Islam Sebagai Rahmatan lil 'Alamin
Blog Diskusi Untuk Pencerahan Pemikiran Islam (Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Teologi, Filsafat, Hukum, dan Aliran Pemikiran)
(Bacalah, Bacalah Dengan Nama Tuhanmu Yang Telah Menciptakan Kamu)
Kampus Swasta Akreditasi A Di Jakarta
-
Berikut ini kami sampaikan Kampus Swasta atau Universitas Swasta yang
mempunyai Peringkat Akreditasi A di Jakarta (Wilayah 3), berdasarkan data
dari websi...
Dalam pembukaan UUD 1945 rakyat Indonesia telah bersepakat bahwa yang ingin diwujudkan ialah masyarakat yang adil dan makmur, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, berdasar pada sila-sila Pancasila dalam konteks bernegara yang utuh dan melalui permusyawaratan rakyat.
Selanjutnya, jika demikian halnya, tatanan politik mana yang dapat menjamin keberlangsungan tujuan yang diimpikan rakyat di atas? Jika secara sederhana demokrasi dijadikan landasan. Siapa yang dapat menjamin bahwa para pemegang otoritas akan selalu tanggap secara terus menerus terhadap aspirasi dan keinginan rakyatnya?
Tatanan politik demokratis menuntut tiga unsur pokok, diantaranya pertama, adanya peluang besar untuk kontestasi, kompetisi diantara para politisi. Kedua, adanya partisipasi warga negara dalam kompetisi tersebut dan ketiga, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat.
Hal ini berarti dalam demokrasi dimungkinkan adanya pelembagaan dan perbedaan pendapat serta pelibatan rakyat dalam kontes politik untuk menentukan satu yang layak. Semakin besar peluang tersebut kita dapat menyatakan bahwa rakyat makin demokratis. Hal inilah yang secara sederhana dapat menyimpulkan mengapa demokrasi dapat dianggap sebagai suatu tatanan politik yang terus tanggap terhadap preferensi dan keinginan audiensnya.
Namun demikian, untuk dapat menjamin hal tersebut terdapat beberapa prasyarat yang meski terpenuhi yakni diantaranya dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk merumuskan apa yang menjadi kepentingan mereka, mengaspirasikan kepentingan tersebut baik dilaksanakan secara individual atau kelompok dan akhirnya mengusahakan agar kepentingan tersebut dilibatkan dalam pengambilan keputusan (decesion making). Hal ini berkonsekuensi tidak terdapatnya diskriminasi atas rakyat, baik itu berdasarkan agama, suku, asal-usul dan pembeda lainnya.
Namun pada kenyataannya hal tersebut dapat terbentur jika lembaga-lembaga pemerintahan tidak dapat menjamin apa yang dikehendaki oleh rakyat, semisal kebebasan untuk berpendapat, berserikat, hak untuk dipilih dan memilih, hak untuk berkompetisi meraih dukungan suara, hingga terjaminnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, adil dan bertanggungjawab.
Memperjuangkan apa yang dicita-citakan selaku rakyat untuk hal tersebut di atas memang tidak mudah. Disinilah dituntut semacam "kompromi kepentingan" antara yang memerintah dan yang diperintah. Namun jika perbedaan kepentingan dirasa tidak dapat dikompromikan maka konsekuensi dari keadaan ini ialah semakin besar kemungkinan masing-masing pihak akan menolak memberi peluang terhadap pihak lain untuk berpartisipasi secara aktiv dalam menentukan proses pengambilan keputusan.
Cara berfikir ini menegaskan bahwa untuk menuju tatanan yang lebih baik dibutuhkan semacam sikap "saling menjamin" antar beragam kepentingan, baik itu pemerintah atau non pemerintah. Karena disadari atau tidak sikap arogan dari masing-masing pihak dapat menimbulkan semacam "biaya sosial" yang tidak sedikit. Artinya hal tersebut sekaligus menunjukkan adanya suatu "bergaining position" yang lebih mengedepankan tujuan jangka panjang yang lebih rasional, bukan hal yang bernafsu dan sim-salabim sekali jadi pada saat itu juga.
Disatu sisi, mengingat adanya beragam kepentingan yang lebih membuat rakyat semakin terombang-ambing dalam menentukan keputusan maka disini dibutuhkan sebuah komitmen, atau katakanlah semacam kebulatan suara dalam menentukan siapa yang akan didukung, tentunya hal ini didahului dengan pendalaman pokok permasalahan yang dapat memberikan jalan keluar disamping berbagai pertimbangan yang rasional dan menguntungkan.
Disisi lain, terkait dengan prilaku pemimpin. Rakyat telah banyak belajar disaat seorang pemimpin kehilangan respek dan penghargaan terhadap rakyat dan beralih menjadi sikap arogan disanalah peran kekuasaan yang melegitimasi lebih dominan. Memang dalam kenyataannya, tidak semua perilaku pemimpin tertuju kepada kepentingan materiil, hal ini tentunya akan kembali berpulang pada sejauh mana seorang pemimpin memandang dan mempertimbangkan "reputasi di hari depannya" yang selanjutnya dapat dijadikan dasar dalam mengelola tata kepemimpinannya.
Akhirnya, untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, strategi dan taktik apa yang akan ditempuh oleh kedua belah pihak? Tidak mudah memang, namun demikian perumusan citra dan tuntunan yang moderat, memandang perjuangan dan amanah sebagai cita-cita jangka panjang, intra generasi dan antar generasi, disamping kesediaan bermitra dan bekerjasama merupakan beberapa langkah awal yang dapat ditempuh.
Namun harus diakui pula bahwa hal tersebut hanya dapat terjadi melalui proses panjang dan perlahan, setahap demi setahap tentunya disertai pula dengan setumpuk transaksi dan negosiasi kepentingan, tetapi bukan untuk kepentingan jangka pendek dan sesaat.
Terlebih disaat-saat akan berlangsungnya Pilkada kali ini, dimana tekanan dirasa makin sangat berat dan hubungan antara politisi dan rakyat tidak lagi merupakan hubungan dua arah yang sehat, yang keadaan ini oleh Susan C Stokes -Guru Besar Ilmu Politik Universitas Chicago dan Direktur Chicago Center On Democracy, dalam Mandates And Democracy: Neolibrarism by Surprise in Latin America (2001) yang disadur dalam Eep Saefullah Fatah, diidentifikasi sebagai model Rent Seeking Modal Of Democracy, model demokrasi pencari rente, yang sebenarnya para politisi tidak berniat memperjuangkan kepentingan rakyat, akan tetapi lebih untuk mencari kekuasaan bagi keuntungan sempit dan kelompoknya, ciri dari keadaan ini yakni adanya institusi-institusi demokrasi yang bekerja dengan mengabaikan Responsiveness dan Revresentativness Government.
Dan oleh Guillermo O'Donell pada 1994 menyebut struktur politik domestik semacam itu sebagai Dellegative Democracy yang merupakan lawan dari Revresentative Democracy. Dalam Revresentative Democracy para politisi mendengar suara rakyat dan bekerja untuk rakyat tidak seperti Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu ala Delegative Democracy.
Disinilah setidaknya dibutuhkan adanya dua prasyarat untuk dapat menjamin calon pemimpin tidak berbuat demikian yakni pertama adanya kemauan pemimpin untuk beranjak ketahapan berikutnya yang lebih baik, walaupun banyak yang mencibirkan hal ini, karena banyak juga yang beranggapan bahwa hal tersebut sangat beresiko bahkan terhadap pemegang otoritas itu sendiri. Kedua, kemampuan sang pemimpin untuk melakukan "transaksi" yakni dengan memberikan "jaminan" timbal balik, bahwa apa yang menjadi "kontrak transaksi" dapat dilaksanakan.
Selaku rakyat, kita berharap agar perjalanan kedepan hendaknya dapat diisi dengan upaya-upaya yang lebih terarah dengan tetap memperhatikan situasi lapangan yang lebih riil, artinya proses menuju tatanan yang lebih baik tidak akan pernah mencapai titik akhir, terkecuali kita berani beranjak -baik secara retorik maupun praktek ke tatanan berikutnya di dalam membangun sistem dan meraih cita-cita yang diimpikan dengan lebih baik dan seharusnya.
Akhirnya mau dan mampukah kita beranjak ketatanan yang lebih baik, dengan ini kita tentu bersepakat seraya menganggukkan kepala bersama. Semoga!
Resensi Buku Judul: Dakwah Menuju Islam Kaafah Penulis: Hermansyah Penerbit: Star Book Media Yogyakarta. CetakanI. 2009 ISBN: 978-979-15834-9-8
Terkadang kita tidak menyadari bahwa dari komunikasi dan interaksi kecil yang kita lakukan dengan para tukang becak, tukang ojek, buruh dipasar tradisional, kusir cidomo, para pedagang bakulan, guru ngaji, hingga penjaga toko akan sama bernilainya dengan perjanjian Camp David, perumusan tujuan suatu Negara, pembentukan dan pendirian sebuah partai bahkan hingga perjanjian Hudaibiah karena di dalam interaksi dan komunikasi kecil yang kita lakukan itu didasari dan terselip sebuah harapan akan hidup yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Menulis adalah upaya negosiasi yang tak pernah berakhir. Pengarang bernegosiasi dengan pembaca yang mungkin akan ditemuinya. Dengan bahasa dan juga dengan dirinya sendiri. Pengarang selamanya bergelut dengan makna, bahasa, tujuan yang mendorongnya, tujuan yang mungkin diraihnya dan kesadarannya. Seperti yang dikatakan oleh ‘Imad al-Din al Ishfahani (W-589 H/1201 M)
“Saya sudah merampungkan sebuah buku dan kembali membacanya dihari berikutnya, sambil menyadari bahwa saya mungkin bisa menambahkan yang ini, atau menghilangkan itu, atau mempertimbangkan hal lain, atau saya mungkin bisa memperbaiki kalimat ini atau menggabungkan kalimat itu, atau menata ulang kalimat lainnya. Singkatnya, karya manusia, pemikirannya serta usaha untuk merevisi dan mengubahnya tidak akan pernah sempurna atau selesai. Ini adalah fakta tak terbantahkan tentang ciri manusia.”
Menurut Khaled M. Abou El Fadl dalam bukunya Atas Nama Tuhan Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif. Seorang pengarang akan mempertimbangkan apakah ia akan tetap mengikuti konvensi tertentu, atau melanggarnya dan menanggung semua akibatnya. Namun ketika sebuah teks lahir, teks itu akan segera hidup, memiliki hak dan integritasnya sendiri, teks-teks yang tidak bisa dilepaskan dari pengarangnya, atau tidak dapat menantang pembaca dengan tingkat kerumitannya, atau dapat menggoda pembaca dengan berbagai nuansa makna yang dimilikinya, akan tereduksi menjadi teks-teks yang mudah ditebak, membosankan dan tertutup. Teks yang tetap terbuka akan tetap hidup, menjadi penting dan berenergi. Namun teks membutuhkan bentuk kebebasan lain, teks bukan saja harus terbebas dari paternalisme yang menguasai pengarangnya, tetapi juga dari otoritarianisme pembaca yang dapat membunuh teks tersebut. Jika kita mengharapkan sebuah proses penetapan yang hidup dan dinamis yang diharapkan dapat memberdayakan peran teks, maka harus ada situasi yang tidak jelas. Yang terus berlangsung. Kita membutuhkan sebuah keseimbangan kekuatan yang selalu ada antara teks, pengarang dan pembaca. Dominasi salah satu pihak atas yang lainnya akan melahirkan kemacetan intelektual. (M. Abou El Fadl, 2004)
Tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini diambil dari esai-esai yang pernah diterbitkan di harian lokal di pulau Lombok dalam rentang waktu yang lalu. Sedikit tidak saya juga mengharapkan agar kita kembali menengok kebelakang. Memikirkan kembali persoalan-persoalan sosial budaya kita, pada institusi keimanan dan perekonomian kita. Kaitannya dengan pendidikan dan dunia anak, saya kembali mengajak kita memeriksa kembali mitos-mitos dan budaya yang kita terapkan dalam keseharian dalam intraksi kita dengan anak-anak, pada pendidikan yang kita terapkan, pada kepedulian kita terhadap kondisi penciptaan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak kita.
Sebenarnya pola interaksi dengan anak secara sederhana dapat kita bagi dua yakni interaksi kita secara langsung dengan anak dan interaksi secara tidak langsung. Kedua bentuk interaksi ini tentunya akan membawa implikasi yang berbeda dan bergantung dari data dan informasi apa yang kita sampaikan. Susane Gaschke dalam bukunya Ende der Kindbeit (dalam Said Tuhuleley, 2003) pernah menulis bahwa anak-anak adalah “sebuah penemuan dari zaman pencerahan” dalam pengertian bahwa dunia anak-anak “baru” ditemukan ketika manusia menemukan kedewasaan, kerasionalan, kebebasan dari belenggu mitos dan keirrasionalan.
Diakui atau tidak, proses tumbuh kembang anak-anak di Indonesia sangat tidak kondusif. Hal ini diakibatkan oleh beragam faktor, mulai dari faktor ekonomi, dimana anak diwajibkan untuk bekerja meski dalam usia yang tidak pantas, mengamen dijalanan hingga menodongkan tangan berkeliling kota kerumah-rumah yang mereka anggap akan memberikan bantuan. Faktor tradisi, adat istiadat juga turut menentukan, sebagaimana yang terjadi di pulau Buru misalnya, yakni tradisi kawin piara. Lingkungan sekolah juga ternyata turut andil dalam menciptakan sesuatu yang tidak kondusif tersebut, sebagaimana yang terungkap dalam diskusi informal dengan sejumlah media cetak dan elektronik yang diprakarsai Yayasan Sampoerna di Jakarta (Kompas, 01/04/2006).
Beragam faktor tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu. Dunia pariwisata, meski tidak signifikan, justru turut memberi korelasi dalam menciptakan proses tumbuh kembang anak yang tidak kondusif bagi anak-anak. ESKA (Eksploitasi Seksual Kekerasan terhadap Anak) adalah penggunaan dan penjualan pelayanan seksual oleh anak dengan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Dengan demikian anak-anak secara tidak langsung memasuki daerah supply and demand sebagai barang yang digunakan dan dibuang, barang yang diperjualbelikan.
Selain itu paradigma berfikir orang tua masih keliru yang masih beranggapan bahwa untuk mendisiplinkan anak mestilah melalui kekerasan, apatah lagi jika itu melalui penjara. Para orang tua seakan-akan melupakan bahwa sang anak memiliki potensi-potensi unggul yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan.
Islam mengasosiasikan anak sebagai mahluk ciptaan Allah swt yang sangat lemah dan berkedudukn mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan Allah swt. Penjelasan mengenai status anak ditegaskan dalam firman Allah swt yang artinya “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka didaratan dan dilautan, kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan”
Tentang cita-cita dan harapan di masa depan dengan kita menengok kembali cara-cara yang kita lakukan dalam mencapai sebuah tujuan, metode berfikir dan merekonstruksi impian-impian yang telah kita tanamkan disaat ia berhadapan dengan realitas kekinian dan kedisinian yang kita hadapi. Dan bagaimana selanjutnya ia dapat diaktualisasikan dalam hubungannya dengan beragam permasalahan dalam masyarakat dengan melakukan sedikit corat-coret di sana-sini, dan menjadikannya sebuah strategi dan tindakan turun tangan yang jitu bagi kemakmuran ummat.
Orientasi hasil pada hakikatnya tidak terlalu buruk, namun demikian merupakan suatu keniscayaan jika kita memilih cara yang secara moral, atau agama dianggap baik, memperhatikan proses yang terangkai mesti diutamakan, karena disadari bahwa hidup merupakan proses yang panjang, hal ini akan berlaku untuk jenis kehidupan dan yang manapun. Karena perlu diperhatikan bahwa perbuatan yang hakikatnya buruk tidak dapat menjadi baik oleh motif yang baik sekalipun, hal ini karena pada hakikatnya perbuatan tersebut secara intrinsik sudah buruk.
Dengan demikian tidak ada seorangpun yang diperbolehkan untuk melakukan perbuatan yang dalam nilai instrinsiknya terkandung keburukan walaupun dalam motif dan keadaan apapun. Jika hal tersebut berlaku untuk apa kita diajarkan untuk berkata jujur walau keadaannya memang pahit. Inilah sebabnya orang harus membuang jauh-jauh prinsip atau pernyataan yang menyatakan “mencari yang haram saja susah apalagi yang halal”.
Tentang semangat keislaman, saya mengajak kita kembali membaca tentang ruang dalam institusi keimanan kita, bagaimana ia dapat menjustifikasi sesuatu dengan main mutlak-mutlakan akan suatu kebenaran, mengangkat hal-hal yang sedikit agak dianggap tabu untuk dibicarakan. Meskipun sama-sama memiliki akal, kita tentu juga harus bisa membedakan, mana akal yang sehat dan mana akal yang tidak sehat. Kelinci ditempatkan sebagai kelinci. Kambing ditempatkan sebagai kambing. Burung pipit berbeda dengan burung elang. Pipit tidak akan bisa menjadi elang, meskipun dipinjami sayap elang. Kambing tetaplah kambing, meskipun diberi jaket singa. Dia tetap mengembik, meskipun sudah berjaket dan berlagak menjadi singa. Kita tentu paham, bahwa akal Einstein tentu berbeda dengan akalnya Mr. Bean, akal Prof. Quraish Shihab berbeda jauh kualitasnya dengan akal Sumanto pemakan manusia. Begitu juga akal Imam Bukhari, tentu berbeda dengan akal Tesi. akal Umar bin Khathab sangat berbeda dengan akalnya Hitler. Karena itu, kita tidak sembarangan mengikuti akal seseorang. Akal siapa dulu yang kita ikuti. Jelas, akal setiap manusia memang tidak sama. Dalam soal pemahaman terhadap pasal 33 UUD 1945, misalnya, tentu kita lebih percaya kepada akal Mohammad Hatta ketimbang akalnya Thukul Arwana. Begitu juga, dalam soal syariah dan muamalah, normalnya, tentu kita lebih percaya kepada ahlinya ketimbang yang bukan ahlinya. Karena jika kita lebih percaya kepada yang ukan ahlinya maka kita bersiap-siaplah untuk kehancurannya, bukankah demikian yang dijelaskan Rasulullah saw?
Agama, sebagai sebuah lembaga sosial saat ini mengalami pergeseran nilai dan fungsi. Dulu ia adalah jalan hidup, pandangan dunia yang mencerahkan, ideology revolusioner dan pembela kaum tertindas. Kini, ia merupakan bagian dari gaya hidup dan symbol elite. Kecerdasan spiritual yang menjadi pesan sentral agama berjalan mundur seiring dengan kooptasi penguasa. Kapitalis yang dilambangkan dengan Qorun, cendikiawan oleh Haman, penguasa oleh Fir’aun dan ulama oleh Bal’am. Lembaga-lembaga ini telah berubah menjadi candu bagi masyarakat, sebagaimana yang diungkapkan Karl Mark, alat agitasi propaganda, symbol etnik, legitimasi dengan indoktrinasi, penyuaraan dengan penyeragaman makna “kebenaran”. Kebenaran disini seperti gergaji yang siap memotong siapa saja yang menentang.
Disisi lain segala bentuk pemikiran filosofis dan cultural diindonesia belum berperan dalam menjawab problematika kekinian. Problematika kekinian dan masa depan membutuhkan pencerahan akal budi. Tradisi-tradisi local yang menjadi wajah fisik peradaban, misalnya untuk masalah keindonesiaan belum bahkan tidak terangkat secara mendalam, terintegral dan komprehensif. Sayangnya lagi buah komitmen antropologis dalam kondisi actual dikooptasi oleh instrument realitas yang memiliki bargaining power dominan.
Beranjak dari sini, agama universal menyatukan jiwa manusia (mikrokosmos) dan jiwa alam semesta (makrokosmos) ia menghadirkan insan kamil yang tidak melulu berkutat pada kaplingisasi agama -Sebagaimana yang secara sadar atau tidak sadar dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia, tak terkecuali di NTB- menuju tuhan dalam sebuah pergerakan substansial, dalam sebuah revolusi paradigmatic-eksistensial-sosiologis tanpa batas.
Melalui keluasan dimensi inilah, aktivitas ini membutuhkan ruang public yang memadai, ruang ini perlu bersifat egaliter, inklusif, non sectarian, tidak fiqih minded (harfiah, dengan logika biner hitam putih) dan terbuka terhadap semua aliran pemikiran. Dalam ruang ini, untuk aspek tertentu, klaim kebenaran tidak diposisikan secara permanen, melekat pada kelompok tertentu, semisal para ulama, tuan guru ataupun penguasa. Cahaya kebenaran dapat lahir dari siapa saja, tanpa mengurangi prosentase cahayanya. Alih-alih menjaga tradisi suci, pengkaplingan-pembatasan-sensor pada semua wilayah pemikiran (keagamaan) malah akan menumbuhkan feodalisme gaya baru yang mengatasnamakan agama.
Wadah ini juga tidak berada pada dan/atau menjadi komoditas aliran politik tertentu. Keberpihakan pada suatu aliran politik setidaknya mengindikasikan pada dua hal signifikan. Pertama, politik demi tuhan, aktivitas berikut lembaganya memanipulasi ideologi atas nama agama (eksklusif) bukan demi internalisasi ajaran agama (inklusif). Kedua, penyempitan teologis, reduksi nilai pandangan dunia yang sacral (filosofis-transendental) menjadi sesuatu yang profan. Dengan demikian tidak ada kekhawatiran yang berlebihan bahwa gerakan cultural ini mudah diintervensi oleh rezim. Seluruh hasil kajian diharapkan mampu memberdayakan masyarakat melalui pembumian kajian yang abstrak-universal kepada hal-hal yang lebih praktis-partikular. Diharapkan juga cara pandang masyarakat terhadap perubahan fundamental tersebut akan berdampak signifikan, bahwa pada hakikatnya realitas sejati adalah realitas tertinggi. (Al-Huda Vol I No. 3, 2001).
Terkait dengan perumpamaan-perumpamaan yang telah dibuat Al Qur’an atas beragam karakteristik manusia. Maka, demikianlah kesadaran untuk membangun kembali Islam perlu sedini mungkin untuk ditumbuhkembangkan pada tiap pribadi, antar dan intra generasi muslim untuk selanjutnya didengungkan, dipropagandakan dan disebarluaskan, bahu membahu, bekerjasama. Tidak ada yang salah dalam hal ini, semuanya memiliki konstribusi dalam tiap bidang yang digelutinya tinggal bagaimana menegakkan bangunan Islam itu, bukankah hal tersebut yang diinginkan dalam Q.S. Ibrahim ayat 24, atau “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata “sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (Q.S. Fushilat ayat 33). Keadaan tersebut setidaknya akan dapat memberi sedikit gambaran tentang bagaimana manusia mengidentifikasi dan membahasakan diri mereka yang menyebabkan beragam permasalahan dalam mengaktualisasikan apa yang dirasakan dan permasalahan hidup yang dirasakan bersama.
Berikutnya tentang pelaksanaan Pilkada. saya mencoba menghadirkan kembali motif pelaksanaan pilkada, proses yang akan terjadi dan keterkaitan antara pelaksanaan pilkada dengan beragam agenda politik dan kenyataan sosial yang dihadapi disamping konsekuensi atas pilihan yang ditentukan hingga hal tersebut bukan akhir dari suatu proses terus-menerus untuk mewujudkan sebuah impian akan kenyataan, dan apa yang akan dihadapi setelah pilkada. Pilkada sendiri tidak terlepas dari sosok kepemimpinan, bagaimana ia diwujudkan, karekteristik, criteria dan syarat apa yang mesti ada dalam sosok pemimpin hingga beragam beban dan tanggung jawab yang harus diembannya, saya juga mencoba menjabarkan keterkaitan pemimpin dengan prilaku kolusi, korupsi dan nepotisme, meskipun hal itu tidak secara tuntas.
Pada masa reformasi saat ini, ummat Islam Indonesia tidak henti-hentinya memperjuangkan syariah Islam sebagai hukum positif. Keberadaan perbankan syariah setidaknya menunjukkan hal tersebut. Menurut Dawam Raharjo (2004) gerakan Islam itu sendirin secara keseluruhan dapat dibedakan menjadi dua pola yakni pola “Islam politik” yang menempuh jalur mencapai kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan syariat Islam dan “Islam kultural” yang memilih jalur budaya dan kemayarakatan. Yang pertama bertujuan menegakkan Negara Islam atau kekuasaan Islam, sedangkan yang kedua bertujuan menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam atau masyarakat madani.
Sebenarnya misi gerakan Islam untuk merealisasikan syariat dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan Negara masih terus bisa dilaksanakan. Ada dua pola realisasi yang ditawarkan Dawam, yakni melaksanakan syariat Islam sebagai hukum voulentir (voulentary law) seperti yang pernah dikemukakan Sjafrudin Prawiranegara yaitu dilaksanakan oleh dan dalam kerangka civil society yang relative independent dari Negara. Kedua, formalisasi syariat Islam menjadi hukum positif sebagai suatu jalan pintas. Karena itu, masih menurut Dawam sebenarnya bisa dilakukan dengan jalan tengah. Antara paham fundamentalis dan paham liberal. Jalan tengah itu adalah tiga metode realisasi syariat Islam di Indonesia. Pertama, ajaran-ajaran Islam yang berintikan nash harus diinterpretasikan melalui prosedur ilmiah terutama melalui proses rasionalisasi dan objektivasi. Kedua, penerapan syariat diperlukan kontekstualisasi atau dengan mempertimbangkan factor-faktor sosial dan budaya. Ketiga, upaya formalisasi syariat diupayakan melalui proses dan prosedur demokratis.
Namun demikian setiap muslim yang memiliki latar belakang akademis yang cukup serius tentu menyadari seperti yang telah disinggung di atas betapa usaha memahami keanekaragaman bukanlah perkara sederhana. Kesulitannya ialah sedikit sekali kalangan kaum muslim sendiri yang memiliki pengetahuan apalagi kesadaran tentang bagaimana mewujudkan masyarakat Indonesia yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur terlebih dalam kerangka penerapan ekonomi syariah dan otonomi daerah. Kedua, selain keanekaragaman menyangkut sosial budaya dan pilihan politik, ummat Islam Indonesia juga kurang memahami gejala Islam (dalam makna generiknya) yang telah terbukti mampu menjadi sumber energi dan kebaikan yang hebat sebagaimana yang dikatakan oleh Huston Smith.
Dalam menghadapi arus proses dan dinamika politik daerah itulah, baik organisasi pemerintah atau non pemerintah, seakan-akan diharuskan untuk dapat mentransformasikan semangat dan nilai-nilai demokratisasi, sebagaimana ciri sistem pemerintahan yang demokratis, rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi. Agar dengan hal ini dapat tercipta sistem dan tatanan pemerintahan daerah yang berkualitas, efektif dan stabil. Dan secara sederhana hal itulah yang akan menjadi titik awal proses perjalanan Pilkadasung dan calon legislatif yang terpilih untuk waktu lima tahun yang akan datang. Penyelenggaraan sistem dan tata pemerintahan daerah yang berkualitas menuntut dapat terciptanya sistem pelayanan, transfaransi dan akuntabilitas yang dapat merespon setiap perubahan yang terjadi, baik dalam sudut pandang sistem perpolitikan daerah, atau dalam lingkup sosial kemasyarakatan, secara internal atau eksternal.
Selanjutnya bagaimana ruang kekuasaan itu memasuki ruang agama sebagai sesuatu yang “suci” dan memainkan peranan yang sangat dalamperubahan sosial, pada kenyataannya agama juga dapat menjadi “alat” kekuasaan untuk membangun kekuatan, merekayasa dan membentuk pemerintahan. Agama dijadikan “alat” pembenaran, penguat, pengesahan dan legitimasi sehingga kekuasaan mendapat pembenaran. Konsep seperti inilah, yang sering dinamakan “politisasi agama” yang telah penulis sebutkan di atas. Dimana agama dipolitisasi atau dijadikan “tumbal” oleh yang namanya kekuasaan.
Pada masyarakat beragama yang sedikit tidak masih memiliki nilai religiusitas yang tinggi, apalagi sangat tradisional, dalam arti tingkat pemahaman politik keagamaan yang masih rendah politik seringkali dijadikan lompatan utama untuk mencapai tujuan tertentu, terutama tujuan politik itu sendiri. Tidak mengherankan jika kecendrungan politisi yang masih menganut konsep agama masih terus menghiasi dinamika kekuasaan di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung dan tanpa malu-malu mereka memposiskan agama sebagai manuver utama untuk manarik simpati dan kepercayaan dari masyarakat pemilih (audience). Bahkan tidak jarang Elite-elite agama menjadi “kaki tangan” kekuasaan untuk melegalkan keinginan kekuasaan. Hasan Hanafi sehubungan dengan ini, mengulasnyadalam Human Al-Fikr Al-Watan di alihbahasakan menjadi Oposisi Pasca Tradisi. Terkait dengan kekuasaan ini Hanafi menyebutkan bahwa dalam satu negara setidaknya telah terjadi dua tradisi, yaitu tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi. Tradisi kekuasaan inilah yang dominan menjadikan agama sebagai “alat” kekuasaan.
Dalam konteks ini, nampak pula distorsi. Dimana agama juga dapat dipermainkan oleh pemegang kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan yang memanfaatkan elite-elite agama sabegai agent komunikatif pada masyarakat. Justifikasi-justifikasi yang diberikan oleh elite-elite agama tentu sangat berpotensi dalam mengamankan kekuasaan dari pada kritikan, pembangkangan dari pada masyarakat. Sebagai missal dalam hal ini yakni adanya adanya pendapat dari sebagian kalangan yang menganggap fatwa haram golput sebagai fatwa politik dan pesanan dari yang berkuasa, konsekuensinya ia hanya sebatas fatwa politik yang tidak membawa-bawa masalah surga dan neraka, dosa pahala, namun lebih pada penggunaan hak suara dal proses pemilihan umum. Keluarnya fatwa ini diindikasi oleh sebagian kalangan sebagai counter terhadap pernyataan yang menganjurkan untuk golput dalam pemilu kali ini.
Konsekuensi politisasi agama ini kadang-kadang membuat pemisahan-pemisahan ajaran agama dengan kegiatan manusia. Agama dianggap sebagai wilayah individu yang berjurang dengan ruang gerak sosial. Agama berjurang dengan negara, institusi-institusi negara dan lembaga-lembaga lainnya, sehingga wilayah agama betul-betul menjadi wilayah privat dan tidak menyentuh wilayah publik. Dengan pernyataan lain “Berikan kepada Tuhan hak Tuhan dan berikan kepada Negara hak Negara” padahal disis lain ada yang berpendapat bahwa tidak ada pemisahan antara Agama dan Negara. Makanya fenomena-fenomena sosial yang kita lihat penuh dengan kegiatan-kegiatan yang kontroversi dengan ajaran agama.
Maka dari itu, agama sebagai kemasan perlu dihindari, terlepas dari pentingnya sebuah identitas bagi kelompok. Identitas hanya berlaku sebagai tanda pengenal, bukan untuk memperlakukan yang lain secara berbeda. Simbol penting, tetapi pertengkaran politik pada simbol akan mengalihkan persoalan tentang isi yang lebih penting. Begitu pula, dengan simbol agama yang banyak diusung oleh politisi dalam rangka memperoleh kepercayaan dan kekuasaan yang diharapkan.
Dan tentang bagaimana politik mencari perhatian terhadap suatu institusi keagamaan yang bernama Tuan Guru. Dan kembali mempertanyakan hubungan antara kekuasaan itu sendiri dengan masyarakat sebagai pusat kekuasaan itu sendiri. Firman Allah swt dalam Q.S. At Taubah ayat 122 yang artinya “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya kemedan perang. Mengapa tidak pergi sebagian dari masing-masing golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
Dalam ayat tersebut tampaknya terkandung bahwa tidak semua orang harus belajar agama, atau demikian juga bahwa tidak semua orang meski harus kemedan perang. Hanya sebagian kecil saja. Oleh karena itu, mestinya orang-orang yang mempelajari agama itu adalah orang-orang yang higly selected. Yakni suatu pasukan elit dengan cirri kecerdasan, dan kemampuan yang sangat tinggi. Kecerdasan disini bukan Cuma intelektual, tapi juga emosional. Karena ketika para ulama, tuan guru harus menjalankan fungsinya sebagai kekuatan moral, maka kekuatan itu sendiri adalah otoritas moral dan etik (Nurcholish Madjid, 2001). Seorang ulama, tuan guru, akan kehilangan kredibilitasnya jika menganjurkan sesuatu yang ia sendiri tidak kerjakan, atau sebaliknya, melarang sesuatu yang ia sendiri kerjakan. Karenanya ulama, tuan guru disatu sisi memiliki otoritas intelektual dan pada sisi yang lain juga memiliki otoritas moral. Ulama, tuan guru itu sendiri memang harus pilihan.
Menyangkut birokrasi, kekuasaan dan pers. Rasanya jauh panggang dari api, kiranya pernyataan itulah yang tepat untuk sebuah kata Birokrasi, yang merupakan bagian dari aparatur negara secara keseluruhan dengan tujuan yang ingin dicapainya yakni sebagai abdi negara, abdi masyarakat. Jika kita kembali menengok secara historis perjalanan sejarah bangsa ini, birokrasi sesungguhnya merupakan perpanjangan tangan kaum penjajah baik Belanda maupun Jepang, dengan demikian ia bertujuan sebagai abdi penguasa yakni penjajah.
Namun demikian sebenarnya dalam tubuh birokrasi masih dimungkinkan untuk dapat melakukan perubahan yang hal ini dapat dilakukan oleh para pemimpin politik secara obyektif, transfaran dan tanpa mampolitisasi birokrasi tersebut, artinya birokrasi harus diletakkan dalam posisinya yang netral, hal ini berimplikasi bahwa perubahan terhadap birokrasi seharusnya dilakukan dari luar birokrasi itu sendiri. Kedua pengangkatan birokrasi dari luar jalur birokrasi masih tetap dimungkinkan tentunya dengan tetap menjunjung transparansi dan akuntabilitas, walaupun dari segi kualitas harus dibatasi, hal ini diupayakan untuk dapat mengikis pemahaman dan kebisaaan sebagian masyarakat yang negatif dan pelaku birokrasi yang masih memiliki persepsi bahwa birokrasi dapat dengan mudah diperjualbelikan tergantung 'pemesan' dan 'pesanan' dalam kata lain banyaknya penyakit dalam tubuh birokrasi.
Dalam kaitannya dengan perekonomian, kaum muslim di Indonesia biasa mengatakan bahwa agama Islam dalam perekonomian berbeda dengan banyak agama bahkan aliran ekonomi yang lain, pernyataan yang sering muncul secara streotipikal itu memang mengandung kebenaran yang substansial, maka mengingkari hal itu akan berarti sama dengan mengingkari kenyataan sejarah yang telah berlangsung selama lebih dari empat belas abad dan yang masih akan berlangsung entah selama beberapa abad lagi. Dan tentu hal itu juga akan berarti sama dengan mengingkari sebagian dari esensi Islam.
Business is business. Pernyataan ini seolah-olah menunjukkan bahwa bisnis, investasi, keuangan atau kegiatan ekonomi lainnya sebagai sebuah pekerjaan yang dicemooh, dan terlepas dari nilai-nilai etika yang diakui kebenarannya. Hal ini setidaknya yang menyebabkan dunia bisnis mendapatkan konotasi yang tidak baik. Kesan dan sikap sebagian besar masyarakat seperti itu sebenarnya juga diakibatkan oleh para pelaku bisnis itu sendiri yang memperlihatkan citra yang begitu negative. Mengapa demikian? Hal ini setidaknya juga diakibatkan fleksibilitas urusan bisnis ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu dapat memanfaatkan empati-empati sosial, status, hubungan keluarga bahkan agama dalam berbagai acrobat bisnis yang telah tersistem. Tidak heran jika keterlibatan kyai atau pendeta, kelompok pencinta lingkungan bahkan para pendemo memberi kesan tersendiri akan kepedulian, yang sebenarnya berbagai kerusakan tersebut diakibatkan oleh perilaku yang tidak seharusnya.
Sang kapitalis memainkan paradoks (negatif) untuk memaksimalkan keuntungannya, virusnyamemasuki wilayah-wilayah suci dan cerdas lembaga pendidikan, pesantren bahkan masjid sebagai sasaran amuknya. Bagaimana tidak, jika hegemoni ekonomi begitu dasyat menguasai ruang dan waktu dalam hidup kita. Pola hidup bermotif bisnis dan ekonomi hamper merata memasuki segenap relung dalam keseharian kita. Gaya hidup instant, praktis yang merupakan perpaduan antara pengetahuan, ilmu dan teknologi serta bisnis menggoda keinginan manusia untuk mencari cara hidup yang lebih nyaman, gampang dan mudah diperoleh dalam laku keseharian kita, kita juga dapat mengamati bahwa situasi perkembangn dunia ekonomi (bisnis) yang saat ini berlangsung, pelan tapi pasti mencetak pelaku-pelaku yang selalu ikut arus. Tidak heran jika sebagian besar kalangan beranggapan bahwa apapun yang didapatkannya asal dapat menyenangkan dirinya, kendati diperoleh dengan cara yang tidak halal maka dianggap sebagai sesuatu yang halal, keadaan tersebut terungkap dalam : mencari yang haram saja susah apalagi yang halal.
Untuk mengatasi keadaan tersebut di atas dapatkah dimensi material yang bersifat metafisik atau nilai-nilai dari ajaran agama dapat diharapkan? yang seluruh elemen tersebut terintegrasi dalam semua aktivitas kehidupan kita, memberi pondasi kesadaran ilahiah dalam bekerja, berusaha dengan cara kerja atau usaha ilahiah pula. Meskipun kita juga menyadari bahwa tidak terdapat bukti yang kuat untuk mengambil suatu kesimpulan bahwa para pembuat kebijakan memperoleh nilai-nilai inspiratif dari agama dan mencoba mengaktualisasikannya dalam rentang waktu saat ini dan disini kedalam kebijakan-kebijakan dan kedalam kerja. Dan merupakan hal yang patut disadari pula bahwa keyakinan keberagamaan seseorang tidak lantas membawa orang tersebut taat pada seluruh perintah dan menjauhi larangan dalam pelaksanaan keyakinan keberagamaannya.
Dengan tidak menutup mata atas perkembangan ekonomi Islam dan perbankan syariah, kita akan mencoba menuangkan dan menelusuri bagaimana perbankan syariah menjamur. Dan keterkaitan keadaan tersebut dengan fenomena pendirian PT. Bank NTB Kantor Cabang Syariah. Yakni dengan telah diterapkannya UU No. 10 Tahun 1998 yang memuat beberapa pokok ketentuan antara lain, kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syari’ah, pembentukan dan tugas-tugas pokok Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dan persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, disamping UU No. 21 Tahun 2008 yang secara khusus membahas perbankan syari’ah merupakan upaya Pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syari’ah dalam memperkokoh pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundang-undangan ini dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan perbankan syari’ah dan ekonomi islam di Indonesia.
Perkembangan sektor perbankan syari’ah yang kelewat cepat ini, jika tidak disertai dengan infrastruktur yang memadai dan mendukung semisal kebijakan yang sempurna, arah kegiatan usaha dan sumber daya insani (SDI) yang professional maka konsekuensinya pembajakan karyawan akan menjadi cara yang cepat untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga professional tersebut, promosi yang terlalu cepat menjadi proses pematangan karyawan yang tidak sebanding dengan pengalaman kerjanya serta kemampuan dan keterampilan yang menuntut prestasi kerja yang tinggi bagi karyawan, sehingga mengakibatkan timbulnya sikap agresif yang terburu-buru dan cenderung mengabaikan aspek ketelitian dan kehati-hatian (Salman Taufik, 1999).
Karyawan dapat saja meninggalkan pekerjaannya karena dihadapkan pada gangguan psikis ketika dihadapkan dengan tanggung jawab dan merasa tidak tenang. Disamping itu adanya cara berfikir dari sisi kepentingan individu yang dikendalikan oleh motif memburu untung atau target perusahaan (Mannan, 1993). Jika keadaan tersebut masih berlanjut, maka tidak heran jika anggapan masyarakat terhadap perbankan syari’ah masih menganggap bahwa bank syari’ah sama saja dengan bank konvensional – bunga + bagi hasil + jilbab + assalamu’alaikum + istilah arab tidak dapat disalahkan begitu saja. (Muhamad, 2000)
Karena masyarakat selaku nasbah dan pengguna produk serta jasa bank syari’ah juga sangat mengharapkan bank syari’ah dapat memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan kapasitas maksimum bank syari’ah dan yang tidak kalah pentingnya ialah naiknya nilai manusia dalam konteks pekerjaan : profesionalisme SDI perbankan syari’ah.
Dari aspek keuangan, saya sedikit mengelaborasi tentang anggapan masyarakat bahwa waktu adalah uang, dan menjabarkan sedikit hal tentang uang disamping menjangkau bagaimana praktek “cuci uang” dilakukan. Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Maka motif permintaan terhadap uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demad for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading. Islam tidak mengenal spekulasi (money demand for speculation). Karena pada hakikatnya uang adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept, karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian, sebab semakin cepat uang itu berputar dalam perekonomian, akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik perekonomian. (Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, 2003).
Kuantitas waktu bagi tiap orang adalah sama yakni 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan. Namun demikian nilai waktu bagi setiap orang tentu akan berbeda. Hal ini akan bergantung pada bagimana orang tersebut memanfaatkan waktu. Semakin efektif (tepat guna) dan efesien (tepat cara) orang tersebut menggunakan waktunya maka akan semakin tinggi nilai waktu tersebut baginya.
Kedua indikator pemanfaatan waktu tersebut (efektif dan efesien) tentunya akan memberikan komitmen yang secara langsung akan dirasakan saat beraktivitas dalam kegiatan ekonomi sehari-hari artinya secara sunnatullah manfaatnya akan langsung dirasakannya disini. Di dunia. Dalam islam, keuntungan yang menjadi tujuan atau aktivitas mu’amalah seorang muslim yakni tidak hanya di dunia saja, namun juga di akhirat. Karenannya pemanfaatan waktu tersebut juga harus didasari pada nilai (keimanan) dan hal tersebut merupakan tujuan tertinggi atau keuntungan yang hendak diwujudkan diakhirat.
Karena dalam ekonomi Islam tidak menghargai waktu sebagai uang, maka imbalan atas konsumsi yang ditunda tidak perlu diberikan. Bukankah pilihan orang untuk menabung atau mengkonsumsi juga ditentukan oleh kebutuhan. Memang jika penabung diberikan imbalan bunga misalnya, tentunya hal ini akan berpengaruh dan menimbulkan perubahan terhadap pilihannya dan kemungkinan besar hal itulah yang mengakibatkan penabungan uang atau penimbunan barang secara berlebih-lebihan. Perbuatan penimbunan barang dan penabungan yang secara berlebih-lebihan inilah yang dengan tegas dilarang oleh Al Qur’an dalam Q.S. At Taubah ayat 34-35 yang artinya “sampaikanlah hukuman yang berat terhadap orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan allah. Sesungguhnya akan tiba saatnya harta mereka itu akan dihancurkan oleh api neraka dan dahi, lambung dan punggung mereka akan dihanguskan olehnya (lalu dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Pada dasarnya uang memiliki fungsi pada tiga hal yakni sebagai alat tukar yang memisahkan antara keputusan membeli dan menjual, sebagai satuan pengukur nilai terhadap suatu komuditas dan terakhir sebagai alat penyimpan kekayaan. Dengan ketiga fungsi ini, maka untuk menjaga dan menstabilkan fungsi uang terkait erat dengan kebijakan moneter. Dimana kebijakan moneter tersebut harus memiliki kontribusi positif dalam mewujudkan tujuan sosio ekonomi misalnya pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan serta tingkat pertumbuhan ekonomi riil optimal yang berakibat pada tiadanya pengangguran dan tentunya stabilitas nilai mata uang.
Dalam sistem ekonomi islam, meningkatnya permintaan uang bersumber pada kebutuhan untuk bertransaksi dan berjaga-jaga yang sebagian besar ditentukan oleh tingkat pendapatan dan distribusinya, sebaliknya jika permintaan uang bertujuan untuk berspekulasi yang misalnya hal tersebut dapat dipicu oleh fluktuasi suku bunga maka hal tersebut diharamkan dan hal tersebut tergolong ke dalam riba nasi’ah. Larangan ini dimaksudkan untuk mencegah pelaku ekonomi tidak masuk ke dalam suatu sistem yang cara-caranya tidak diketahui. Karena itu dalam sistem moneter islami posisi dan fungsi bank memiliki perbedaan yang mendasar. Uang dalam perbankan islami difungsikan sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, namun bukan sebagai barang dagangan. Uang tidak diperjualbelikan baik secara langsung maupun kredit yang dapat dimonopoli oleh seseorang atau kelompok.
Buku ini juga menjelaskan bagaimana paradoks-paradoks yang ada disekitar bagian yang diangkat dalam kumpulan esai dan bagaimana ia turut serta dalam konteks latar tulisan-tulisan tersebut di tulis. Karena buku ini ditulis dalam rentang waktu yang lalu, maka pembaca akan sedikit menemukan kata-kata atau kalimat yang akan kembali mengajak kita untuk menengok rentang waktu tersebut, karenanya mohon pembaca dapat memakluminya.
Sebagai sebuah kumpulan tulisan dengan tema yang terbatas, saya menyadari bahwa buku ini memiliki kekurangan yakni karena ia merupakan kumpulan tulisan esai, maka buku ini tidak memiliki isyu yang terfokus, sehingga yang ada dalam tulisan hanyalah letupan singkat dan tidak tuntas secara lebih mendalam. Namun demikian meskipun hanya berupa letupan kecil penulis berharap letupan tersebut akan memiliki substansi dan arti penting paling tidak sebagai bahan kajian dan evaluasi kita bersama. Disamping itu aspek-aspek teoritisnya setidaknya dapat menjadi sumbangan dalam wacana pemikiran
Taqyuddin An-Nabhani (1990) seorang pemikir Islam terkemuka, pernah mengatakan bahwa pemikiran bagi umat manapun adalah sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya yang mereka miliki dalam kehidupan mereka, apabila mereka adalah sebuah umat yang baru lahir bahkan ia merupakan peninggalan yang demikian berharga yang akan diwarisi oleh generasi penerusnya, apabila umat itu telah menjadi sebuah umat yang memiliki identitas dalam bentuk pemikirannya yang maju.
Jangan takut berfikir, demikian seolah-olah yang merangsang setiap penulis untuk menulis, melakukan pengkajian terhadap apa saja yang ditangkap dan menyelaraskannya dengan pesan yang terkandung dalam kitab suci. Bukankah kitab suci juga selalu menyindir manusia dengan ungkapan-ungkapan afala ta’kiluun, afala tatafakkaruun dan sebagainya. Kita mengenal sebuah dictum sederhana bahwa berteori tanpa praktek akan terasa hambar. Analog dengan dictum itu juga berlaku bahwa tidak ada gunanya mengenal kitab suci tanpa menjalankan ajaran agama, sebaliknya juga berlaku bahwa tidak ada gunanya menjalankan ajaran agama jika kita tidak mengenal kitab suci.
Modal manusia menurut kitab suci ialah mahluk yang diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya , selanjutnya dijadikan menjadi mahluk yang senista-nistanya, terkecuali jika ia beriman. Dalam hal ini dari sejarah kita bias menengok yang merupakan manifestasi firman allah swt menyangkut asal usul kejadian manusia. Para nabi dan rasul didatangkan untuk memberi ajaran mengenai iman. Namun demikian semakin jauh dari rentang waktu kehidupan para nabi dan rasul, manusia cenderung makin jauh dari agama. Hal ini setidaknya diakibatkan manusia sudah tidak bias lagi melihat bagaimana menerapkan agama sebagaimana yang dihayati dan diamalkan oleh para nabi dan rasul menghadapi perubahan situasi, kondisi dan tempat yang baru.
Kaum agamawan ortodoks ternyata terbelenggu oleh pikirannya mengenai agama. Kaun ilmuwan terbelenggu oleh pikirannya menyangkut ilmu pengetahuan. Kaun kapitalis terbelenggu oleh pikirannya mengenai kekayaan duniawi. Kaum penguasa terbelenggu oleh pikiran dan ambisinya menyangkut kekuasaan. Begitulah setidaknya revolusi yang dialami dalam kurun sejarah manusia. Kenyataan ini seolah menyatakan bahwa manusia yang terbelenggu oleh pikirannya cenderung akan memperbudak orang lain dengan pikirannya itu. Inilah yang merupakan asal muasal dari bencana sosial dalam kehidupan manusia.
Tentang manusia beriman, ayat suci memperingatkan bahwa musuh agama yang paling tangguh adalah orang-orang yang mengaku dirinya beriman, bisa jadi kita termasuk didalamnya. Yang hanya sekedar mengaku beriman yang ditunjukkan dengan identitas diri, dalam angka-angka statistic atau dikarenakan orang tua kita beriman. Tanpa pernah bias menyadari bahwa agama (Islam) itulah pedoman yang sempurna dalam hidup. Tanpa sadar ummat Islam telah mengubur Islam hidup-hidup yang telah membiarkan Islam hanya tertutup dalam kitab suci dan tanpa pernah dibaca terlebih dikaji, yang hanya dipajang dalam etalase dengan setumpuk debu tebalnya waktu.
Kita bisa saja menjadi “penurut” dengan syarat kita mesti mempertanyakan apa yang kita ikuti. Yang diikuti juga mesti menjadikan kita manusia, memberdayakan untuk memerdekakan. Tentunya ada semacam conditio sine qua non dari yang kita ikuti yakni ia mesti beragama, merdeka dalam makna keagamaan.
Tema-tema yang diangkat dalam tulisan ini juga terbatas, karena ia memang terbatas pada latar ruang, waktu dan tempat, masyarakat, sosial dan budaya, ekonomi dan politik serta dinamika lainnya. Disamping terbatas karena ia sangat-sangat subjektif secara emosional dan intelektual. Penulis juga bertanya apakah buku yang merupakan kumpulan esai ini layak untuk diterbitkan? Atau adakah ia memiliki otoritas untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan tema yang diangkat? Namun demikian, saya juga menyadari akan masih banyaknya kekurangan disana-sini, baik dari segi penulisan, penggunaan bahasa dan pengetahuan yang rata-rata sama dengan pembaca lainnya.
Saya menyadari, masih banyaknya kekurangan dalam buku ini. Karenanya, jika terdapat saran perbaikan dari pembaca, penulis akan sangat tersanjung dan menerimanya dengan terbuka. Namun jika tidak ada atau belum ada, semoga para pembaca tidak berkeberatan menerima salam santun dari penulis.
Marhaban yaa Ramadhan. Ramadhan di Indonesia dari tahun ke tahun memiliki “tema” yang berbeda-beda. Terlebih jika kita perhatikan dan menyimak tema Ramadhan yang diusung oleh beragam media massa di negeri ini.
Suasana menyambut datangnya bulan suci ini acap kali juga dijadikan salah satu tolak ukur dalam menilai ‘kebangkitan ummat Islam’ dinegeri yang mayoritas berpenduduk muslim. Penilaian tersebut juga beragam dari “kemenangan”, “kebangkitan” hingga toleransi dan ketidakberdayaan. Ramadhan juga sering dijadikan salah satu strategi esensialisme dimana symbol-simbol keagamaan (Islam) kembali ditampilkan dalam keberagaman corak dan pemahamannya.
Charles Taylor (1992) –dalam Christine Susanna Tjin (2006)- menjelaskan bahwa dinamika identitas tidak terlepas dari politik pengakuan yang memiliki karakter dialogis. Identitas individu terbentuk melalui proses dialog antar individu itu dengan individu atau kelompok lain. Pada tataran publik, wacana identitas Islam merupakan titik keseimbangan antara politik universalisme Islam, sebuah pemahaman bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin dengan demikian bersifat universal, untuk tiap masa, waktu dan tempat. Kedua, politik beberagaman, dimana keanekaragaman suatu identitas diakui. Hal ini lahir dari peningkatan pemahaman terhadap keberagaman manusia seiring perkembangan zaman.
Saat universalisme menjadi titik tekan maka esensialisme akan menjadi salah satu strategi untuk menolak penyeragaman. Strategi ini kerap menggunakan symbol-simbol lama (historis) atau menciptakan symbol-simbol baru (kekinian) yang dianggap mewakili atau bahkan mengandung esensi. Namun meski juga disadari bahwa esensialisme tidak melulu efektif dijadikan strategi terdepan karena ia memiliki kecendrungan terlalu asik dengan symbol, tanpa memperhatikan substansi. (Kompas, 12/08/2006).
Contoh menarik untuk hal ini yakni, organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama di Surabaya beberapa waktu yang lalu. NU tegas menolak formalisasi syariat, yang harus diamalkan adalah esensinya dalam konteks keberagaman dan kebangsaan. Secara khusus NU menolak peraturan daerah yang secara eksplisit disebut Perda Syariat. Hal tersebut didasari asumsi bahwa pancasila adalah pilihan final yang meniscayakan penghargaan atas keberagaman (Kompas, 12/08/2006). Contoh lain misalnya dalam KabinetRI pertama yang dikenal dengan sebutan ‘Kabinet Soekarno’ yang berumur pendek, tidak disebut-sebut Kementrian Agama. Namun baru dalam kabinet berikutnya lembaga tersebut dicantumkan. Dan sejak saat itu tidak pernah ‘hilang dari peredaran‘. Kabinet kedua tersebut dikenal dengan Kabinet Sjahrir. Pertanyaannya adalah mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran-pemikiran Islam justru tidak mau mencantumkan kementrian agama dalam kabinetnya. Sedangkan Sjahrir yang diklasifikasikan ‘tokoh sekuler’ justru menciptakannya? Rasanya mustahil. Sjahrir sendiri tidak pernah percaya bahwa keimanan dapat dikonkretkan kedalam sebuah lembaga, tanpa kehilangan kreativitas dan elannya. Lalu mengapa?
Jawabannya tentu saja kepentingan nasional. Tanpa kementrian agama, ‘golongan Islam’ tidak dapat menerima pemerintahan sah yang dipimpinnya. Dan sebagai pemimpin bangsa ia harus memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok lain. Sedangkan Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu, ketika membentuk kabinet pertama. Atau setidak-tidaknya tidak menganggap penting aspirasi ‘ummat beragama’ itu (Abdurrahman Wahid, 2000).
Jika kebangkitan ummat (Islam) di negeri ini hanya diukur berdasarkan penyambutan dan ritus Ramadhan, sepertinya kita terlalu menyederhanakan hal tersebut. Simplikasi itu seakan mengenyampingkan prestasi-prestasi yang telah diraih ummat Islam dinegeri ini. Meskipun hal tersebut diperoleh melalui tarik ulur keterlibatan atau tidak, formalisasi atau tidak dan lain sebagainya.
Ernest Renan pernah mengatakan bahwa bangsa bukanlah sesuatu yang kekal, mereka akan muncul dan akan lenyap. Kita tentu tidak menginginkan lenyapnya bangsa ini, karenanya mau tidak mau kita juga harus belajar dari sejarah, jika antar warga bangsa ini bisa saling menghormati dan menghargai keberagaman. Hal ini tentu akan memudahkan sinergi menuju kejayaan bangsa. Karenanya prasyarat awal berupa tingkat pendewasaan ummat dan pemahaman akan substansi dari keberagaman meski terus dipupuk dan ditumbuhkembangkan.
Kita telah memilih demokrasi pancasila untuk kehidupan beragama, termasuk di dalamnya antar etnis dan agama. Dalam demokrasi pancasila semua etnis, semua agama mendapat tempat terhormat. Karena dalam demokrasi pancasila ditetapkan prinsip toleransi sebagai penghormatan keragaman diantara warganya. Jika tidak semacam ‘menyongsong perbedaan’ diantara warganya, dan hal inilah yang setidaknya mulai saat ini kita renungkan.
Jika terdapat konflik, coba diselesaikan dengan cara-cara beradab seperti musyawarah untuk mufakat. Segala fanatisme agama atau rivalitas etnis atau superioritas ras tidak diakui karena keberagaman meski dihargai. Hal tersebut setidaknya juga pernah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW saat Beliau memimpin Negara Madinah. Demikian halnya dengan para khulafaurrosyidun. Dengan demikian esensialisme dan keberagaman dalam Ramadhan kali ini tentunya akan memberikan semacam nuansa baru bagi bangsa Negara ini.
Kiranya Ramadhan kali ini dapat dijadikan momentum untuk menyadari dan menyambut keberagaman. Siapa tahu dari sini akan muncul kerinduan untuk makin terpanggil mengimplementasikan semangat keberagaman dan menunjukkan esensialisme Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Masjid merupakan pusat aktivitas ummat. Hakikat dari peran ini dapat kita runut dalam kesejarahan Islam di masa Nabi Muhammad SAW. Masa sosial masyarakat Madinah yang tumbuh dan berkembang juga berawal dari sini. Masjid. Dari aturan keamanan, mekanisme pasar, kebijakan politik dan militer, pendidikan, kehidupan sosial, hukum, kekeluargaan, pelaksanaan undang-undang, dakwah Islamiyah, korespondensi, penyelesaian perselisihan hukum, pengaturan tentang tekhnologi dan strategi perang, pertanian, kematian, pembagian waris, dan masih banyak lagi kegiatan kemasyarakatan yang lainnya dikendalikan dan dikembangkan oleh Rasulullah SAW Di dalam masjid Nabi. Sumbangan signifikan masjid selanjutnya mengalami metafora seiring laju perubahan dalam dunia muslim. Dimulai dari periode Umayyah – Abbassiah – Fathimiyah – Turki Usmani hingga ia ditelantarkan dalam ruang istana dalam dekade terakhir ini. Namun di akui atau tidak masjid masih memainkan perannya secara sempurna, dalam kegiatan ilmu, pengembangan akhlak disamping ritus-ritus ritual lainnya. Bahkan sejak mulainya golongan atau kelompok sadar sejarah Islam dan “kembali ke Islam” fungsi masjid telah mulai terfikirkan dan dikembangkan dalam pola pendekatan baru kearah fungsi awal masjid sejak masa Nabi Muhammad SAW. Diberbagai Negara muslim, masjid telah mengalami perkembangan cukup signifikan. Itu jika kita lihat dari segi arsitektur bangunannya. Yang tentunya hal tersebut disesuaikan dengan kultur sosial masyarakat muslim setempat. Dan disisi lain keadaan masjid tentu sangat memprihatinkan bagi kalangan yang hanya menitikberatkan dalam persfektif kriteria fisik semata, keadaan tersebut tidak sepenuhnya keliru dengan tidak menghilangkan karakteristik “ciri kearabannya” atau keindahan seni ukir misalnya. Dalam suatu daerah kita dapat menyaksikan beragam dan bentuk masjid, mulai dari letak geografisnya, arsitektur bangunannya, pernak-pernik penghiasnya dan banyak karakteristik lainnya. Keadaan tersebut perlu kita pertanyakan. Jika melulu hal tersebut yang lebih ditonjolkan dalam arti melulu hanya memperhatikan kriteria fisiknyanya saja tidak pada fungsi bangunan dan peran jamaahnya atau lebih pada bagaimana masjid tersebut berfungsi untuk menjadi tempat kesepakatan hati untuk hal-hal yang bernilai konstruktif bagi pengembangan keselamatan, kesejahteraan dan peradaban ummat Islam. Kuntowwijoyo (2001) pernah menghawatirkan tentang gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan symbol-simbol kebudayaan sering dipakai bagi sarana dominasi bagi status yang lebih tinggi dengan sanksi mitos. Ketika symbol ini menjadi segala-galanya, menjadi instrumen kemunafikan dan mengalahkan substansi dan misi, keadaan inilah yang meski didudukkan kembali pada tempatnya. Sebagaimana yang terjadi dalam hal ini, kasus masjid dhirar (sumber bencana) dimana Rasulullah SAW dilarang untuk berdiri di sana dan Beliau pun memerintahkan ummat Islam pada waktu itu untuk membakarnya. Hal ini diabadikan dalam Q.S. At Taubah ayat 108. (Meneladani Kecerdasan Emosi Nabi, Ahmad Al-Jada’, 2005). Masjid Dhirar ini didirikan oleh Amir Arrahib dengan maksud untuk dijadikan posko bagi golongan Munafiq di Madinah saat itu. Dalam Q.S. At Taubah ayat 107 Allah SWT dengan rinci menjelaskan tentang motivasi masjid tersebut dibangun. Kekufuran, pemecah belah kaum beriman, tempat pengintaian bagi mereka yang memerangi Allah SWT dan rasul-Nya. Tidak mengherankan jikalau saat ini kita banyak menyaksikan, tidak sedikit masjid keluarga, perusahaan tertutup, atau malah perusahaan keluarga. Diakui atau tidak meski letak geografisnya strategis dan dana sumbangan ummat melimpah. Tuntutan sosial ummat saat inilah yang akhirnya kembali akan menuntut ummat Islam itu sendiri menempatkan masjid kembali kepada fungsi dan peran awalnya. Dan dari sisi pelaku atau manusianya yakni bahwa permasalahan ummat saat ini justru berakar pada persepsi manusia modern yang ditempa ketimpangan kesalahannya karena tercerabut dari ‘spirit’ kemasjidannya. Meski hal tersebut masih terbatas asumsi dasar, karena diakui atau tidak, belum terdapat bukti yang cukup signifikan seperti wajah masjid dipedesaan yang belum tersentuh tamaddun modern dapat mengurai permasalahan ummat saat ini. Dalam era kemerdekaan Republik ini justru hal tersebut berawal dari sana. Dari masjid, mereka para pejuang lahir dari rahim masjid, namun untuk era reformasi ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya terbukti benar. Karena peran mahasiswa dalam era reformasi banyak yang lahir dijalan, sebagaimana Kunto dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid (2001). Dalam syi’ar Islam di Eropa dan Amerika modern saat ini. Masjid merupakan salah satu lembaga sosial Islam yang masih dapat mengendalikan sejarah dan peradaban. Mesti untuk menarik kesimpulan tidak dapat dijelaskan atau didekati dengan telaah sistematik Barat. Bukankah kita juga menyadari bahwa megahnya masjid-masjid dalam masa kejayaan Islam dibangun atas pernak pernik pemikiran Yunani. Dan demikian pula saat ini, kejayaan peradaban barat tidak dapat terlepas dari kontribusi yang terlahir dari dalam bangunan tua masjid kaum muslim. Dan kini dalam masjid kaum muslimin, berlaku ‘kekosongan’ karena ummat lebih mementingkan perdagangan, sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT dalm Q.S. Jum’ah ayat 11 yang meninggalkan Rasulullah SAW berdiri sendirian di masjid. Kini kita juga menyadari bahwa masjid-masjid yang kita bangun tidak berfungsi optimal sebagaimana fungsi dan peran masjid Nabi SAW di awal berdirinya yang terbukti telah mampu melahirkan generasi cemerlang, generasi terbaik, generasi Rabbani. Mengapa? Karena sadar atau tidak fungsi masjid telah berubah dan telah mulai dialihkan dari misi awalnya. Sebagai contoh kecil bahwa kita juga sudah tidak akan dapat merasa aman dan nyaman berada berlama-lama di dalam masjid karena sepasang sandal anda mungkin tidak akan berada ditempat semula anda menaruhnya, disisi lain, dari luar masjid, ummat yang sedang berada atau melakukan aktivitasnya di masjid akan selalu saja dicurigai, semacam ada keadaan jikalau kita tidak ingin mengatakan semacam kecemburuan yang tidak menghendaki syi’ar Islam kembali menggema berawal dari masjid. Mulai dari prasangka dengan mempertanyakan keabsahan ibadah, meramaikan atau memakmurkan masjid? Atau beragam sikap, sifat dan pernyataan yang bernada kecemburuan, bukan ‘‘bagian kelompok kita’, ‘tidak sejalan dengan garis organisasi’, ‘kurang mendapat restu sang guru’ dan beragam pernyataan lainnya yang justru tidak konstruktif. Yang hanya mengharuskan masjid difungsikan sebagai tempat solat jum’at saja misalnya, atau menyelewengkan fungsi dan perannya yang hanya tempat sujud saja. Bagi mereka yang mengetahui fungsi dan peran yang dimiliki masjid semasa rasulullah SAW, tentunya mereka akan mengaktualisasikan fungsi dan peran tersebut yang dimulai dengan ibadah ritual keagamaan hingga ibadah sosial kemasyarakatan, baik yang berhubungan dengan hubungan ummat muslim, hubungan dengan ekstern agama dan hubungannya dengan pemerintahan. Jika keadaan tersebut masih berlangsung dan fungsi serta peran masjid yang sesungguhnya tidak dapat teraktualisasi, lalu bagaimana ummat Islam meski menjelaskan dan mempertanggungjawabkan mengapa masjid dizaman kita saat ini tidak berperan dan berfungsi sebagaimana fungsi dan peran yang dimainkan oleh masjid Nabi SAW? Seperti yang Beliau Rasulullah SAW contohkan dalam masa sebaik-baik ummat. Jika kita kaji dengan lebih seksama, betapa hebatnya peran dan fungsi masjid yang telah dirintis oleh Rasulullah SAW. Dalam hal kedisiplinan, musyawarah mufakat, hingga “intruksi” kepada imam jika ia salah dalam bacaan ketika sedang mendirikan solat berjamaah. Karenanya sudah semestinyalah masjid harus dikembalikan pada fungsi dan peran awalnya. Kepada visi dan misinya, tempat sujud dalam arti yang sesungguhnya dan seluas-luasnya. Tempat mengaktualisasikan kesalehan ritual dan kesalehan sosial dalam keseharian. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman Allah SWT Q.S. Ar Ra’du ayat 15, Q.S. An Nahl ayat 49, Q.S. Al Hajj ayat 18 dan Q.S. Arrahman ayat 6. Dengan demikian, kedudukan, fungsi dan peran masjid akan menjadi makin penting dan sentral dalam konteks kekinian ummat Islam. Quraish Shihab (2001) mengurai fungsi dan peran masjid yang telah dicontohkan oleh masjid Nabawi yakni sebagai tempat ibadah (solat dan dzikir), tempat konsultasi dan komunikasi, (masalah ekonomi, sosial, budaya dan lainnya), tempat pendidikan dan dakwah Islamiyah, tempat santunan sosial, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan para korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan tahanan, dan pusat penerangan atau pembelaan agama. Demikianlah, sesungguhnya masjid memiliki fungsi dan peran yang demikian luas dan sentralnya. Jikalau hal tersebut kita upayakan seoptimal mungkin akan tidak mustahil jika dalam rahim masjid akan lahir generasi muslim yang dapat membimbing ummat dalam tiap aspek kehidupannya dan tidak parsial dan setengah-setengah seperti saat ini misalnya.
"Saya Herman-Sasaki. Saya suka membaca hal-hal yang tak terfikir dan tidak lagi difikirkan di dalam Islam kontemporer dan jejak ke masa depan yang kian hari kian sumpek dan muram dengan ajaran-ajaran "tidak pada tempatnya" Kritisisme yang selalu saya upayakan untuk berdiri di atas landasan tradisi pemikiran Lokal, Islam dan Barat. Tradisi itu telah mewujudkan dirinya dalam khazanah literatur yang terakumulasi sejak abad ke 2 H/ 8 M dan Kontemporer. Saya berupaya untuk selalu mengkritisi gagasan "yang tidak pada tempatnya" karena bagi saya keadaan tersebut mampu merusak nalar dan akal sehat, seperti halnya penyalahgunaan Narkoba"
Feed2PDF: Konversi RSS Feed Ke PDF
-
Anda punya blog favorit yang biasa anda baca secara online? Mungkin suatu
saat anda ingin membacanya secara offline ketika waktu sedang senggang.
Tool on...