski menjelaskan dan mempertanggungjawabkan mengapa masjid dizaman kita saat ini tidak berperan dan berfungsi sebagaimana fungsi dan peran yang dimainkan oleh masjid Nabi SAW? Seperti yang Beliau Rasulullah SAW contohkan dalam masa sebaik-baik ummat.
Jika kita kaji dengan lebih seksama, betapa hebatnya peran dan fungsi masjid yang telah dirintis oleh Rasulullah SAW. Dalam hal kedisiplinan, musyawarah mufakat, hingga “intruksi” kepada imam jika ia salah dalam bacaan ketika sedang mendirikan solat berjamaah. Karenanya sudah semestinyalah masjid harus dikembalikan pada fungsi dan peran awalnya. Kepada visi dan misinya, tempat sujud dalam arti yang sesungguhnya dan seluas-luasnya. Tempat mengaktualisasikan kesalehan ritual dan kesalehan sosial dalam keseharian. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman Allah SWT Q.S. Ar Ra’du ayat 15, Q.S. An Nahl ayat 49, Q.S. Al Hajj ayat 18 dan Q.S. Arrahman ayat 6.
Dengan demikian, kedudukan, fungsi dan peran masjid akan menjadi makin penting dan sentral dalam konteks kekinian ummat Islam. Quraish Shihab (2001) mengurai fungsi dan peran masjid yang telah dicontohkan oleh masjid Nabawi yakni sebagai tempat ibadah (solat dan dzikir), tempat konsultasi dan komunikasi, (masalah ekonomi, sosial, budaya dan lainnya), tempat pendidikan dan dakwah Islamiyah, tempat santunan sosial, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan tahanan, dan pusat penerangan atau pembelaan agama.
Demikianlah, sesungguhnya masjid memiliki fungsi dan peran yang demikian luas dan sentralnya. Jikalau hal tersebut kita upayakan seoptimal mungkin akan tidak mustahil jika dalam rahim masjid akan lahir generasi muslim yang dapat membimbing ummat dalam tiap aspek kehidupannya dan tidak parsial dan setengah-setengah seperti saat ini misalnya.
Sumbangan signifikan masjid selanjutnya mengalami metafora seiring laju perubahan dalam dunia muslim. Dimulai dari periode Umayyah – Abbassiah – Fathimiyah – Turki Usmani hingga ia ditelantarkan dalam ruang istana dalam dekade terakhir ini. Namun di akui atau tidak masjid masih memainkan perannya secara sempurna, dalam kegiatan ilmu, pengembangan akhlak disamping ritus-ritus ritual lainnya. Bahkan sejak mulainya golongan atau kelompok sadar sejarah Islam dan “kembali ke Islam” fungsi masjid telah mulai terfikirkan dan dikembangkan dalam pola pendekatan baru kearah fungsi awal masjid sejak masa Nabi Muhammad SAW.
Diberbagai Negara muslim, masjid telah mengalami perkembangan cukup signifikan. Itu jika kita lihat dari segi arsitektur bangunannya. Yang tentunya hal tersebut disesuaikan dengan kultur sosial masyarakat muslim setempat. Dan disisi lain keadaan masjid tentu sangat memprihatinkan bagi kalangan yang hanya menitikberatkan dalam persfektif kriteria fisik semata, keadaan tersebut tidak sepenuhnya keliru dengan tidak menghilangkan karakteristik “ciri kearabannya” atau keindahan seni ukir misalnya.
Dalam suatu daerah kita dapat menyaksikan beragam dan bentuk masjid, mulai dari letak geografisnya, arsitektur bangunannya, pernak-pernik penghiasnya dan banyak karakteristik lainnya. Keadaan tersebut perlu kita pertanyakan. Jika melulu hal tersebut yang lebih ditonjolkan dalam arti melulu hanya memperhatikan kriteria fisiknyanya saja tidak pada fungsi bangunan dan peran jamaahnya atau lebih pada bagaimana masjid tersebut berfungsi untuk menjadi tempat kesepakatan hati untuk hal-hal yang bernilai konstruktif bagi pengembangan keselamatan, kesejahteraan dan peradaban ummat Islam.
Kuntowwijoyo (2001) pernah menghawatirkan tentang gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan symbol-simbol kebudayaan sering dipakai bagi sarana dominasi bagi status yang lebih tinggi dengan sanksi mitos. Ketika symbol ini menjadi segala-galanya, menjadi instrumen kemunafikan dan mengalahkan substansi dan misi, keadaan inilah yang meski didudukkan kembali pada tempatnya. Sebagaimana yang terjadi dalam hal ini, kasus masjid dhirar (sumber bencana) dimana Rasulullah SAW dilarang untuk berdiri di sana dan Beliau pun memerintahkan ummat Islam pada waktu itu untuk membakarnya. Hal ini diabadikan dalam Q.S. At Taubah ayat 108. (Meneladani Kecerdasan Emosi Nabi, Ahmad Al-Jada’, 2005).
Masjid Dhirar ini didirikan oleh Amir Arrahib dengan maksud untuk dijadikan posko bagi golongan Munafiq di Madinah saat itu. Dalam Q.S. At Taubah ayat 107 Allah SWT dengan rinci menjelaskan tentang motivasi masjid tersebut dibangun. Kekufuran, pemecah belah kaum beriman, tempat pengintaian bagi mereka yang memerangi Allah SWT dan rasul-Nya.
Tidak mengherankan jikalau saat ini kita banyak menyaksikan, tidak sedikit masjid keluarga, perusahaan tertutup, atau malah perusahaan keluarga. Diakui atau tidak meski letak geografisnya strategis dan dana sumbangan ummat melimpah. Tuntutan sosial ummat saat inilah yang akhirnya kembali akan menuntut ummat Islam itu sendiri menempatkan masjid kembali kepada fungsi dan peran awalnya. Dan dari sisi pelaku atau manusianya yakni bahwa permasalahan ummat saat ini justru berakar pada persepsi manusia modern yang ditempa ketimpangan kesalahannya karena tercerabut dari ‘spirit’ kemasjidannya.
Meski hal tersebut masih terbatas asumsi dasar, karena diakui atau tidak, belum terdapat bukti yang cukup signifikan seperti wajah masjid dipedesaan yang belum tersentuh tamaddun modern dapat mengurai permasalahan ummat saat ini. Dalam era kemerdekaan Republik ini justru hal tersebut berawal dari sana. Dari masjid, mereka para pejuang lahir dari rahim masjid, namun untuk era reformasi ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya terbukti benar. Karena peran mahasiswa dalam era reformasi banyak yang lahir dijalan, sebagaimana Kunto dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid (2001).
Dalam syi’ar Islam di Eropa dan Amerika modern saat ini. Masjid merupakan salah satu lembaga sosial Islam yang masih dapat mengendalikan sejarah dan peradaban. Mesti untuk menarik kesimpulan tidak dapat dijelaskan atau didekati dengan telaah sistematik Barat. Bukankah kita juga menyadari bahwa megahnya masjid-masjid dalam masa kejayaan Islam dibangun atas pernak pernik pemikiran Yunani. Dan demikian pula saat ini, kejayaan peradaban barat tidak dapat terlepas dari kontribusi yang terlahir dari dalam bangunan tua masjid kaum muslim.
Dan kini dalam masjid kaum muslimin, berlaku ‘kekosongan’ karena ummat lebih mementingkan perdagangan, sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT dalm Q.S. Jum’ah ayat 11 yang meninggalkan Rasulullah SAW berdiri sendirian di masjid. Kini kita juga menyadari bahwa masjid-masjid yang kita bangun tidak berfungsi optimal sebagaimana fungsi dan peran masjid Nabi SAW di awal berdirinya yang terbukti telah mampu melahirkan generasi cemerlang, generasi terbaik, generasi Rabbani. Mengapa? Karena sadar atau tidak fungsi masjid telah berubah dan telah mulai dialihkan dari misi awalnya. Sebagai contoh kecil bahwa kita juga sudah tidak akan dapat merasa aman dan nyaman berada berlama-lama di dalam masjid karena sepasang sandal anda mungkin tidak akan berada ditempat semula anda menaruhnya, disisi lain, dari luar masjid, ummat yang sedang berada atau melakukan aktivitasnya di masjid akan selalu saja dicurigai, semacam ada keadaan jikalau kita tidak ingin mengatakan semacam kecemburuan yang tidak menghendaki syi’ar Islam kembali menggema berawal dari masjid.
Mulai dari prasangka dengan mempertanyakan keabsahan ibadah, meramaikan atau memakmurkan masjid? Atau beragam sikap, sifat dan pernyataan yang bernada kecemburuan, bukan ‘‘bagian kelompok kita’, ‘tidak sejalan dengan garis organisasi’, ‘kurang mendapat restu sang guru’ dan beragam pernyataan lainnya yang justru tidak konstruktif. Yang hanya mengharuskan masjid difungsikan sebagai tempat solat jum’at saja misalnya, atau menyelewengkan fungsi dan perannya yang hanya tempat sujud saja.
Bagi mereka yang mengetahui fungsi dan peran yang dimiliki masjid semasa rasulullah SAW, tentunya mereka akan mengaktualisasikan fungsi dan peran tersebut yang dimulai dengan ibadah ritual keagamaan hingga ibadah sosial kemasyarakatan, baik yang berhubungan dengan hubungan ummat muslim, hubungan dengan ekstern agama dan hubungannya dengan pemerintahan. Jika keadaan tersebut masih berlangsung dan fungsi serta peran masjid yang sesungguhnya tidak dapat teraktualisasi, lalu bagaimana ummat Islam meski menjelaskan dan mempertanggungjawabkan mengapa masjid dizaman kita saat ini tidak berperan dan berfungsi sebagaimana fungsi dan peran yang dimainkan oleh masjid Nabi SAW? Seperti yang Beliau Rasulullah SAW contohkan dalam masa sebaik-baik ummat.
Jika kita kaji dengan lebih seksama, betapa hebatnya peran dan fungsi masjid yang telah dirintis oleh Rasulullah SAW. Dalam hal kedisiplinan, musyawarah mufakat, hingga “intruksi” kepada imam jika ia salah dalam bacaan ketika sedang mendirikan solat berjamaah. Karenanya sudah semestinyalah masjid harus dikembalikan pada fungsi dan peran awalnya. Kepada visi dan misinya, tempat sujud dalam arti yang sesungguhnya dan seluas-luasnya. Tempat mengaktualisasikan kesalehan ritual dan kesalehan sosial dalam keseharian. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman Allah SWT Q.S. Ar Ra’du ayat 15, Q.S. An Nahl ayat 49, Q.S. Al Hajj ayat 18 dan Q.S. Arrahman ayat 6.
Dengan demikian, kedudukan, fungsi dan peran masjid akan menjadi makin penting dan sentral dalam konteks kekinian ummat Islam. Quraish Shihab (2001) mengurai fungsi dan peran masjid yang telah dicontohkan oleh masjid Nabawi yakni sebagai tempat ibadah (solat dan dzikir), tempat konsultasi dan komunikasi, (masalah ekonomi, sosial, budaya dan lainnya), tempat pendidikan dan dakwah Islamiyah, tempat santunan sosial, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan tahanan, dan pusat penerangan atau pembelaan agama.
Demikianlah, sesungguhnya masjid memiliki fungsi dan peran yang demikian luas dan sentralnya. Jikalau hal tersebut kita upayakan seoptimal mungkin akan tidak mustahil jika dalam rahim masjid akan lahir generasi muslim yang dapat membimbing ummat dalam tiap aspek kehidupannya dan tidak parsial dan setengah-setengah seperti saat ini misalnya.
0 Comments:
Post a Comment