1.Summary/abstract
Pada dasarnya semua agama itu bertujuan baik, karena mengajarkan masalah mendasar yang penting dan penuh makna. Perbedaan agama yang ada seharusnya dapat melahirkan proses interaksi dan toleransi yang proporsional dan positif. Dimana masing-masing pemeluk agama dapat saling menjalankan agamanya secara dewasa, bertanggung jawab, dan tanpa saling mengganggu. Bahkan seharusnya perbedaan agama dapat melahirkan sikap berlomba-lomba dalam kebaikan dan ketinggian moral untuk merefleksikan ajaran kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kepedulian sesama, karena masing-masing masyarakat beragama ingin menunjukkan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling menjunjung tinggi etika, baik etika kepada manusia maupun kepada Tuhan.
Namun kenyataannya, saat ini sangat sulit mencari agama yang benar-benar diperuntukkan untuk perdamaian dunia (rahmatan lil alamin). Karena, agama seringkali dijadikan “kedok” untuk melakukan tindak kekerasan, kecurangan, pembunuhan juga teror sebagai dalih untuk mewujudkan kedamaian, keadilan dan perlawanan atas nama Tuhan. Dan semua tindak kekerasan itu bersumber pada teks-teks suci yang ada pada kitab masing-masing. Teks-teks yang ada pada kitab diartikan secara subjektif oleh penganutnya sehingga memberi pandangan yang negatif bahwa Tuhanlah yang membuka peluang besar untuk menimbulkan konflik berdarah. Klaim-klaim atas tindakan kekerasan yang dibenarkan dan merujuk pada teks-teks suci agama monoteis (Yahudi, Kristen dan Muslim) merupakan penghalang utama tercapainya harapan agama sebagai rahmat bagi semesta. Pertikaian antar etnik yang terjadi diberbagai belahan dunia dan pertarungan untuk membenarkan kalim masing-masing yang nampaknya semua itu berlandaskan pada firman-firman Tuhan adalah bukti nyata.
Kekuasaan Tuhan seringkali diekspresikan dalam bentuk yang menakutkan berupa sanksi, hukuman, siksaan, kekalahan musuh dan superioritas kekerasan. Kaum fundamentalisme seringkali mengatasnamakan Tuhan dan Agama serta mengutip ayat-ayat yang ada dalam kitab suci dalam melakukan terorisme. Teks-teks suci yang di dominasi bayangan kekerasan memberikan motivasi dan inspirasi untuk melakukan terorisme tersebut. Mereka menyakini bahwa tindak kekerasan itu dilegalkan karena ajaran kekerasan tersebut telah termaktub dengan jelas dalam kitab suci, baik kitabnya orang Yahudi, Kristen maupun Muslim.1
Tuduhan terhadap agama yang tidak hanya membawa misi perdamaian, tetapi juga misi kekerasan sulit untuk ditolak manakala menyaksikan bahwa agama seringkali digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindak kekerasan yang dilakukan sebagian umat beragama. Paling tidak ada tiga alasan mengapa agama memiliki kemungkinan untuk dijadikan landasan dan pembenaran tindak kekerasan. Pertama, adalah karena fungsi agama sebagai ideologi. Dalam fungsi ini agama kemudian menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana tatanan sosial di anggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan. disisi lain fungsi perekat ini juga bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidakadilan dan kesenjangan yang selalu menjadi topik yang panas dan acapkali melahirkan tindak kekerasan.
Kedua, adalah fungsi agama yang juga sebagai faktor identitas. Agama secara spesifik dapat di identikkan kepemilikannya pada manusia atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos dan sebagainya. Hal ini lebih mengkristal lagi bila dikaitkan dengan identitas lainnya seperti seksual (jenis kelamin), etnis (kesukuan), bangsa dan sebagainya. Pertentangan etnis, kelompok, bangsa dan sebagainya sangat mungkin melahirkan kekerasan dan di sini agama sangat mungkin untuk turut diikutsertakan juga. Ketiga, fungsi agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme ini bukan sakralisasi hubungan antar manusia, tetapi suatu hubungan antar manusia yang mendapat dukungan dan legitimasi dari agama.
Menyangkut peran agama, sebenarnya terdapat dua konsep penting yang dimiliki setiap agama yang dapat mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni (a) fanatisme dan, (b) toleransi. Seharusnya kedua konsep ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama tertentu bisa menjebak ke dalam pengaburan makna ajaran agama, selain bahwa eksistensi agama juga akan melemah karena dalam situasi ini orang terkadang tidak lagi bangga dengan agama yang mereka peluk. Agama bisa saja akhirnya hanya menjadi sekedar ritual karena agama yang bersangkutan sama derajat dan kebenarannya dengan agama lainnya yang ada.
Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya.
Selain masalah fanatisme dan toleransi seperti di atas, agama juga mendorong pemeluknya untuk memiliki keterikatan dengan agama yang dianutnya. Keterikatan ini bisa diimplementasikan melalui bentuk-bentuk ritual (praktek keagamaan) secara ketat, selain dengan penghayatan tingkat tinggi kepada ajaran-ajaran agama. Dalam situasi tertentu, tuntutan keterikatan ini bisa memunculkan sikap-sikap radikal, yang bahkan bisa menjurus kepada tindak kekerasan, karena hal itu berkaitan dengan upaya secara ketat menjalankan ajaran agama dan secara keras meluruskannya ketika agama dianggap telah diselewengkan. Jadi kekerasan atas nama agama, bisa dikatakan tidak hanya sebagai kelanjutan dari fundamentalisme yang menguat, tetapi juga karena hadirnya tantangan dari luar yang juga menguat.
Dalam konteks ini, primordialisme juga muncul secara kuat sehingga kekerasan pihak luar yang dilawan kekerasan adalah salah satu manifestasi bentuk primordialisme tersebut. Selanjutnya, kekerasan atas nama agama bisa terjadi juga karena munculnya hubungan di antara keduanya yang ditandai oleh ambiguitas, yakni sifat mendua yang sangat nyata. Inilah yang kemudian melahirkan pepatah bahwa agama ibarat dua sisi mata uang yang bertolak belakang yakni sebagai sumber kedamaian, sekaligus sebagai sumber kekerasan dan konflik. Kalangan agamawan boleh saja mengklaim orientasi kepada kedamaian sudah intrinsik dalam tradisi dan ajaran agama-agama, tetapi secara intrinsik pula agama telah memancing dan melahirkan terjadinya konflik dan kekerasan.
Menurut Ihsan Ali-Fauzi,2 bahwa akar kekerasan teologis juga bisa bersifat internal dan eksternal. Untuk akar teologis internal, Ihsan menyebutnya sebagai kaum fundamentalis agama sedangkan akar teologis yang bersifat eksternal menurutnya adalah kaum fundamentalis sekuler. Lebih lanjut menurut Ihsan, mereka yang berada di kedua front fundamentalis di atas, baik fundamentalis agama maupun sekuler, keduanya sama-sama dirugikan dengan kekerasan atas nama agama, kecuali jika mereka berpandangan bahwa kehidupan yang normal adalah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya konflik dan kekerasan secara terus-menerus. Integrasi agama dan kekerasan memang bisa terjadi dalam banyak situasi.
Namun demikian menurut Charles Kimball,3 terdapat lima situasi dimana agama sangat berpotensi untuk berintegrasi dengan tindak-tindak kekerasan. Pertama, ketika agama mengklaim kebenaran agama sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Sebagai bukti, Kimbal mencontohkan suatu kasus tentang klaim kebenaran di kalangan Kristen Fundamentalis. Kedua, agama bisa melahirkan tindak kekerasan ketika dibarengi dengan ketaatan secara membabi buta kepada pemimpin agama. Ketiga, agama juga menurut Kimbal bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika umatnya mulai merindukan zaman ideal mereka di masa lalu dan bertekad merealisasikannya pada masa sekarang. Kimbal memberi contoh ide Negara (agama) Yahudi seperti dicetuskan oleh Rabbi Mei Kahane yang berakibat terusirnya warga Rabdu dari daerah Judea dan Samaria. Keempat, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika tujuan tertentu menghalalkan segala cara. Tujuan ini, menurut Kimbal bisa dimotivasi karena berbagai hal seperti (a) karena mempertahankan tempat suci. (b) untuk melindungi ajaran agama yang dirasa sedang dalam bahaya. (c) untuk mempertegas identitas kelompok dari dalam dan (d) untuk mempertegas indetitas kelompok melawan orang luar; Kelima, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika perang suci (holy war) sudah dipekikkan.
Proses terjadinya integrasi kekerasan teologis dalam diri umat beragama dapat dijelaskan melalui tiga variabel utama.4 Pertama, variabel norma dan ajaran agama. Ajaran agama yang berisi norma-norma senantiasa mempengaruhi tingkah laku dan tindakan umatnya. Namun, ajaran agama tentu saja harus diinternalisasikan dan diinterpretasikan karena kebanyakan bersifat sangat umum. Hal ini juga merupakan keniscayaan karena setiap masyarakat beragama mengalami proses sosialisasi primer yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, disamping juga karena perbedaan pengalaman, pendidikan, dan tingkatan ekonomi diantara mereka. Dari proses internalisasi dan interpretasi inilah lahir apa yang diidealkan, terutama yang berkaitan dengan cita-cita kehidupan masyarakat kaum beragama. Kedua, variabel sikap dan pemahaman agama. Sikap dan pemahaman agama merupakan kelanjutan dari ajaran dan norma agama. Asumsinya adalah bahwa selalu ada beberapa sikap umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan norma dan ajaran agama mereka. Sikap ini tersimbolkan dalam penerapan pemahaman kaum beragama ke dalam norma dan ajaran agama mereka. Dalam hal ini biasanya muncul golongan nisbi, substansialis dan skripturalis. Ketiga, variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang nyata dalam masyarakat. Hal ini meliputi juga faktor-faktor domestik dan internasional.
Hegemoni politik oleh Negara ataupun represi yang dilakukan individu ataupun kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok umat beragama akan melahirkan respon yang berbeda-beda dari individu dan kelompok yang ada. Kalangan nisbi biasanya sama sekali tidak merespon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya kelompok skripturalis yang diasumsikan biasanya akan memperlihatkan sikap radikal termasuk menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara, kelompok substansialis, meskipun memiliki kepedulian terhadap agamanya masing-masing dalam berbagai bidang, mereka akan memperlihatkan sikap lebih moderat dibanding kelompok skripturalis. Melalui ketiga variabel di atas, proses integrasi kekerasan teologis dijelaskan melalui akar teologis kekerasan (yang bersumber dari ajaran-ajaran dan norma-norma agama), melalui akar antropologis (yang berkaitan dengan kemampuan manusia menerima, memahami dan menafsirkan ajaran dan norma agama melalui implemantasinya dalam sikap dan cara hidup, sebagai suatu budaya) dan melalui akar sosiologis (yakni bersumber dari relasi sosial politik antar individu dan kelompok umat beragama yang berbeda-beda baik dalam skala lokal, domestik (nasional) maupun internasional).
Dari uraian diatas dengan demikian kajian ini akan menarik dan menjadi penting untuk mengkaji pengaruh fundamentalisme terhadap agama dalam hal ini pengaruh teks Al Qur’an dan Bibel, selanjutnya dari hal tersebut kita akan coba menemukan entry point tentang akar fundamentalisme tersebut, dalam arti apakah tindak kekerasan itu bersumber pada teks-teks suci yang ada pada kitab masing-masing agama? Dan bagaimana masing-masing kelompok menafsirkan teks-teks tersebut, apakah teks-teks yang ada pada kitab-kitab tersebut diartikan dsedemikian rupa sehingga memberi pandangan yang negatif bahwa Tuhanlah yang membuka peluang besar untuk menimbulkan konflik berdarah atau bagaimana?
2. The Hypothesis, Problem, or Question, Sense of Academic Crisis
Sense of crisis penulis buku ini (Jack Nelson dan Pall Mayer) seorang Kristiani berawal adanya fakta mengenai gambaran tuhan yang dirasakan identik sebagai penghukum dan penganiaya, serta sebagai pemaksa dan bertindak sewenang-wenang dan hal tersebut merupakan tema yang dominan dalam ketiga agama monoteisme (Yahudi, Kristen dan Islam). Dari fakta inilah penulis selanjutnya mengajak kepada umat beragama untuk lebih jernih dalam melihat kejahatan yang mengatasnamakan Tuhan di inti teks-teks suci agama monoteisme (Yahudi, Kristen dan Islam.5
Kedua, adanya klaim kebenaran dari masing-masing agama dalam arti klaim kebenaran ini berangkat dari interpretasi terhadap teks-teks suci agama, permasalahannya adalah kekerasan yang actual didasarkan pada teks-teks sehingga dapat dikutip secara rasional oleh pemeluk agama sehingga membenarkan tindak kekerasan yang mereka lakukan.6
Sehingga dalam bukunya ini penulis mengajak para pembaca, khusunya para pemeluk agama monoteisme untuk lebih memahami tentang hal-hal sebagai berikut : Pertama, tentang bagaimana penerimaan tradisi kekerasan atas nama Tuhan dalam teks-teks suci yang mendorong kekerasan manusia dan mendukung prilaku sewenang-wenang untuk mendapatkan kekuasaan. Gambaran yang dominan dari kekuasaan Tuhan dalam Bibel dan Qur’an diperkuat dengan otoritas hak atas penguasaan kepercayaan dan kepemilikan orang lain. Kekuasaan tuhan sering kali diekspresikan dalam bentuk yang menakutkan, berupa sanksi, hukuman, siksaan, kekalahan musuh dan superioritas kekerasan. Kedua, tentang bagaimana penyebaran dan penerimaan terhadap tradisi kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan, menguatkan hubungan antara kekerasan dan ketuhanan, sehingga secara fungsional kekerasan menjadi agama baru didunia ini. Kebanyakan orang -termasuk orang-orang beriman- Ateis, Kristen, Muslim , Marxis, Yahudi, polities, penganut kepercayaan, revolusioner, kontrarevolusioner, komunis, kapitalis anarkis, fundamentalis dan pemimpin Negara yang menghukum Negara -pendukung terror dan terorisme- meyakini bahwa tindakan kekerasan itu benar. Jika agama dan kepercayaan itu merupakan pokok kesetiaan, maka bisa dikatakan bahwa kekerasan merupakan prinsip agama dunia.7
Ketiga, tentang krisis agama Kristen, kekerasan dan teks-teks suci dalam konteks militerisasi AS. Permasalahan Islam dan kekerasan dimunculkan setelah kejadian penyerangan teroris pada 11 September 2001. Meskipun orang-orang cukup keras memperbincangkan agama Kristen dan kekerasan dalam kontekk militerisasi AS yang didahului dan diikuti kekerasan. Dan terakhir penulis mengajak para pembaca untuk mencari sebuah jalan keluar dari spiral kekerasan sebagai jantung kehidupan dunia, tentang bagaimana menampilkan ide-ide sebagai jalan alternative untuk mendekati teks-teks suci sehingga kita dapat belajar dari penyimpangannya.8
Seperti yang telah dikemukakan di atas, Kajian ini menjadi penting untuk mengkaji pengaruh fundamentalisme agama dan akar fundamentalisme benarkah bahwa semua tindak kekerasan itu bersumber pada teks-teks suci masing-masing agama baik itu Al Qur’an maupun Bibel. Selanjutnya teks-teks yang ada pada kitab diartikan secara subjektif oleh penganutnya sehingga memberi pandangan yang negatif bahwa Tuhanlah yang membuka peluang besar untuk menimbulkan konflik berdarah. Klaim-klaim atas tindakan kekerasan yang dibenarkan dan merujuk pada teks-teks suci agama monoteis (Yahudi, Kristen dan Muslim) merupakan penghalang utama tercapainya harapan agama sebagai rahmat bagi semesta. Pertikaian antar etnik yang terjadi diberbagai belahan dunia dan pertarungan untuk membenarkan klaim masing-masing yang nampaknya semua itu berlandaskan pada firman-firman Tuhan adalah bukti nyata. Benarkan demikian?
Kekuasaan Tuhan seringkali diekspresikan dalam bentuk yang menakutkan berupa sanksi, hukuman, siksaan, kekalahan musuh dan superioritas kekerasan. Kaum fundamental seringkali mengatasnamakan Tuhan dan Agama serta mengutip ayat-ayat yang ada dalam kitab suci dalam melakukan terorisme. Teks-teks suci yang di dominasi bayangan kekerasan memberikan motivasi dan inspirasi untuk melakukan terorisme tersebut. Mereka menyakini bahwa tindak kekerasan itu dilegalkan karena ajaran kekerasan tersebut telah termaktub dengan jelas dalam kitab suci, baik kitabnya orang Yahudi, Kristen maupun Muslim. Benarkan demikian?
3. The Importance of Topic
Diskursus tentang fundamentalisme merupakan wacana lama yang sering menimbulkan pro dan kontra, terlebih ketika istilah ini diembel-embeli dengan nama Islam. Sebab, istilah ini tidak pernah ada dan tersebar di kalangan umat Islam sepanjang sejarah mereka selama berabad-abad. Oleh sebagian orang, istilah fundamentalisme Islam menjadi umum dipakai untuk menunjukkan pandangan sekelompok muslim yang tidak disenangi Barat.
Violence atau al-`unuf atau kekerasan merupakan kata yang "laris" dan komersial sejak tragedi 11 September 2001. Di samping kata tersebut, ada juga Osama bin Laden yang hingga hari ini disebut-sebut sebagai "dalang" beberapa peristiwa tindak kekerasan. Di Barat, kata violence identik dengan harakah islamiyah (pergerakan Islam). Sedangkan di Timur (baca: dunia Islam), kata al-`unuf identik sebagai sebuah "tantangan" dari luar, yakni Barat.9
Stagnasi negatif saat ini adalah berdampak pada agama Islam teroris, karena Al Qur’an mengajarkan tindak kekerasan. Oleh karenanya, Islam harus dihapuskan. Dan penghapusan Islam ini, harus dimulai dari penghapusan nilai-nilai Qur’ani. Akhirnya, berbagai tudingan "singgah" ke wajah Islam dan kaum Muslimin. Fenomena ethnic cleansing yang terjadi di Palestenia, kekerasan yang terjadi di Irak, pertempuran yang terjadi di Chechnya (yang sekarang sudah dilupakan), kematian Rafiq Al-Hariry dan isu kekerasan lainnya, oleh Barat dinilai sebagai tindakan pihak Islam, yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok harakah islamiyah. Tiga kelompok Islam yang ada di Irak yakni Al-Jihad wa Al-Tawhid (yang dipimpim oleh Abu Mushab Al-Zarkawi), Anshar Sunnah dan Al-Jaisy Al-Islamiy, dipandang oleh Amerika sebagai kelompok teroris. Bahkan Israel menganggap penduduk Palestina sebagai teroris, karena melakukan perlawanan (al-muqâwah). Fenomena rancu inilah kiranya yang harus dilihat secara objektif. Benarkah Islam itu teroris? Apa benar Al Qur’an mengajarkan umat Islam untuk melakukan tindak kekerasan? Dan apakah wacana kekerasaan itu khusus (terjadi) di negara-negara Islam?10
Menurut M. ‘Âbid al-Jâbirî, istilah ‘muslim fundamentalis’ awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al-Afghânî. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tidak memiliki istilah padanan yang tepat untuk menerjemahkan istilah Salafiyyah. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa term ‘Muslim Fundamentalis’ adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan atau kelompok Islam Kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir.11
Adapun M. Said al-Asymawi mengatakan bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat Kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrim dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islam pun muncul. Fazlur Rahman, seorang tokoh yang biasa digolongkan “modernis”, menyebut fundamentalis sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial”, “anti intelektual” dan pemikirannya “tidak bersumberkan kepada Al-Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam”.12
Sementara itu, Dr. Hamim Ilyas, dalam buku Is Religion killing Us? (Membongkar Akar Kekerasan Dalam Bibel dan Qur’an) memaparkan fundamentalisme sebagai berikut.13 :
“…Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi, sehingga yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin teologis, tapi juga doktrin-doktrin ideologis. Doktrin-doktrin itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam Faraj, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi…”
Demikianlah di antara pandangan tafsir fundamentalis yang dikemukan para ilmuwan. Pada makalah kali ini selain kajian tentang fundamentalisme dan seputar perbedaan pendapat disekitarnya yang menyangkut “fundamentalisme islam” kita juga akan melihat sejauh mana Al Qur’an dan Bibel memberikan andil dalam menciptakan akar kekerasan agama ini dan bagaimana kedua teks suci tersebut di tafsirkan sehingga dapat menjadi akar timbulnya fundamentalisme agama. Sebenarnya, pandangan-pandangan lain yang dianggap sebagai pandangan “fundamentalis Islam” masih banyak. Penulis sengaja mengambil beberapa pendapat di atas sekadar sebagai contoh, bukan dengan maksud membatasi. Selain itu, pembahasan kita akan terlalu panjang dan melebar apabila penulis mencantumkan pandangan-pandangan yang lain
Alquran dan Kekerasan
Apa yang dilakukan oleh umat Islam merupakan implementasi dari ajaran Islam dan Al Qur’an. Namun demikian kita tidak akan dapat menjamin bahwa setiap pemeluk agama (baik itu Yahudi, Nasrani ataupun Islam) akan menjalankan ajaran agama dan meniunggalkan apa yang tidak dikehendaki oleh agamanya masing-masing. Islam tidak pernah mengajarkan tindak kekerasan, dan Al Qur’an tidak mengandung ajaran kekerasan. Kalaupun ada orang Islam yang melakukan tindak kekerasan, itu tidak dapat diklaim sebagai meanstream ajaran Islam dan Al Qur’an.
Dengan mengutip Al Qur’an dan hadits Rasul saw, Muhammad al-Sa`diy menyatakan bahwa Allah mengutus para rasul disertai dengan bukti yang nyata, kitab suci dan neraca (keadilan), agar mereka dapat melaksanakan keadilan (Q.S. Al-Hadid ayat 25), Allah akan menghancurkan para pelaku kezaliman (Q.S. Ibrahim ayat 13), orang-orang yang zalim akan menerima azab yang dahsyat, karena mereka fasik (Q.S.. Al-A`raf ayat 165, Al Qur’an melarang umat Islam untuk mengikuti (cenderung) kepada orang-orang zalim, bahkan meraka tidak boleh dijadikan wali (pemimpin). Yang menjadikan mereka sebagai wali (pembantu), akan disentuh oleh api neraka (Q.S. Hud ayat 112-113), Al Qur’an mewanti-wanti agar tidak menerima bentuk kezaliman dan merasa enjoy terhadap bentuk ketidakjujuran. Orang yang mendiamkannya, padahal mampu untuk melawan dan merubahnya akan dikenakan azab di dunia dan akhirat (Q.S. Al-Anfal ayat 25). Oleh karena itu, Islam menyeru umatnya agar melawan kezaliman, menghapuskan kemunkaran dengan segala cara, diantaranya adalah kekuatan (Q.S. Al-Hajj ayat 39, Q.S. An-Nisa' ayat 75, Q.S. Al-Hujurat ayat 9, Q.S. Al-Anfal ayat 39, dan Q.S Asy-Sura ayat 39-42).
Selain ayat-ayat Al Qur’an di atas, banyak hadits Nabi saw yang mengajak untuk menentang bentuk kezaliman itu. Diantaranya "Tidak seorang Nabipun yang diutus oleh Allah sebelum aku, kecuali memiliki para hawariyyun (pengikut setia) dan para sahabat yang melaksanakan Sunnahnya dan mengikuti jejaknya. Setelah itu, muncullah beberapa generasi yang hanya bisa ngomong tapi tidak mengerjakan, dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Barangsiapa yang melawan mereka itu dengan tangannya, maka dia mukmin, siapa yang melawannya dengan dengan lisannya ia adalah mukmin dan siapa yang menentangnya dengan hatinya, maka ia (juga) mukmin. Dan selain itu tidak ada nilai iman meskipun hanya sebesar atompun" (HR. Muslim). Selain itu ada juga Hadist yang menyatakan "Sesungguhnya, jika manusia melihat kezaliman dan tidak merubahnya dengan tangannya, maka ditakutkan siksa Allah akan turun kepada mereka" (HR. Abu Dawud, al-Turmdzi dan Ibnu Majah) berikutnya adalah kisah seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah saw lalu ia bertanya "Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang datang mau mengambil hartaku? Rasul menjawab "Jangan berikan kepadanya! Bagaimana kalau dia menyerangku? Tanyanya lagi. Lawanlah ia!, jawab Rasul. Ia bertanya lagi 'Bagaimana seandainya dia membunuhku? Engkau syahid, jawab Rasul. Ia balik bertanya: "Bagaimana kalau aku yang membunuhnya? Dia masuk neraka, kata Rasul. (HR. Muslim). (Jurnal Islamic World Studies Centre, vol. I, 1991: 176-177.14
Selain itu, dalam Alquran terdapat cara (gaya) dalam melakukan amar makruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran ayat 105). Hadits Rasul saw menyatakan bahwa "Pemimpin para syuhada adalah Hamzah ibn Abdul Muthallib dan seseorang yang berdiri tegas di hadapan pemimpin yang tidak adil, ia memerintahkan kepadanya (untuk berbuat baik) dan melarangnya (dari berbuat jahat), lalu pemimpin itu membunuhnya" (HR. Al-Hakim). Dalam hadits yang lain, Rasul saw menyatakan "Barangsiapa diantara kamu yang melihat satu bentuk kemunkaran, maka ubahlah ia dengan tangannya, jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya; dan jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Itulah selemah-lemah iman" (HR. Muslim). Al Qur’an juga mengajarkan agar menyeru ke jalan Allah itu dengan berbagai cara yakni nasehat yang baik, perkataan yang halus, dialog (al-hiwar), dan adu argumen (al-jadal) dengan cara yang baik (Q.S. An-Nahl ayat 125, Q.S. Thaha ayat 18-19, Q.S. Al-Maidah ayat 27-29 dan Q.S. Al-Baqarah ayat 258).15
Al Qur’an menyebutkan segala cara melawan kezaliman di atas, agar umat Islam dapat memilih bentuk yang sesuai dengan mereka dan kondisi mereka, sesuai dengan keadaan pemerintahan yang melenceng dari syariat, sesuai kadar kezaliman dan penyelewengannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya tindak kekerasan, kesulitan dan ekstrimisme. Dan Al Qur’an menyebutkan cara melakukan perubahan "yang baik" (aman) hingga cara lewat kekuatan untuk menghindari fitnah, menjaga terjadinya pertumpahan darah, menjaga nyawa manusia, kemaslahatan manusia, kestabilan dan keamanan social, agar tidak sembarangan menggunakan kekuataan, kecuali setelah melaksanan cara yang lebih aman dan tersedianya sebab-sebab yang mendukung tercapainya perubahan dengan menggunakan kekuatan.
Pandangan-Pandangan Tafsir Para Ulama
Kecenderungan penafsiran secara rigid dan literal yang disematkan pada kaum “fundamentalis Islam” adalah pernyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus disadari dan diakui. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul hadits, kaum zhahiriyah maupun kelompok besar mayoritas dari ahli ra’yi, seluruhnya menerima majaz (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir terjadi ijma’ bahwa nash-nash yang tidak bisa ditakwilkan, yang dalam istilah ahli ushul fikih disebut “nash” adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu, ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam.16
Demikian juga, penafsiran terhadap Al-Quran maupun penjelasan (syarh) terhadap As-Sunnah dalam Islam merupakan interpretasi berdasarkan pengetahuan yang mapan. Keduanya terikat erat dengan syarat-syarat yang ketat. Adanya persyaratan ketat tersebut mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran. Dalam menafsirkan Al-Quran misalnya, mufassir harus menguasai minimal 15 macam pengetahuan sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi. 15 pengetahuan tersebut meliputi bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqâq, al-ma’âni, al-bayân, al-badî’, ilmu qira’ah, ushuluddin, ushul fikih, asbâbun nuzûl, an-nâsikh wa al-mansûkh, fikih, hadits-hadits, dan ilmu muhibah (ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya).17 Selain 15 ilmu ini, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, ada tiga syarat pengetahuan tambahan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir kontemporer, yaitu :
1.Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
2.Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
3.Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.18
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Langkah pertama yang harus ditempuh oleh seorang mufasir dijelaskan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi, “Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antar pendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’.”19
Metode penafsiran seperti yang telah dikemukakan oleh Imam As-Suyuthi di atas disebut dengan tafsîr bil ma’tsûr yang berpijak pada nash (teks) dan riwayat yang shahih. Riwayat baru dapat diterima setelah melalui seleksi ketat. Para ulama muhadditsin kita telah mengembangkan metode seleksi riwayat dengan melihat pada bersambung tidaknya sanad dan bagaimana keadaan perawi. Khusus untuk menilai keadaan rawi, berkembanglah ilmu al-jarh wa at-ta’dîl dengan berjilid-jilid kitab yang ditulis para ulama dalam bidang ini, di antaranya adalah Mizân Al-I’tidâl karya Imam Adz-Dzahabi.
Sebagai contoh demikian ketatnya seleksi riwayat yang dilakukan oleh para ulama muhadditsin, seorang rawi akan jatuh kredibilitasnya manakala didapati menipu hewan peliharaannya dengan memanggilnya sambil memperlihatkan makanan, namun ketika hewan tersebut mendekat ternyata ia tidak memberinya makan. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa para ulama kita telah melakukan kritik terhadap sumber riwayat sebelum mereka menerimanya. Maka dari itu, riwayat shahih yang berisi tafsir Al-Quran memiliki kualitas ilmiah yang tinggi.
Apabila seorang mufasir tidak menemukan penafsiran suatu ayat dalam nash atau riwayat shahih, maka ia wajib berijtihad dengan mengikuti ketentuan-ketentuan berikut :
1.Memulai penafsiran ayat yang berhubungan dengan lafal-lafal tunggal dari segi bahasa, sharaf, dan isytiqâq dengan memperhatikan makna-makna yang digunakan pada waktu turunnya Al-Quran Al-Karim.
2.Lalu hal itu diikuti dengan membicarakan struktur kalimat dari segi i’rab dan balaghah.
3.Mendahulukan makna hakiki daripada makna majazi dengan tidak mengartikannya ke makna majazi kecuali apabila tidak mungkin mengartikannya secara makna hakiki.
4.Memperhatikan sebab turunnya ayat.
5.Memperhatikan hubungan (munâsabah) antara ayat sebelumnya dengan ayat selanjutnya, point-point dalam satu ayat, dan sebagian ayat dengan ayat lainnya.
6.Memperhatikan maksud konteks kalimat.
7.Menyesuaikan tafsir terhadap ayat yang ditafsirkan tanpa mengurangi dan menambahi
8.Menyesuaikan tafsir terhadap perkara-perkara yang diketahui termasuk ilmu alam, tradisi masyarakat, serta sejarah umat manusia secara umum dan sejarah Bangsa Arab secara khusus ketika turunnya Al-Quran.
9.Menyesuaikan tafsir terhadap petunjuk dan perjalanan hidup Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena beliau memiliki kemakshuman dalam menjelaskan Al-Quran dengan sunnahnya yang mencakup perkataan, perbuatan, sifat, dan pernyataannya.
10.Mengakhiri masalah dengan menjelaskan makna dan kesimpulan hukum hasil dari tafsir dalam batas-batas kaidah bahasa, syari’at, dan ilmu-ilmu alam.
11.Memperhatikan kaidah tarjih ketika terdapat ayat yang mengandung beberapa kemungkinan makna.20
Meski sudah menguasai seperangkat ilmu yang diperlukan untuk menafsirkan Al-Quran, seseorang belum layak untuk menjadi mufassir Al-Quran sebelum terpenuhi syarat lain, yaitu syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Inilah di antara yang membedakan tradisi keilmuan dalam Islam dan Barat. Dalam Islam, ilmu tidak bisa dipisahkan dari amal sehingga seorang alim harus mencerminkan ilmunya dalam kepribadiannya.
Syarat mufasir Al-Quran yang berkenaan dengan aspek kepribadian menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy adalah:
1.Akidah yang lurus
2.Terbebas dari hawa nafsu
3.Niat yang baik
4.Akhlak yang baik
5.Tawadhu‘ dan lemah lembut
6.Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala
7.Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8.Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9.Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.21
Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna‘ Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufasir, yaitu :
1.Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan
2.Jujur dan teliti dalam penukilan
3.Berjiwa mulia
4.Berani dalam menyampaikan kebenaran
5.Berpenampilan simpatik
6.Berbicara tenang dan mantap
7.Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya
8.Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran.22
Dengan persyaratan yang cukup ketat seperti yang telah dijelaskan di atas, akan disadari bahwa sebenarnya, munculnya penafsiran terhadap nash secara rigid dan literal alias kaku sangat jauh dari kemungkinan terjadi. Selama seseorang mengikuti penafsiran para ulama yang berkompeten dalam bidang ini, ia tidak akan terjatuh ke dalam model penafsiran secara rigid dan literal. Oleh karena itu, pandangan tafsir fundamentalis seperti yang dituduhkan semestinya tidak akan ditemui bahkan tidak ada dalam Islam. Memang, sebuah penafsiran bisa saja dituduh rigid dan literal karena tidak sesuai dengan pandangan-pandangan liberal yang sering mendekonstruksi pemahaman Islam yang sudah mapan. Akan tetapi, dalam berbagai bidang ilmu ada rambu-rambu dan ketentuan yang harus dipatuhi, termasuk dalam tafsir Al-Quran. Orang yang tidak mau mengikuti ketentuan tersebut akan tidak “nyambung” ketika memaksakan diri berbicara dalam bidang ilmu yang tidak dia patuhi rambu-rambu dan ketentuannya. Wallâhu a’lam.
Fundamentalisme Dalam Ayat-Ayat Al Qur’an
Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa sebenanya Al-Quran tidak mengajarkan atau mengandung nilai-nilai “fundamentalisme”. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran yang merupakan kunci untuk memahami Al-Quran. Selama penafsiran itu benar, yaitu sesuai dengan kaidah penafsiran dan dilakukan oleh ulama yang memiliki otoritas dalam bidang ini, maka “fundamentalisme” sama sekali tidak terdapat dalam penafsiran tersebut.
Apa yang dituduhkan orang sebagai doktrin fundamentalisme bisa jadi adalah bagian dari doktrin Islam. Namun demikian ketika doktrin itu diembel-embeli oleh pihak tertentu dengan “fundamentalisme”, jadilah ia seakan-akan salah dan bukan bagian dari doktrin Islam. Maka dari itu, dalam pembahasan berikutnya kita akan melihat bagaimana tafsir para ulama terhadap pesan-pesan Al-Quran yang sering dituduh sebagai doktrin fundamentalisme. Berikut akan diuraikan hanya dua permasalahan pokok yang sering dianggap sebagai doktrin fundamentalisme, yakni doktrin islam kaffah dan doktrin kedaulatan hukum Tuhan
Doktrin Islam Kaffah
Dr. Hamim Ilyas menyatakan bahwa doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Karena itu dalam konteks dunia modern sangat ditekankan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara, sehingga Hasan al-Banna mendifinisikan Islam sebagai agama dan negara (ad-din wa ad-daulah).
Dalam hubungannya dengan doktrin ini, Islam dikembangkan sebagai ideologi negara yang di antaranya dirumuskan oleh Dr Mukhotim El Moekry yang mengatakan bahwa Islam sebagai ideologi memiliki makna satu-satunya jalan hidup bagi manusia yang mengharapkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dan ideologi Islam itu hanya dapat diaplikasikan melalui kepatuhan hamba manusia atas perintah Allah dan larangan-Nya ketika sedang menghadapi hidup ini. Doktrin Islam kaffah ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 208 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)23
Menurut Hamim Ilyas, konsep Islam kaffah seperti di atas adalah salah, dan sering menjadi landasan kaum fundamentalis dalam membenarkan tindak kekerasan selama ini. Oleh karena itu, kata Hamim,
“Demi mencegah terjadinya hal tersebut maka dalam menafsirkan Islam kaffah haruslah memperhatikan munasabah dan asbabun nuzul secara jernih dan akurat. Dalam ayat-ayat Al-Quran dibicarakan beberapa kategori orang dilihat dari segi keseimbangan hidupnya. Sebagian menginginkan dunia dan yang lain menginginkan dunia dan akhirat. Mereka yang menginginkan dunia terjerumus ke dalam materialisme hedonisme, sehingga merusak lading (lingkungan hidup) dan keturunan (seks bebas). Sementara yang menginginkan dunia dan akhirat, sulit mewujudkan keseimbangan dan terjerumus ke dalam spiritualisme sehingga melupakan dunia. Jadi inti ayat-ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menjaga keseimbangan hidup itu.
Kemudian ayat itu turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang secara sosial sedang mengalami transisi dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan, dan secara budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi. Di kalangan mereka belum terjadi keseimbangan, sehingga sebagian mereka sangat spiritualistik yang mengabaikan dunia dan sebagian yang lain sangat materialistik yang anti-agama. Jadi ayat itu diturunkan untuk membawa keseimbangan baru mewujukan masyarakat yang sekaligus berperadaban materi dan spiritual.
Dengan begitu akan dapat dipahami bahwa disamping sebagai sistem kepercayaan dan peribadatan, Islam juga merupakan sistem peradaban yang memadukan materi dan spiritualitas, bukan sistem atau ideologi sosial. Dengan pemahaman ini maka sistem sosial yang dianut masyarakat bisa berubah, tapi sistem kebudayaannya tetap, yakni sistem kebudayaan yang imbang dunia dan akhirat. Contoh yang sangat jelas untuk ini adalah keluarga. Konsepsi keluarga dalam Islam adalah keluarga sakinah, namun sistem dan bentuknya bisa berubah. Dahulu keluarga Muslim merupakan keluarga extended family dan patriarki, namun sekarang berubah menjadi keluarga inti dan demokratis” 24
Demikianlah pemaparan Hamim Ilyas tentang penafsiran konsep Islam kaffah dengan demikian menurut Hamim, makna Islam kaffah sebagaimana tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 208 adalah adanya keseimbangan dalam hidup ini, yaitu kesimbangan antara materi dan spiritual, serta tidak berarti bahwa Islam adalah sistem atau ideologi sosial.
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana penafsiran para ulama terhadap konsep Islam kaffah tersebut. Allah ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah ayat 208)
Para ulama berselisih pendapat mengenai terhadap siapakah ayat ini diturunkan. Pendapat pertama, ayat ini diturunkan terhadap orang yang masuk Islam dari kalangan Ahli Kitab. Setelah keislamannya, mereka menjauhi daging unta dan perkara-perkara lain yang biasa dijauhi Ahli Kitab. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Pendapat kedua, ayat ini diturunkan terhadap Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw. Mereka diperintahkan agar masuk ke dalam Islam. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahak. Pendapat ketiga, ayat ini diturunkan terhadap kaum Muslimin. Allah memerintahkan mereka agar masuk ke dalam seluruh syariat Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid dan Qatadah.25
Dengan demikian menurut kesepakatan para pakar bahasa, usul fikih, dan ulama syari’ah bahwa makna-makna dalam Al-Quran mencakup keuniversalan lafaz dan tidak berhenti dengan adanya sebab yang khusus. Makna Al-Quran melampaui masa dan tempat ia diturunkan, maka tidak ada istilah makna historis maupun makna khusus yang terkait dengan zaman diturunkannya Al-Quran. Bahkan makna-makna yang terkandung di dalamnya secara umum berdialog dan menyentuh pemikiran manusia sepanjang zaman dan tempat. Adanya asbâb al-nuzûl yang melatarbelakangi turunnya Al-Quran lebih bersifat sebagai metode pendidikan (manhaj at-ta’dîb) dan bukan sebagai bagian dari ajaran agama, baik yang berupa perintah atau larangan. Asbâb al-nuzûl bukan wahyu dan bukan pula sebagai inti dari firman Tuhan. Kewajiban-kewajiban agama (takâlif) yang munculnya bersamaan dengan peristiwa-peristiwa tertentu, maka kesesuaian tersebut hanya disifatkan sebagai pendidikan untuk orang Islam masa itu. Kemudian membawa mereka keluar dari realitas-konteks jahiliyah kepada nuansa masyarakat Islam. Manusia sebagai objek perintah dan larangan (khithâb) adalah manusia-manusia yang memiliki realitas-konteks lebih luas daripada mereka yang berkaitan dengan realitas-konteks saat turunnya wahyu. Oleh karena itu peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya wahyu hanya bersifat “ketepatan-ketepatan” atau sebagai proses natural (sunnatullâh) bagi turunnya wahyu. Kaidah Ushul Fikih menjelaskan masalah ini dengan jelas, “al-’ibratu fî ‘umûm al-lafzh lâ bi khushûshi l-sabab” (faktor penting didapatkan pada keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab).26
Untuk menjelaskan bagaimana penafsiran para ulama kita terhadap konsep Islam kaffah, penulis akan menukilkan pendapat-pendapat mereka dari beberapa kitab tafsir. Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sekelompok tabi’in tentang firman Allah ta’ala, “masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan”, maksudnya adalah masuklah ke dalam Islam dan taatilah seluruh perintah-Nya semampu yang kalian kerjakan. Sementara itu, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa orang-orang beriman diperintahkan agar masuk ke dalam ketaatan secara keseluruhan, sedangkan mereka tidak masuk ke dalam ketaatan tanpa mengerjakan ketaatan lainnya. Atau ke dalam cabang dan syariat Islam secara keseluruhan dan tidak meninggalkan sedikit pun darinya. Penafsiran ayat 208 dari surat Al-Baqarah sebagai perintah agar menerapkan atau masuk ke dalam syariat Islam secara keseluruhan merupakan penafsiran yang banyak dikemukakan oleh para mufassir. Selain Az-Zamakhsyari, ada sekian mufassir yang menyampaikan pendapat serupa dalam kitab-kitab tafsir mereka. Di antaranya dalam tafsir Al-Baghawy, Al-Alûsi, Zâdul Masîr, Ar-Râzy, As-Samarqandy, Al-Jalâlain, Muqatil, Ibnu ‘Ajibah, Ibnu Abdis Salam, tafsir Ibnu Abbas, Sayyid Tanthawy, Aysarut Tafâsîr, As-Sa’dy, Al-Wajîz, Haumad, Al-Masîr, dan sebagainya.27
Dengan melihat banyaknya pendapat mufassir yang menyatakan bahwa konsep Islam kaffah adalah menjalankan atau masuk ke dalam syariat Islam secara keseluruhan, maka pendapat yang memandang Islam sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial, bukanlah pendapat yang salah. Sebab, syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, termasuk urusan bernegara. Sepanjang sejarah umat Islam selama berabad-abad,28 syariat dan aqidah Islam diterapkan di bawah naungan negara.
Islam menyeru umatnya agar menerapkan keseimbangan dalam kehidupan antara aspek spiritual dan aspek material. Akan tetapi, makna seperti ini bukan yang dikehendaki dalam ayat 28 dari surat Al-Baqarah mengenai konsep Islam kaffah. Dr. Hamim Ilyas menyatakan bahwa ayat ini turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang secara sosial sedang mengalami transisi dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan, dan secara budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi, sehingga ayat ini diturunkan untuk membawa keseimbangan baru mewujukan masyarakat yang sekaligus berperadaban materi dan spiritual, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan munasabah dan asbabun nuzul seperti yang ia anjurkan untuk memperhatikannya. Di antara asbabun nuzul ayat tersebut sebagaimana telah disinggung sebelumnya berkenaan dengan Abdullah bin Salam -seorang Yahudi yang baru masuk Islam- yang mengagungkan hari Sabtu, membenci daging unta, serta ingin menggunakan sebagian dari hukum Taurat dan mencampuradukkannya dengan Islam. Demikianlah konteks sebenarnya turunnya ayat tersebut. Jadi, turunnya ayat tentang Islam kaffah itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan transisi masyarakat Arab dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan, dan juga dari budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Hamim Ilyas.29
Doktrin Kedaulatan Hukum Tuhan
Selain Islam kaffah, menurut Hamim Ilyas, doktrin sentral fundamentalisme Islam lainnya adalah kedaulatan atau supremasi hukum Tuhan. Hamim Ilyas menulis,
“…Kaum fundamentalis, sebagaimana digambarkan secara tepat oleh Khaled Abu El-Fadl, berkeyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan hidup dan harus ditegakkan tanpa mempertibangkan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejateraan kelompok lain. Jalan lurus (as-Shirat al-Mustaqim) telah dipastikan, kata mereka, oleh sistem hukum Tuhan (syari’ah) yang menghapus semua pertimbangan moral atau nilai-nilai etis yang sepenuhnya tidak terdapat dalam hukum…”30
Selanjutnya, Hamim Ilyas menyatakan bahwa dengan doktrin kedaulatan hukum Tuhan, fundamentalisme menolak negara bangsa dengan sistem demokrasinya yang meletakkan legitimasi negara pada kemauan rakyat, bukan pada agama atau etnis.31
Selain Hamim Ilyas, Zainul Maarif juga menyampaikan pendapat senada. Ia menulis bahwa :
“…Pikiran inti dari muslim fundamentalis adalah Hakimiyyat Allâh. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariat-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya. Landasan berpikir pikiran tadi berupa kalimat tauhid lâ ilâha illa Allâh. Yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tiada otoritas dan syariat kecuali syariat dan otoritas Allah. Sehingga, ia berimplikasi epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan zalim bagi siapa saja yang tak menegasi selain Allah dan syariat-Nya.
Hal ini terbukti pada perkataan muslim fundamentalis bahwa; siapa pun yang enggan menegasikan sistem selain Allah, atau menolak dan memusuhi kedaulatan dan sistem Allah (hakimiyyat Allâh dan syariat Allah), adalah musyrik jahiliyyah. Karena mereka telah menyekutukan Tuhan dengan mengakui otoritas selain-Nya dan menggunakan sistem selain sistem-Nya. Dan barang siapa yang enggan menerapkan syariat Islam adalah kafir, fasik, dan zalim. Karena Tuhan telah berfirman ”…wa man lam yahkum bi mâ anzala Allâh fa ulâika hum al-kâfirûn…al-dzâlimûn…al-fasiqun” (…barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir…dzalim…fasik)…”32
Menurut Zainul Maarif dalam alinea berikutnya,
“…Kalimat tauhid yang konon digunakan untuk mengagungkan Tuhan dan syariat-Nya saja itu, terkadang tak lagi proporsional. Yang dibesarkan tak lagi Allah dan syariat-Nya semata, melainkan diri sendiri dan pendapatnya. Hal ini bisa kita lihat pada pengakuan mereka bahwa merekalah umat terbaik, umat Islamiyyah; selainnya buruk, jahiliyyah. Pendapat mereka adalah pendapat terbenar dan harus ditaati karena berpegang pada syariat Tuhan, sedang pendapat lainnya adalah salah. Padahal pengakuan itu belum tentu sesuai dengan realitas, dan secara tidak langsung telah menempatkan diri pada posisi Tuhan, telah meredusir egalitarisme manusia, dan telah melupakan bahwa kebenaran mutlak dari Tuhan yang berada di ‘tangan’ manusia pada hakekatnya tak lagi mutlak. Ia telah bercampur dengan kebenaran relatif manusia…”33
Masalah Hakimiyyat Allâh ini yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariat-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya.34 Landasan berpikir tersebut tercakup dalam kalimat tauhid lâ ilâha illa Allâh, yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tidak ada otoritas dan syariat kecuali syariat dan otoritas Allah, sehingga ia berimplikasi epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan zalim bagi siapa saja yang tak menegasi selain Allah dan syariat-Nya.
Landasan berfikir tersebut berpijak pada penegasan akan otoritas Allah dalam menetapkan hukum dan kewajiban umat manusia untuk berhukum dengan hukum-Nya. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 208 Allah ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’ ayat 59)
Allah juga berfirman,
“Dan hendaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah ayat 49-50)
Selain kedua ayat di atas yang dijadikan landasan yakni Al-Quran surat An-Nisa’: 60 dan 65 dan surat Yusuf: 40. Surat Al-Maidah: 44, 45, dan 47. Menurut landasan berfikir ini ayat-ayat Al-Quran beserta penafsirannya di atas secara tegas menyatakan kedaulatan atau supremasi hukum Allah dan kewajiban umat manusia untuk berhukum dengan hukum-Nya. Dengan demikian, siapa saja yang memperjuangkan penegakan hukum atau syariat Alllah, ia bukan seorang fundamentalis, namun seorang mukmin haqqan (sejati) karena mengikuti perintah Al-Quran. Kebenaran Al-Quran yang disampaikan manusia dalam masalah ini tetap merupakan kebenaran mutlak.
Ide yang hanya mengakui otoritas Tuhan dan syariat-Nya ini, tentu saja tidak mengakui demokrasi. Karena baginya, semua adalah dari Tuhan untuk manusia. Tidak ada istilah, dari manusia (baca: rakyat) untuk manusia. Hakimiyyat Allah juga tak mengakui kontrak sosial, karena kesepakatan bersama masyarakat untuk kepentingan bersama dalam suatu komunitas manusia, baginya tak diperlukan lagi. Semuanya sudah distempel oleh Tuhan dan syariat-Nya, juga tidak mengakui pluralitas karena yang diakui hanya syariat Allah saja (baca: syariat Islam Muhammadisme). Sebenarnya tendensi bahwa hukum itu hanya dari Alah adalah wajar terjadi mengingat titik tolaknya adalah kalimat tauhid la ilaha illa Allah. Namun sayangnya, kalimat tauhid yang digunakan untuk mengagungkan Tuhan dan syariat-Nya saja itu, terkadang tidak lagi proporsional, yang dibesarkan tidak lagi Allah dan syariat-Nya semata, melainkan diri sendiri dan pendapatnya.
Klaim kebesaran dan kebenaran diri tadi cepat atau lambat akan menimbulkan gejala fasis. Kemudian menghasilkan cara pandang dikotomis. Lalu mendorong diri untuk memberi label-label buruk terhadap golongan yang tak sejalan. Seperti memberi label musyrik, kafir, zalim, munafik dan jahiliyyah kepada seteru atau orang yang tak setuju dengan ide hakimiyyat Allah dan penerapan syariat, dengan tanpa kesadaran penuh bahwa labelisasi itu berakar dari interpretasi literal yang tak bersandar pada asbab al-nuzul yang sebenarnya.35 Kalau implikasi epistemologisnya sudah cukup mengkhawatirkan, implikasi praktisnya lebih mengenaskan. Sinergi faham teokrasi, paradigma teosentris, yang telah menimbulkan gejala fasis-dikotomis itu, kemudian menggulirkan tindakan semena-mena dan anarkis.
Sementara itu, menurut Yusril Ihza Mahendra bahwa ciri utama kaum fundamentalis Islam adalah corak pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan ini diperlukan untuk menjaga kemurnian doktrin dan pelaksanaannya, karena penerapan doktrin secara utuh (kaffah) adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kehancurannya. Kecenderungan penafsiran yang bersifat rigit dan literalis tersebut khususnya dapat dihubungkan dengan a) corak pengaturan doktrin, b) kedudukan tradisi tradisi awal Islam, c) ijma” dan d) kemajmukan masyarakat dan juga kedudukan.36
Ciri lain fundamentalisme, dikemukakan Fouad Ajami, yaitu kecenderungannya untuk “menafikan pluralisme”. Bagi kaum Fundamentalis, di dunia ini hanya ada dua jenis masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh Sayyid Qutbh sebagai al-nidham al-Islami (tatanan sosial yang Islami) dan al-nidham al-jahili (tatanan sosial jahiliah). Antara kedua jenis masyarakat itu tidak mungkin ada titik temu. Karena, yang satu adalah haqq (benar) dan bersifat ilahiyah (ketuhanan), sedang yang lain adalah bathil (sesat) dan bersifat thaghut (berhala). Konsekuensi dari pandangan ini ialah, kaum fundamentalis cenderung untuk menolak eksistensi “bangsa-bangsa” berdasarkan perbedaan geografis, bahasa, warna kulit dan budaya. Kaum fundamentalis cenderung menggolongkan manusia hanya berdasarkan agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya.37
Sementara itu, Bruce Lawrence memasukkan ekspresi sosiologis fundamentalisme ke dalam suatu “tuntutan kolektif”, yaitu tuntutan agar keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama diterima oleh masyarakat dan secara legal wajib dilaksanakan.38 Ciri fundamentalisme sebagai aliran yang lebih mengutamakan “slogan-slogan revolusioner” dari pada pengungkapan gagasan secara terperinci, diutarakan oleh Hrair Dekmejian. “Jihad” dan “menegakkan hukum Allah” adalah slogan yang utama bagi kaum fundamentalis.
Selanjutnya, menurut Dekmeijan, kaum fundamentalis lebih cenderung bersikap doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun kurang berusaha memikirkan segi-segi praktis yang secara implementatif dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya. Dalam nada yang sama, Akbar S. Ahmed menyimpulkan bahwa fundamentalisme Islam identik dengan radikalisme dengan menambahkan satu cirri dominan, yaitu vulgaritas, cenderung memakai kata-kata kasar dan kotor untuk menyudutkan lawan-lawan politiknya, bahkan mereka kadangkala tidak menyadari bahwa mereka mengklaim dan memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kasar, memuakkan dan menjijikkan.39
Leonard Binder, menambahkan bahwa ciri fundamentalisme Islam adalah pandangannya yang khas mengenai ijtihad. Ijtihad, bagi mereka, dimungkinkan hanya dalam kerangka ketika syari’ah tidak memberikan perincian yang dalam. Selain itu, harus tidak ada preseden dari tradisi awal Islam, ataupun pendapat para fuqaha terkemuka dari zaman yang silam tentang persoalan-persoalan itu. Ijtihad hanya dilakukan oleh para mujtahid yang memenuhi kualifikasi ijtihad. Dalam hubungan ini, Maududi menegaskan, “The purpose and object of ijtihad is not to replace the Divine law by man-made law. Its real object is to understand the Supreme Law”.40
Akhirnya, kerangka yang diberikan oleh Marty, dengan beberapa kodifikasi, cukup relevan diterapkan dalam mengidentifikasi gejala “fundamentalisme Islam”. Prinsip pertama fundamentalisme adalah “oppositionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan –yang bukannya tak sering bersifat radikal—terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, apakah dalam tata nilai Barat pada umumnya. Acuan dan tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme Islam adalah al-Qur’an, dan pada batas tertentu al-Hadits.
Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika. Artinya, mereka menolak sikap kritis (liberal) terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal—sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya -kalau perlu secara kekerasan- dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis, dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal”-bagi kaum fundamentalis Islam seperti pada kaum salaf- yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.41
Doktrin sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah doktrin yang bersifat universal dan telah mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia. Pengertian universal tersebut adalah bahwa doktrin Islam berlaku tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kaum fundamentalis lebih menekankan ketaatan dan kesediaan untuk menundukkan diri kepada kehendak-kehendak Tuhan, oleh karena itu penting dijaga sikap militan dalam menegakkan agama. Artinya pengamalan terhadap doktrin keagamaan harus secara murni dan bebas dari interpretasi intelektual, karena hal ini akan menimbulkan sifat universal ajaran agama menjadi partikular dan agama menjadi kehilangan identitas karena tenggelam di dalam proses perubahan, adaptasi dan akulturasi.
Dalam melihat kedudukan tradisi awal Islam yang dicontohkan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya, kaum fundamentalis ingin kembali menegakkan sistem pemerintahan khilafah seperti di zaman para sahabat. Sistem tersebut merupakan ijma’ para sahabat yang tidak dapat dihapuskan begitu saja oleh generasigenerasi sesudahnya. Di samping itu kaum fundamentalis pada umumnya cenderung bersikap negatif dan pesimis terhadap kemajmukan. Secara luas kemajmukan itu adalah kemajmukan etnik, kultural, bahasa dan agama, di samping juga kemajmukan corak keberagamaan di kalangan kaum Muslim sendiri. Jadi susunan masyarakat Islam itu adalah masyarakat yang benar-benar melaksanakan tuntunan doktrin secara totalitas karenanya bersifat ilahiyah. Masyarakat yang tidak bercorak demikian tergolong sebagai masyarakat jahili.
Selain itu, kaum fundamentalis cenderung untuk bersikap keras dan enggan untuk berkompromi dengan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat atau faham dengan mereka. Tetapi di lain pihak kaum fundamentalis menunjukkan antusiasme yang tinggi dalam mengamalkan ajaran Islam secara sempurna dan menginginkan membangun kembali sebuah masyarakat seperti pada zaman Nabi dan sahabatnya yang dianggap sebagai model masyarakat yang ideal. Oleh karena itu kaum fundamentalis senantiasa meneriakkan slogan jihad untuk menegakkan hukum Allah dan menciptakan masyarakat Qur’ani.
Bibel dan Ayat-ayat Kekerasan
Adalah hal yang tidak fair ketika menilai tindak kekerasan dari satu sudut Islam dan Al Qur’an. Akan lebih bijak jika kita coba sedikit terbuka. Kalau dalam Al Qur’an tidak ditemukan "perintah melakukan tindak kekerasan", apakah dalam Bibel juga demikian? Jika dilihat secara detail, Bibellah sejatinya yang mengandung ayat-ayat kekerasan (violence verses). Dengan demikian, wajar jika negara Barat (yang notabene Kristen dan phobia Islam) sangat membenci Islam dan umat nya dalam berbagai aspeknya..
Dalam Injil disebutkan bahwa "Yesus datang bukan membawa kedamaian, melainkan "pedang" (Matius 10: 34 dan Lukas 12: 51). Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan misi Yesus Kristus sebagai Nabi pembawa kasih sayang. Karena dalam ayat yang lain ia mengatakan "Jika pipi kananmu dipukul, berikan pipi kirimu, penguasa yang memaksamu memikul barang sejauh satu kilometer, pikullah sejauh dua kilometer; jika seseorang menginginkan bajumu, berikanlah jubahmu juga" (Matius 5: 39-42 dan Lukas 6: 29 dan 30). Dengan demikian, tidak ada istilah membalas kejahatan dengan kejahatan, kekuatan dibayar dengan kekuatan, melainkan Yesus mengajak umatnya untuk mencintai para musuh mereka dan memberkati siapa yang melaknat mereka (Matius 5: 43, 44 dan Lukas 27, 28).42
Ayat-ayat kekerasaan yang lain adalah "Apabila kamu pergi untuk menyerang sebuah kota, berilah dahulu kesempatan kepada penduduknya untuk menyerah. Kalau mereka membuak pintu-pintu gerbang dan menyerah, mereka semua harus menjadi hamba-hambamu dan melakukan kerja paksa untukmu. Tetapi kalau penduduk kota itu tidak mau menyerah dan lebih suka berperang, kamu harus mengepung kota itu. Kemudian, apabila TUHAN Allahmu memungkinkan kamu merebut kota itu, kamu harus membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki. Tetapi kamu boleh mengambil kaum wanita, anak-anak, ternak dan apa saja yang ada di kota itu. Segala harta benda musuh-musuhmu itu boleh kamu pakai. TUHAN Allahmu menyerahkan itu kepadamu. Begitulah harus kamu perlakukan kota-kota yang jauh dari negeri kediamanmu. Tetapi kalau kota itu ada dalam wilayah yang diberikan TUHAN Allahmu kepadamu, seluruh penduduknya harus dibunuh. Seperti yang diperintahkan TUHAN Allahmu, kamu harus membinasakan orang-orang Het, Amori, Kanaan, Feris, Hewi dan Yebus. (Kitab Ulangan 20: 11-17). Dalam kitab yang sama disebutkan juga; "Maka seluruh penduduk kota itu beserta ternaknya harus dibunuh. Kota itu harus dimusnahkan sama sekali. Seluruh harta benda penduduk kota itu harus dikumpulkan dan ditimbun di tanah lapang, lalu kota dan segala harta bendanya harus dibakar sebagai kurban bagi TUHAN Allahmu. Sesudahnya semua itu harus ditinggalkan menjadi puing dan tak boleh dibangun kembali" (Ulangan 13: 16-17).
Tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam, selaku agama yang universal. Islam tidak mengajarkan teknik perang yang "membabibuta" seperti yang digambarkan oleh Bibel di atas. Dengan melihat beberapa ayat Bibel di atas, ternyata bukan hanya mengandung ajaran "kekerasan", juga sangat kontradiktif kandungan ayat-ayatnya. Apakah ayat-ayat kekerasan tersebut yang dijadikan dasar oleh Kristen-Barat dalam "membumihanguskan" seluruh daerah yang dijajahnya? Tentu jawaban yang paling bijak adalah dengan melihat realita yang sedang berjalan di Palestina, Chechnya, Fhilipina, Irak dan negara lainnya.
4. Hasil Penelitian Terdahulu
Kajian mengenai fundamentalisme ini telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan. Di antara karya ilmiah yang dapat disebutkan disini yakni “Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan)” karya Yusril Ihza Mahendra yang diterbitkan oleh Yayasan Paramadina pada 1999. Karya ini aslinya merupakan disertasi Yusril Ihza Mahendra untuk memperoleh gelar Doctor of Philosophy di Universitas Sains Malaysia pada 1993. Dalam buku ini, Yusril berusaha melakukan studi komparatif antara Masyumi (Indonesia) yang ia posisikan sebagai partai modernis dan Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan) yang ia posisikan sebagai partai fundamentalis. Yusril mengartikan modernisme dan fundamentalisme sebagai :
“…dua ideologi atau aliran politik yang sama-sama berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Keduanya sama-sama bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah itu. Namun demikian, meskipun kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. Modernisme cenderung menafsirkan doktrin secara elastis dan fleksibel. Sementara fundamentalisme cenderung menafsirkannya secara rigid dan literalis. Perbedaan kecenderungan corak penafsiran ini, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam; (c) ijma’; (d) pluralisme (kemajemukan); dan (e) hikmah. Perbedaan kecenderungan penafsiran terhadap lima masalah ini yang menjai faktor terpenting untuk membedakan modernisme dan fundamentalisme dalam politik Islam”43
Mengacu pada lima masalah di atas, Yusril kemudian merumuskan karakteristik modernisme dan fundamentalisme. Ringkasnya sebagai berikut.44 :
No
Masalah
Modernisme
Fundamentalisme
1
Ijtihad
Modernisme melihat bahwa dalam masalah-masalah mu’amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal. Oleh karena itu, ijtihad (pemikiran bebas) harus digalakkan. Ijtihad memungkinkan corak pengaturan doktrin yang berisi ketentuan-ketentuan umum itu dapat diimplementasikan ke dalam suasana konkret, yaitu suasana masyarakat yang ada pada suatu zaman dan tempat tertentu.
Fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang serba mencakup itu. Karena itu, ijtihad dengan sendirinya dibatasi hanya kepada masalah-masalah dimana doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan sampai detail- detail persoalan.
2
Preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam
Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat beliau –terutama zaman Khulafa’ur Rasyidin—hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Oleh karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan para sahabat tidak harus diikuti sampai pada perincian-perincian berdasarkan pada prinsip perubahan yang berlaku dalam masyarakat. Warisan tradisi zaman ini pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum Muslim yang hidup di zaman kemudian.
Fundamentalisme memandang preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara keseluruhan; baik dalam prinsip maupun perincian-perinciannya. Fundamentalisme berpendapat bahwa orang-orang yang hidup di zaman awal lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman awal Islam, yaitu zaman Nabi dan para sahabat, adalah zaman ideal yang wajib diwujudkan di segala zaman.
3
Ijma’
Modernisme memandang bahwa ijma’ (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu dapat diperbarui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika faktor-faktor psikologis, sosial, politik, dan ekonomi yang melatarbelakangi ijma’ itu juga telah berubah. Pembaruan ijma’ ini, menurut kaum modernis, termasuk juga kemungkinan memperbarui ijma’ para sahabat Nabi. Kaum modernis juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma’ –yaitu konsensus mayoritas para ulama fiqh mengenai sesuatu masalah hukum—menjadi konsensus mayoritas kaum Muslim, atau wakil-wakil mereka, pada suatu zaman dan tempat tertentu.
Fundamentalisme memandang ijma’ zaman sahabat Nabi adalah ijma’ yang mengikat generasi-generasi kaum Muslim hingga akhir zaman. Ijma’ demikian tidak dapat diubah oleh ijma’-ijma’ yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka.
4
Pluralisme (kemajemukan)
Modernisme melihat pluralisme dengan sikap positif dan optimis. Kaum modernis berkeyakinan bahwa selama dunia ini masih ada, selama itu pula pluralisme akan tetap ada.
Fundamentalisme cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme. Masyarakat cenderung dilihat secara hitam putih, yaitu antara masyarakat Islami yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara kaffah dengan masyarakat jahiliyah yang tidak meyakini dan mengamalkannya.
5
Hikmah
Bagi kaum modernis, hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan di mana saja di muka bumi ini, termasuk pada umat-umat dan kelompok-kelompok di luar Islam. Modernisme cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prinsip-prinsip doktrin dengan hikmah yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan mencari hikmah itu adalah seiring dengan kecenderungan kaum modernis yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara konkret, dengan pendekatan yang bercorak pragmatis dan kompromistis.
Hikmah tidak perlu dicari dalam masyarakat-masyarakat yang telah jelas bersifat jahiliyah itu. Oleh karena itu, fundamentalisme cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan berakulturasi dengan prestasi-prestasi peradaban yang telah dikembangkan oleh masyarakat lain.
Karya berikutnya adalah buku yang akan kita resensi ini berjudul “Is Religion Killing Us? Membongkar Akar Kekerasan dalam BIbel dan Al-Quran” tulisan Jack Nelson-Pallmayer yang diterbitkan oleh Pustaka Kahfi Yogyakarta pada 2007. Sesuai dengan judulnya, Jack Nelson-Pall Mayer menyoroti ajaran-ajaran dalam Bibel dan Al-Quran yang menurutnya sering mendorong terjadinya kekerasan atas nama Tuhan. Penulis buku ini berkesimpulan bahwa, ”Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” 45
Disamping itu ada juga hasil penelitian Muhammad Isa Anshory46 yang berjudul “Wacana Fundamentalisme Dalam Al Qur’an”. Setelah menganalisa fundamentalisme dalam persfektif Barat dan Islam, fundamentalisme dan tafsir Al Qur’an dan isu fundamentalisme dalam Al Qur’an, dalam kajiannya ini Isa mengkritik pandangan Hamim (dalam kata pengantarnya pada buku yang berjudul “Is Religion killing Us? Membongkar Akar Kekerasan Dalam Bibel dan Al Qur’an” tulisan Jack Nelson – Pall Mayer) yang menyangkut latar belakang turunnya ayat dalam Q.S. Al Baqarah ayat 208 yang dijadikan doktrin sentral dalam fundamentalisme islam yakni yang terkait dengan doktrin islam Kaffah. Dari hasil penelitiannya ini Isa berkesimpulan bahwa :
“Fundamentalisme, sebagaimana yang dipahami Barat dan orang-orang yang terpengaruh frame pemikiran mereka, tidak ada dalam Islam. Kaum fundamentalis (ushuliyin) dalam Barat adalah orang-orang kaku dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri paa penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsing dalam kajian-kajian akal atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal (pengambilan dalil), ijtihad, dan pembaruan.
Beberapa pandangan yang sering diidentikkan sebagai doktrin sentral fundamentalisme merupakan bukti ketidakpahaman si penuduh terhadap ajaran Islam. Doktrin Islam kaffah yang tertera dalam QS Al-Baqarah: 208 misalnya, menurut Hamim Ilyas, pemahaman yang benar dan tepat mengenainya adalah seruan untuk melakukan keseimbangan dalam kehidupan ini antara aspek spiritualisme dan aspek materialisme. Sebab, ayat ini turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang sedang mengalami transisi dari peradaban spiritualisme menuju peradaban materialisme. Pemahaman seperti ini ternyata merupakan pemahaman aneh yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tafsir para ulama. Menurut sebagian besar pendapat para ulama dalam kitab-kitab tafsir mereka, konsep Islam kafffah yang tertera dalam QS Al-Baqarah: 208 adalah perintah untuk melaksanakan atau masuk ke dalam syariat Islam secara total. Akan tetapi, pemahaman seperti ini oleh Hamim Ilyas dianggap sebagai doktrin fundamentalisme.
Pandangan kedua yang dianggap sebagai doktrin fundamentalisme adalah doktrin kedaulatan atau supremasi hukum Tuhan. Padahal, Al-Quran telah menegaskan otoritas Allah dalam menetapkan hukum dan kewajiban umat manusia untuk berhukum dengan hukum-Nya. Penegasan Al-Quran itu terdapat dalam surat Al-Baqarah: 208, An-Nisa’: 59, 60, dan 65, Al-Maidah: 44, 45, 47, 49, dan 50, Yusuf: 4, dan sebagainya. Jadi, doktrin kedaulatan hukum Allah merupakan ajaran Al-Quran yang sangat jelas; bukan ajaran kaum fundamentalis. Dengan demikian, orang yang berusaha untuk menerapkan kedaulatan hukum Allah di muka bumi ini bukanlah seorang fundamentalis, tapi seorang mukmin haqqan (sejati)”
Adapun di antara karya yang memberikan pembelaan terhadap Islam dari isu fundamentalisme adalah “Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam” tulisan Muhammad Imarah dan diterbitkan oleh Gema Insani Press pada 1999.47. Dalam buku ini, Muhammad Imarah memaparkan perbedaan makna fundamentalisme dalam perspektif Barat dan Islam. Istilah yang sama dengan makna yang berbeda ini sering terjadi. Demikian juga dengan fundamentalisme, terdapat perbedaan makna yang sangat jauh antara fundamentalisme dalam perspektif Barat dengan fundamentalisme dalam perspektif Islam. Oleh karena sebutan fundamentalisme ini selalu diikuti dengan makna dan karakteristik menurut Barat, Muhammad Imarah juga menjelaskan kesalahan pandangan orang-orang yang mengkaitkan makna dan karakteristik tersebut dengan Islam.
Selain karya Muhammad Imarah ini, karya lain untuk disebutkan adalah “Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal” tulisan Adian Husaini dan diterbitkan oleh Gema Insani Press pada 2005.48 Pada bab 10 dalam buku ini, Adian menulis judul “Paradoks wacana ‘Terorisme’ dan ‘Fundamentalisme’”.
5. The Prior Research on Topic
Asal Mula Fundamentalisme di Barat (Kristen)
Kamus Larous Kecil mendefinisikan “fundamentalisme” sebagai sikap yang menolak menyesuaikan kepercayaan dengan kondisi yang baru. Dalam Kamus Larous Besar “fundamentalisme” adalah sikap stagnan dan beku yang menolak seluruh perkembangan. Sedangkan Kamus Larous tahun 1987 menyebut “fundamentalis” sebagai sikap sebagian orang Katolik yang menolak seluruh kemajuan, dan hanya menisbatkan diri mereka kepada warisan lama. Ilmuwan Perancis, Roger Garaudy, menyatakan, bahwa “fundamentalisme” adalah antitesa bagi “sekulerisme”. Garaudy termasuk ilmuwan yang terjebak dalam melakukan generalisasi konsep “fundamentalisme” Kristen untuk menganalisis fenomena sejenis di masyarakat Muslim.49
Sementara itu, Muhammad Imarah menyatakan, bahwa fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, yaitu antara 1880 dan 1890, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu “Gerakan Millenium”. Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih as secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.
Munculnya gerakan fundamentalis Kristen setidaknya disebakan oleh beberapa factor yakni Pertama, sebagai reaksi terhadap keadaan gereja yang tidak menunjukkan kekuatan imannya dalam menghadapi realitas dunia. Gerakan ini menganggap bahwa kewajiban setiap penganut agama Kristen untuk memerangi tanpa kompromi teologi modernis dan kecenderungan-kecenderungan budaya. Kedua, rumusan-rumusan yang mereka kemukakan merupakan rumusan serba absolut. Justeru inilah yang menjadi daya tarik bagi orang-orang yang hidup dalam dunia yang selalu berubah dan berkembang sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan, sedangkan mereka menginginkan kepastian-kepastian yang mutlak. Ketiga, melalui penampilan yang absolut tersebut, fundamentalisme kemudian menuntut keterikatan atau komitmen dari para pengikutnya. Keterikatan itu adalah kesediaan mengorbankan segala sesuatu dan diserahkan sepenuhnya kepada tuntutan Tuhan.
Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan “mimpi Yohana” (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.50
Adapun prinsip-prinsip pokok dari fundamentalisme dalam agama Kristen adalah doktrin “inerrancy of the Bible”. Doktrin ini menyatakan bahwa apa pun yang dimuat dalam Alkitab, tidak bisa salah dan tidak memiliki kekurangan atau keterbatasan dalam hal apapun dan harus dilaksanakan kapan pun dan oleh siapa pun. Dengan berpijak pada doktrin sesat “inerrancy of the Bible”, menekankan bahwa apa pun yang tertulis dalam Alkitab cukup diterima dengan iman saja, bahwa apa pun yang sudah ditulis di dalamnya adalah kebenaran mutlak yang melampaui segala zaman, berlaku kekal, berwibawa untuk segala tempat dan segala manusia. Alkitab cukup dibaca dan apa yang tertulis di dalamnya cukup diterima dengan penuh kepercayaan sebagai kebenaran absolut51
Dengan literalisme biblis ini sebagai dasarnya, mereka akan menyatakan dengan yakin bahwa Alkitab bisa menjelaskan dirinya sendiri, sehingga tolok ukur kebenaran dan kesahihan Alkitab ditemukan di dalam Alkitab sendiri. Literalisme biblis ini menghasilkan suatu logika beragama yang tidak normal, tidak sehat dan cedera secara epistemologis dan metodologis, sehingga fundamentalisme Kristen telah dan sedang menjelma menjadi suatu ancaman global terhadap logika beragama yang sehat.
Selain pandangan di atas, penganut fundamentalisme Kristen juga memandang versi agama Kristen mereka sebagai versi agama yang paling unggul, paling benar, paling baik, jika dibandingkan dengan agama-agama lain non-Kristen dan versi-versi lain agama Kristen dan, karena keunggulan ini, mereka memandang versi agama Kristen mereka bagaimana pun juga harus disebarkan ke seluruh tempat di bumi, dengan mengeliminir agama-agama lain non-Kristen dan menjadikan orang-orang non-Kristen bertobat, pindah agama, masuk agama Kristen. Mereka memiliki keyakinan bahwa pada akhirnya di dunia ini hanya akan ada satu agama tunggal yang benar, yang tampil sebagai sang pemenang tunggal, yakni agama Kristen fundamentalist. Mentalitas triumfalistik ekspansionistik ini ditemukan dalam semua orang Kristen injili literalist biblis. Dengan mentalitas semacam ini, mereka dibentuk untuk menjadi anti-pluralisme religius -- suatu perspektif yang menerima dengan terbuka bahwa semua agama lain yang benar adalah juga jalan-jalan menuju pada keselamatan-keselamatan manusia dalam dunia ini dan seterusnya52
Para penganut fundamentalisme Kristen dihinggapi suatu gejala mental eksesif yang biasa disebut “narcissisme radikal” -- yakni suatu rasa cinta diri, maniak diri, yang sangat mendalam dan berlebihan, membuta, baik terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai kebenaran diri sendiri maupun terhadap ideologi-ideologi religius, politik, ekonomi dan kebudayaan yang sudah berhasil mereka bangun dan pertahankan. Dorongan mental narcissistik ini bukan hanya merasuki bangunan ideologis agama mereka sehingga mereka akan mau mati demi doktrin-doktrin “cantik” mereka, tetapi juga merasuki ke dalam alam-alam sadar dan alam-alam bawah sadar mereka, sehingga gejala ini dapat disebut sebagai narcissisme radikal. Sadar atau dalam alam bawah sadar, mereka memandang diri sebagai laskar-laskar kebenaran ilahi, yang berbeda dari siapapun yang ada di dalam dunia ini53
Semangat tempur jihadisme sebagai Bible and doctrine warriors selalu membara dalam diri mereka, sehingga tepatlah kalau seorang pakar peneliti gejala fundamentalisme Kristen menyebut para fundamentalists Kristen sebagai “evangelicals in a fighting mood” Ketika bercermin di hadapan siapa pun, yang mereka temukan adalah panggilan dan tugas mereka untuk mempertontonkan kecantikan atau ketampanan diri sendiri sebagai orang-orang pilihan ilahi untuk tugas penyelamatan dunia. Segala linikehidupan siap mereka tempuri. Narcissisme radikal ini, suatu maniak cinta pada diri dan bangunan agama sendiri, menyebabkan fundamentalisme Kristen kokoh menjadi suatu sistem kepercayaan tertutup (a closed belief system) yang anti pada pembaruan, revisi dan inovasi mendasar, dalam doktrin-doktrin mau pun dalam praktek-praktek beragama.
Ada hal yang paling dibenci oleh kaum fundamentalis Kristen yakni orang-orang Kristen yang memakai pendekatan kritis-historis terhadap Alkitab. Pendekatan kritis-historis memandang setiap teks Kitab Suci tidak diilhamkan langsung oleh Allah dan tidak diturunkan langsung dari langit, tetapi lahir dari dalam kontekskonteks sosial-historis dan kultural yang riil dari manusia-manusia riil yang hidup dulu, dalam zaman masing-masing dan di tempat masing-masing dan yang menghadapi persoalan-persoalan historis yang riil dan kongkret. Karena itu, untuk memahami teks-teks Kitab Suci, para penafsir kritis mengembangkan metode-metode tafsir yang tepat dan memakai peralatan bantu konseptual metodikal untuk bisa masuk ke dalam konteks sejarah kehidupan para penulis teks-teks suci itu.54
Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminar, lembaga-lembaga, serta melalui tulisan-tulisan para pendeta yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela “hak-hak” orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa, hingga sosialisme.
Gerakan fundamentalisme Kristen pada dekade-dekade pertama abad dua puluh, telah mengadakan beberapa seminar yang menghasilkan beberapa organisasi. Di antaranya yang paling menonjol -di Amerika- adalah Organisasi Kitab Suci pada 1902 M yang telah mempublikasikan dua belas buku dengan judul Fundamentals, sebagai pembelaan atas penafsiran Injil secara literal, serta menangkal tindakan kritik dan penakwilan atas kandungan Injil. Organisasi yang menonjol lainnya antara lain adalah Yayasan Fundamentalisme Kristen Internasional yang didirikan pada 1919 M dan Persatuan Fundamentalis Nasional.
Perlu difahami bahwa gerakan fundamentalisme lahir dari situasi konflik antara budaya urban dan budaya pedesaan dalam sejarah Amerika pada masa pasca Perang Dunia I. Pemimpin yang populer pada waktu itu adalah W.J. Bryan. Kejadian itu muncul bersamaan dengan situasi depresi nilai-nilai agraris dalam proses industrialisasi dan urbanisasi di negeri itu.55 Dalam konteks ini, fundamentalisme dapat diidentifikasi sebagai pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai fundamental dalam pandangan Kristen Protestan”. Julukan ini, walaupun dimaksudkan untuk menggambarkan ketaatan absolut kaum Protestan atas ajaran Injil, tidaklah dipakai untuk melecehkan.
Fundamentalisme Menurut Pandangan Islam
Dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah “fundamentalisme”. Kita hanya menemukan kata dasar istilah itu, yaitu al-ashlu dengan makna ‘dasar sesuatu’ dan ‘kehormatan’. Bentuk pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr ayat 5) (Ash-Shaaffat ayat 64). Al-ashlu juga bermakna ‘akar’ (QS Ibrahim ayat 24).
Al-ashlu juga disebut bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu’ (parsial-parsial) dan masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul fikih, “Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci.” Dan, “ushul” adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima. Bagi ulama ushul fikih, kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, ‘dalil’. Dikatakan bahwa asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, ‘kaidah umum’. Dan ketiga, ‘yang rajih‘ atau ‘yang paling kuat’ dan ‘yang paling utama’. (Lihat kitab Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma’arif)
Dalam peradaban Islam telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih. Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara’ praktikal dari dalil-dalil perinciannya. Serta ilmu ushul hadits atau mushthalah hadits. Demikianlah warisan keilmuan Islam dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak mengenal istilah ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertiannya.
Hingga dalam pemikiran Islam kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam kajian-kajian ilmu ushul fikih, kita dapati ia bermakna, “Kaidah-kaidah pokok-pokok syari’at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri’iyah ‘legislasi’ umum serta pokok-pokok tasyri’iyah general, seperti: (1) tujuan umum syari’at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi objek ijtihad, (4) nasakh hukum, dan (5) ta’arudh ‘pertentangan’ an tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum).” Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen.56
Dengan demikian, istilah ‘ushuliyah’ dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang. Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda pengertian, latar belakang dan pengaruhnya.
Istilah yasar (kiri) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang upahan, orang-orang fakir, dan miskin, serta orang-orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan orang lain. Sementara, dalam pemahaman Arab dan Islam, istilah itu menunjukkan kepada orang-orang kaya raya, orang-orang yang berkecukupan, dan orang-orang yang menikmati kehidupan enak. (Lihat Kazuo Shimogaki. Kiri Islam, Telaah kritis Pemikiran Hasan Hanafi : Antara Modernisme dan Postmodernisme. LKis. 1997)
Istilah yamin (kanan) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang kuno, terbelakang dan kaku. Sementara, dalam wacana pemikiran Arab dan Islam, dipergunakan untuk menunjukkan keadaan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, sehingga mereka datang kepada Tuhan mereka pada hari Perhitungan, memegang buku catatan berbuatan-perbuatan mereka yang baik dengan tangan kanan, atau juga bermakna kekuatan, ketegaran, dan ketenangan.57
Belakangan ini muncul istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam fundamentalis”. Istilah ini cukup populer dalam dunia media massa, baik yang berskala nasional maupun internasional. Istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam fundamentalis” ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Penggunaan istilah fundamentalisme yang ‘dituduhkan’ oleh media massa terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, di samping bertujuan memberikan gambaran yang ‘negatif’ terhadap berbagai aktivitas mereka, juga bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas mereka di mata dunia. Istilah fundamentalisme dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula.
Pandangan-Pandangan Tafsir Fundamentalis
Kaum fundamentalis dalam terminology Barat adalah orang-orang kaku dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal (pengambilan dalil), ijtihad, dan pembaruan.58
Namun demikian, dalam berbagai kajian, wacana, maupun opini publik yang muncul pada hari ini, fundamentalisme selalu dikaitkan dengan pengertian yang dipahami atau terpengaruh paham Barat. Pengertian inilah yang lazim digunakan sehingga fundamentalisme mengandung makna negatif. Maka dari itu, yang dimaksud “pandangan-pandangan tafsir fundamentalis” dalam sub bab ini adalah pandangan-pandangan yang mengikuti terminology Barat dan diposisikan sebagai “fundamentalisme Islam”.
Azyumardi Azra menganggap keliru pendapat yang dikemukakan oleh Graudy bahwa munculnya fundamentalisme Islam adalah sebagai reaksi terhadap fundamentalisme Barat. Menuduh Barat sebagai satu-satunya penyebab munculnya gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, bukan hanya merupakan pencerminan sikap apologetik, tetapi juga mensimplikasikan gejala perkembangan sosio-historis kaum Muslimin. Prinsip dan karakteristik yang membuat suatu gerakan tertentu dapat disebut “fundamentalis” juga terdapat di dalam kalangan Muslim sepanjang sejarah.59
Oleh karena itu fundamentalisme Islam pada dasarnya tidak sepenuhnya baru, sebab sebelum munculnya fundamentalisme kontemporer terdapat gerakan yang mungkin dapat disebut sebagai prototype gerakan-gerakan fundamentalisme yang muncul dalam masa-masa belakangan. Azyumardi membagi gerakan fundamentalilsme menjadi dua tipologi yakni : pra-modern dan kontemporer yang dapat disebut neo-fundamentalisme. Fundamentalisme pra-modern muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu di kalangan kaum Muslimin sendiri. Karena itu ia lebih genuine dan inward oriented atau berorientasi ke dalam diri kaum Muslimin sendiri. Sedangkan fundamentalisme kontemporer bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi barat, baik melalui kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir Muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan perpanjangan tangan dari Barat.60
Dalam bukunya “Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan)”, Yusril Ihza Mahendra mengartikan fundamentalisme sebagai ideologi atau aliran politik yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi serta bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah itu. Namun demikian, fundamentalisme cenderung menafsirkan doktrin secara rigid dan literalis.61.
Pandangan yang tidak jauh berbeda juga dikemukan oleh Hamim Ilyas. Menurutnya, ”Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.”62
Dengan mengutip pendapat Azyumardi Azra dan Martin E. Marty, Hamim kemudian melanjutkan tulisannya bahwa di antara prinsip fundamentalisme adalah penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam ”kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.63
Seluruh paparan di atas tampaknya berkonvergensi pada sebuah kesimpulan bahwa istilah ‘muslim fundamentalis’ telah mengalami pematokan, pelebaran dan penyempitan. Istilah itu sempat dipatok untuk fenomena Salafiah Al-Afghânî. Kemudian dilebarkan untuk semua gerakan revivalisme Islam. Lalu disempitkan untuk gerakan muslim radikal/ekstrem/literal/garis-keras. Dan penyempitan inilah yang kini sering dijadikan sebagai “relational meaning” bagi kata ‘muslim fundamentalis’.
Di dalam kehidupan keagamaan masyarakat Muslim, pemakaian istilah fundamentalis selalu menjadi polemik. Di satu sisi penggunaan istilah itu terhadap kaum Muslim lebih tepat disebut dengan Islam fundamental karena orang Islam harus percaya dan mengimani ajaran Islam secara mendasar seperti yang termaktub dalam rukun iman dan rukun Islam. Rukun iman berisikan dasar-dasar keyakinan sedangkan rukun Islam merupakan aplikasi dari sikap penyerahan diri seorang hamba kepada Allah secara totalitas. Hal ini seperti yang termuat dalam firman Allah swt64 :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang memenuhi janjinya apabila ia berjanji; dan orangorang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”
Di sisi lain, penggunaan istilah fundamentalisme dimaksudkan untuk menggambarkan citra tertentu yang bersifat ekstrimisme, fanatisme dan bahkan terorisme dalam rangka mempertahankan keyakinan keagamaannya. Karena itu kaum fundamentalis sering disebut tidak rasional, tidak moderat dan cenderung melakukan kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah. Ciri yang melekat pada kaum fundamentalis menurut Dawam Rahardjo adalah sikap dan pandangan mereka yang radikal, militan dan berpikiran sempit, bersemangat secara berlebihan atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan memakai cara-cara kekerasan. Soalnya sikap-sikap semacam itu bukan monopoli mereka yang memegang teguh ajaran-ajaran yang fundamental dalam Islam. Banyak faktor yang melahirkan sikap-sikap semacam itu, dalam arti benar dan salah. Tapi bukan faktor itulah yang secara ekslusif menyebabkan kaum Muslim berpegang teguh pada ajaran Islam yang fundamental.65
Kalangan Muslim tertentu keberatan dengan istilah fundamentalisme, terutama atas dasar konteks historis istilah ini yang dihubungkan dengan fundamentalisme Kristen. Karena itu sebahagian mereka menggunakan istilah ushuliyyun untuk menyebut orang-orang fundamentalis (seperti yang telah diuraikan di atas), yakni mereka yang berpegang kepada fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadis. Dalam kaitan ini digunakan pula istilah al-Ushuliyyah al-Islamiyyah (fundamentalis Islam) yang mengandung pengertian kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar-dasar otoritas syar’iyah al-hukm. Formulasi ini seperti terlihat lebih menekankan dimensi politik gerakan dibandingkan dengan aspek keagamaannya.66 Terdapat sejumlah istilah lain dalam bahasa Arab yang digunakan kalangan fundamentalis Islam untuk mengacu kepada kelompok atau gerakan mereka. Istilah tersebut antara lain adalah Islamiyyun (kaum Islamis), ashliyyun (otentik, asli), dan salafiyyun (pengikut para sahabat utama). Sedangkan istilah muta’assib digunakan kalangan non-fundamentalis untuk menunjuk kelompok militan yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah. Dari semua istilah-istilah itu yang paling sering digunakan adalah istilah ushuliyyun (kaum fundamentalis) dan al-ushuliyyah al-Islamiyyah (fundamentalis Islam).67
Di sisi lain, penggunaan istilah fundamentalisme dimaksudkan untuk menggambarkan citra tertentu yang bersifat ekstrimisme, fanatisme dan bahkan terorisme dalam rangka mempertahankan keyakinan keagamaannya. Karena itu kaum fundamentalis sering disebut tidak rasional, tidak moderat dan cenderung melakukan kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah.
Dalam perspektif kesejarahan, fundamentalisme dapat dikonsepsikan sebagai satu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjaga, membela dan melstarikan kemurnian Islam dari pengaruh-pengaruh asing dengan cara kembali pada pondasi-pondasi skriptural (secara sederhana berarti pemahaman berdasar bunyi teks apa adanya). Sumber-sumber skriptural yang merupakan fundamen-fundamen Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Fundamentalisme skriptural, sesungguhnya menjadi instrumen yang tangguh dalam menyebarkan Islam di kalangan strata masyarakat bawah dari masyarakat kota sepanjang sejarah penyebaran Islam, dan juga telah menjadi bagian yang integral dari proses-proses islamisasi yang intensif. Hanbalisme (madzhab Hanbali) adalah salah satu dari empat madzhab sunni yang terkenal di dunia Islam.
Pada mulanya, Hanbalisme sebagai pondasi melawan. teologi rasional (kalam), karenanya, Hanbalisme dapat dipandang sebagai fundamentalisme Islam skriptural. Selain itu, fundamentalisme Hambali juga merupakan reaksi terhadap ancaman yang datang dari Shi’isme. Dalam melawan Shi’isme, Hanbalisme membela prinsip Sunnisme, yaitu sunnah (tradisi) dan jama’ah (komunitas), sedangkan dalam melawan teologi rasional Mu’tazilah, Hanbalisme membela bahwa al-Qur’an adalah kata Tuhan yang abadi (uncreated) dan menegaskan penerimaan proposisi-proposisi skriptural tanpa adanya kesangsian.
Sementara itu, dalam melawan tiga ancaman, pengaruh kaum salibis Kristen, Mongol dan Shi’isme, Ibnu Taymiah (wafat 1328) merupakan aktor utama di balik produksi gagasan-gagasan fundamentalisme Hanbali masa pertengahan. Tradisi Hambali inilah yang melahirkan gerakan Fundamentalis Wahabi di Arabia dan segera menjadi dominan di daerah-daerah tersebut. Gerakan fundamentalis Islam pra-moderen pertama muncul di bawah pimpinan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Banyak dipengaruhi gagasan-gagasan pembaharuan Ibn taymiyah dan memperoleh pendidikan di kalangfan ‘ulama‘ reformis di Haramayn, Ibn ‘Abd Wahhab menggoyang pendulum reformasi Islam ke titik ekstrem : Fundamentalisme Islam radikal. Fundamentalisme Wahabi tidak hanya menekankan purifikasi tawhid, tetapi juga penumpahan darah dan penjarahan Mekkah dan Madinah, yang diikuti pemusnahan monumen-monumen histories yang mereka pandang sebagai praktek-praktek menyimpang.68
Gerakan Wahabi, akhirnya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan fundamentalis di sebagian besar dunia Islam. Di Nigeria Utara, Syaikh Utsman dan Fodio (1754-1817) melancarkan aksi jihad memerangi penguasa Muslim dan pendukung-pendukungnya yang dianggap korup dan praktek-praktek Islam yang bercampur baur dengan tradisi budaya local, di Afrika Barat, Fundamentalis Islam dikomandani oleh al-Hajj ‘Umar Tal (1974-1865), di Indonesia kemiripan dengan Wahhabi ditandai dengan pembaharuan moderat yang dilancarkan oleh Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Ranceh dan lain-lain termasuk neo-Hambali “Wahhabisme” di India tahun 1818 dan tahun-tahun berikutnya, di Sudan dan Somalia, gerakan jihad dipimpin oleh Sayyid Muhammad ‘Abd Allah Hasan (1864-1920).69
Akan tetapi, sejak abad ke-11, dibandingkan dengan fundamentalisme skriptural maka sufisme adalah kekuatan utama dalam gerakan-gerakan massa yang instrumental dalam penyebaran Islam secara sosial dan gegorafis. Meskipun, sufisme dipandang sebagai rival dari fundamentalisme skriptural, ada yang mempertimbangkan bahwa gerakan ‘neo-sufi’ juga adalah satu bentuk fundamentalis. Hasan al-Banna, juga dipengaruhi oleh model sufisme dalam mengembangkan gerakan the Brotherhood (Ikhwanul Muslimin) di Mesir.
Relasi antara Mahdisme dengan fundamentalisme kontemporer adalah rumit dan melibatkan transformasi gagasan yang diperlukan. Mahdisme, dengan demikian, adalah tipe yang berlawanan dengan gerakan Islam (Islamic movements). Namun, apa yang penting dipahami adalah Mahdisme dan kebangkitan gerakan sufi secara historis merupakan agensi bagi penyatuan suku-suku dan pembentukan negara-negara berbasis Islam. Shi’isme, dengan demikian, adalah gerakan yang mengadung elemenelemen Mahdisme. Dalam Shi’isme, misalnya, ada keyakinan bahwa otoritas ulama sebagai representasi dari Mahdi sebagai ‘imam yang tesembunyi’ (the Hidden Imam). Dalam kondisi politik kontemporer, Shi’isme telah menjelma sebagai gerakan fundamentalis dengan menempatkan para imam sebagai aktor utama, seperti yang terjadi di Iran, yang masyhur disebut Revolusi Iran--yang menumbangan rejim tiran Syah Iran.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, ekonomi, urbanisasi, krisis moral dan seksualitas di dunia moderen, menjadi faktor-faktor yang signifikan bagi kelahiran gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di seluruh dunia Muslim. Selanjutnya, yang patut digaris bawahi bahwa gambaran utama dari kebangkitan gerakan Islam (Islamic Movements) adalah gagasan mengenai “political Islam”.
Gerakan the Muslim Brothers (Ikhwanul Muslimin) di Mesir, menurut Hamid Enayat, merupakan perintis dari gerakan fundamentalisme Islam, yang kemudian diikuti oleh gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di seluruh dunia Muslim -secara khusus Mesir, Syiria, Iran, Pakistan, Indonesia dan Malaysia- dengan bentuk-bentuk yang tidak homogen. Ideologi, tabiat dan gaya dari aktivitas gerakan-gerakan tersebut, di setiap negara, secara umum ditentukan oleh strategi dan prasyarat perjuangan nasional, baik itu kemerdekaan, demokrasi atau mendapatkan kembali identitas budaya nasional yang hilang.70
Hal senada diungkapkan pula oleh Frank Stoakes, bahwa politik fundamentalisme Islam telah menjelma di Turki dan kelompok-kelompok politik di Iran, akan tetapi pengekspresian politik Islam yang paling dramatis diwakili oleh the Muslim Brothers yang didirikan tahun 1928 di Mesir. Tujuan dari the Brotherhood adalah untuk memapankan satu negara Muslim teokratik (Islamic state) dengan satu nada sosialis, yang diklaim, memungkinkan pelaksanaan yang utuh atas doktrin-doktrin Islam. Akan tetapi, organisasi dan teknik-teknik politiknya banyak mengadopsi partai-partai otoritarian di Eropa, dan dalam mencapai tujuannya mereka memperkenankan melalui cara-cara pembunuhan dan revolusi militer.71
Karena itu, menurut Hamid Enayat, kuatnya tuntutan bagi lahirnya Negara Islam, dan motif-motif serta alasan-alasan bagi tuntutan tersebut, amat bervariasi dari satu negara ke negara lain. Sebelum revolusi Islam Iran meletus tahun 1979, daya tarik paling kuat datang dari kasus Pakistan, di mana Islam yang membawa Pakistan menjadi satu negara. Apa yang terjadi di Mesir dan Iran tidak kalah dasyhatnya, meskipun selalu dibingungkan oleh kompetisi ideologi-ideologi -nasionalisme, liberalisme, sosialisme dan komunisme. Karakteristik-karakteristik umum dari gerakan di Mesir, Iran dan Pakistan dapat dikatakan sebagai “examples of modern Islamic Fundamentalism” -berlawanan dengan tipe tradisional yang ditunjukan oleh model Saudi.72
Demikianlah di antara pandangan tafsir fundamentalis yang dikemukan para ilmuwan. Sebenarnya, pandangan-pandangan lain yang dianggap sebagai pandangan “fundamentalis Islam” masih banyak. Penulis sengaja mengambil beberapa pendapat di atas sekadar sebagai contoh, bukan dengan maksud membatasi. Selain itu, pembahasan kita akan terlalu panjang dan melebar apabila penulis mencantumkan pandangan-pandangan yang lain.
6. The Theoritical Framework/ Approach and Research Methodology
Pendekatan Penelitian
Buku yang merupakan hasil penulis (Jack Nelson – Pall Mayer) yang cukup orisinil ini menelaah teks-teks suci tiga agama monoteisme (dalam Perjanjian Baru, Perjanjian Lama dan Al Qur’an). Pendekatan penelitian yang Nampak paling dominan yang dilakukan para penulis yakni penelitian dengan menggunakan pendekatan Filologi yakni penelitian terhadap naskah-naskah yang menjadi sumber agama. Namun demikian jika kita lebih cermat, kita juga akan menemukan beberapa pendekatan yang terdapat dalam buku untuk mengantarkan pada pemahaman yang dimaksud oleh kedua penulis. Beberapa pendekatan yang dimaksud yakni :
a.Pendektan Antropologi. Pendekatan antropologi dalam memahami agama diartikan sebagai memahami prilaku keagamaan yang sesungguhnya adalah prilaku yang terdapat dalam kenyataan baik itu individu maupun masyarakat.
b.Pendekatan Sosiologis. Pendekatan sosiologis juga bisa digunakan untuk memahami prilaku keagamaan suatu masyarakat tertentu
c.Pendekatan Histories. Pendekatan sejarah digunakan untuk memahami agama yang lahir dalam kondisi social masyarakat pada waktu lahirnya.
Metode Analisis
Ada beberapa metode analisis yang digunakan penulis dalam buku ini seperti metode dokumentasi. Disamping itu metode observasi sosiologis dan antropologis dan metode perbandingan.
Metode dokumentasi digunakan penulis untuk memahami pengalaman keagamaan seseorang atau sekelompok orang dalam beragama walaupun bukan metode murni akan tetapi ini merupakan instrument yang paling pokok dalam mendekati kehidupan keagamaan seseorang, atau kelompok umat beragama. Dalam menggunakan metode dokumentasi ada dua pendekatan yang dipakai yakni : Nomothetic dan Idiographic. Penulis buku dalam hal ini lebih menggunakan pendekatan nomothetic. Dimana penulis mempelajari berbagai masalah untuk menemukan generalisasi umum yakni tentang kekerasan agama atau lebih tepatnya fundamentalisme agama. Sedangkan idiographic hanya menggunakan satu dokumen untuk menyingkap generalisasi masalah lain sepanjang konteks kasus dokumen yang diteliti.
Metode observasi sosiologis dan antropologis juga dipergunakan penulis ketika penulis ingin mengetahui tindak laku agamaniah dari kelompok penganut agama monoteisme, disamping itu penulis buku ini juga menggunakan pendekatan perbandingan untuk membandingkan satu kelompok agama dengan kelompok lain dalam persfektifnya terhadap teks-teks suci agama.
Namun sekali lagi bahwa sesuai dengan judulnya dalam buku buku ini penulis (Jack Nelson – Pall Mayer) melakukan pendekatan Filologi yang cukup orisinil dengan menelaah teks-teks suci (Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Al Qur’an). Dan dengan mengkombinasikan beberapa metode analisa terhadap teks-teks suci dengan membandingkannya dengan prilaku keagamaan penganut agama monoteisme (Yahudi, Kristen dan Islam)
7. The Limitation and Key Assumptions
Ruang lingkup buku yang disusun oleh Jack Nelson – Pall Mayer adalah menyangkut Akar Kekerasan Dalam Bibel dan Al Qur’an. Maka asumsi-asumsi kunci yang digunakan tentunya terkait dengan hal-hal sebagai berikut yakni yaini :
a.Akar kekerasan(baca : fundamentalisme) dalam Bibel dan Al Qur’an
b.Fundamentalisme dalam persfektif Barat (baca : Kristen) dan Timur (baca : Islam)
c.Tafsir fundamentalisme dalam Bibel dan Al Qur’an
8. The Result of Research/The Conclusion
Buku yang berjudul “Is Religion Killing Us? Membongkar Akar Kekerasan dalam BIbel dan Al-Quran” tulisan Jack Nelson-Pallmayer yang diterbitkan oleh Pustaka Kahfi Yogyakarta pada 2007. Sesuai dengan judulnya, Jack Nelson-Pall Mayer menyoroti ajaran-ajaran dalam Bibel dan Al-Quran yang menurutnya sering mendorong terjadinya kekerasan atas nama Tuhan. Penulis buku ini berkesimpulan bahwa, ”Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” 73
9. The Contribution to Knowledge
Sebagai seorang penganut Kristiani -Jack Nelson dan Pall Mayer- meskipun berangkat dari pemahamannya yang kurang akurat tentang agama-agama monoteisme sehingga berkesimpulan bahwa, ”Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” 74
Namun telah memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap penelitian agama, dalam arti penelitian terhadap teks-teks agama. Beberapa kontribusi yang dapat dikemukakan disini yakni : Pertama, penulis dapat menjelaskan dengan cukup baik tentang cara memahami penerimaan tradisi kekerasan atas nama Tuhan dalam teks-teks suci yang mendorong kekerasan manusia dan mendukung prilaku sewenang-wenang untuk mendapatkan kekuasaan. Gambaran yang dominan dari kekuasaan Tuhan dalam Bibel dan Qur’an diperkuat dengan otoritas hak atas penguasaan kepercayaan dan kepemilikan orang lain. Kekuasaan tuhan sering kali diekspresikan dalam bentuk yang menakutkan, berupa sanksi, hukuman, siksaan, kekalahan musuh dan superioritas kekerasan.
Kedua, penulis dapat menjelaskan dengan cukup baik tentang bagaimana dan penerimaan terhadap tradisi kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan, menguatkan hubungan antara kekerasan dan ketuhanan, sehingga secara fungsional kekerasan menjadi agama baru didunia ini. Kebanyakan orang -termasuk orang-orang beriman- Ateis, Kristen, Muslim , Marxis, Yahudi, polities, penganut kepercayaan, revolusioner, kontrarevolusioner, komunis, kapitalis anarkis, fundamentalis dan pemimpin Negara yang menghukum Negara -pendukung terror dan terorisme- meyakini bahwa tindakan kekerasan itu benar. Jika agama dan kepercayaan itu merupakan pokok kesetiaan, maka bisa dikatakan bahwa kekerasan merupakan prinsip agama dunia.75
Ketiga, penulis dapat menguraikan denga cukup lugas tentang krisis agama Kristen, kekerasan dan teks-teks suci dalam konteks militerisasi AS. Permasalahan Islam dan kekerasan yang dimunculkan setelah kejadian penyerangan teroris pada 11 September 2001. Meskipun orang-orang cukup keras memperbincangkan agama Kristen dan kekerasan dalam kontekk militerisasi AS yang didahului dan diikuti kekerasan. Dan akhirnya melalui karyanya ini penulis mengajak para pembaca untuk mencari sebuah jalan keluar dari spiral kekerasan sebagai jantung kehidupan dunia, tentang bagaimana menampilkan ide-ide sebagai jalan alternative untuk mendekati teks-teks suci sehingga kita dapat belajar dari penyimpangannya.76
10.The Bookreviewer Critique toward the Book
Jack Nelson-Pall Meyer menulis buku tersebut, berangkat dari pengalaman dan pemahamannya sebagai seorang Kristen di Barat. Dengan demikian pemahamannya terhadap Al-Quran dan Islam tampak dangkal. Banyak hal bisa dikritisi dari isi buku ini, oleh sebagian kalangan dianggap karena penulisnya sudah menggugat kesucian teks Al-Quran. Misalnya, penulis berkesimpulan, bahwa “Masalah Islam yang identik dengan kekerasan tidak hanya sebatas adanya ketidaksesuaian teks-teks, tetapi berakar pada banyaknya ayat-ayat dalam Qur’an yang melegitimasi kekerasan, peperangan dan intoleransi” (hal. 165).
Penulis buku ini juga oleh para pengkritik dianggap dengan semena-mena membuat kesimpulan, bahwa “Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” (hal. 180).
Disamping, kritik terhadap buku Jack Nelson dan Pall Meyer tersebut, banyak pula kritik yang datang yang ditujukan kepada pemberi kata pengantar dalam buku tersebut yakni kata pengantar yang disampaikan oleh Dr. Hamim Ilyas dengan judul “Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Quran” dari kata pengantar ini Hamim banyak menuai kritik diantaranya yakni yang datang dari Adian Husaini. Adian mengkritik pernyataan Hamim yang menyatakan bahwa fundamentalis adalah orang-orang yang skripturalis atau literalis dalam memahami Al-Quran, menolak hermeneutika, menolak pluralisme, menolak relativisme. Diawali dengan penolakan terhadap fundamentalisme islam yang disematkan Barat (baca: Kristen), selanjutnya Adian menulis “Kita bisa saja tidak setuju dengan sebagian pemikiran Hasan al-Banna atau Abul A’la al-Maududi. Tetapi, untuk apa memberi cap bahwa mereka adalah fundamentalis, literalis, anti-pluralis, dan sebagainya? Tuduhan-tuduhan seperti ini sebenarnya sangat naif dan bodoh, apalagi dilakukan oleh seorang doktor dan dosen tafsir. Abul A’la al-Maududi, misalnya, adalah pemikir besar yang karya-karyanya telah memberi inspirasi dan manfaat bagi jutaan kaum Muslim di seluruh dunia”
Kritik Adian menyangkut penggunaan Hermeneutika kepada hamim misalnya, Adian menulis “Pada muktamarnya di Boyolali tahun 2004, NU juga menolak penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa NU juga fundamentalis? Di Muhammadiyah sendiri, banyak tokohnya yang telah menulis secara kritis bahaya penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa mereka semua itu adalah kaum fundamentalis?” (untuk lebih jelasnya kritik Adian ini misalnya dapat dilihat pada www.hidayatullah.com atau www.swaramuslim.net)
Selain kritik dari Adian ada juga kritik yang datangnya dari Muhammad Isa Ansori, Isa menyatakan bahwa beberapa pandangan yang sering diidentikkan sebagai doktrin sentral fundamentalisme merupakan bukti ketidakpahaman si penuduh terhadap ajaran Islam. Doktrin Islam kaffah yang tertera dalam QS Al-Baqarah: 208 misalnya, menurut Hamim Ilyas, pemahaman yang benar dan tepat mengenainya adalah seruan untuk melakukan keseimbangan dalam kehidupan ini antara aspek spiritualisme dan aspek materialisme. Sebab, ayat ini turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang sedang mengalami transisi dari peradaban spiritualisme menuju peradaban materialisme. Pemahaman seperti ini ternyata merupakan pemahaman aneh yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tafsir para ulama. Menurut sebagian besar pendapat para ulama dalam kitab-kitab tafsir mereka, konsep Islam kafffah yang tertera dalam QS Al-Baqarah: 208 adalah perintah untuk melaksanakan atau masuk ke dalam syariat Islam secara total. Akan tetapi, pemahaman seperti ini oleh Hamim Ilyas dianggap sebagai doktrin fundamentalisme.
11.The References
www.asmaul.org di akses pada tanggal 03 Maret 2009
Ihsan Ali-Fauzi, Ambivalensi sebagai peluang: Agama, Kekerasan dan Upaya Perdamaian, Artikel : dalam www.scripps.ohio.edu/new/ diakses pada tanggal 03 Maret 2009
Charles Kimball, Kala Agama Menjadi Bencana, terj. Nurhadi, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2003 dalam www.scripps.ohio.edu/new/ diakses pada tanggal 03 Maret 2009
Pallmayer - Jack Nelson “Is Religion Killing Us? Membongkar Akar Kekerasan Dalam Bibel dan Quran”, 2007. Yogyakarta : Pustaka Kahfi.
www.mindamadani.my/content/blogcatagory/6/9 di akses pada tanggal 23 Februari 2009
http://fokammsi.wordpress.com/2008/04/23/wacana-fundamentalisme-dalam-alquran di akses pada tanggal 23 Februari 2009
Ilyas, Hamim. “Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Quran”, kata pengantar dalam Pallmayer - Jack Nelson. 2007. Is Religion Killing Us, Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Kahfi.
Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan). Jakarta: Paramadina.
Muhammad Isa Anshory. Wacana Fundamentalisme Dalam Al Qur’an dalam http://fokammsi.wordpress.com/2008/04/23/wacana-fundamentalisme-dalam-alquran di akses tanggal 23 Februari 2009
Imarah, Muhammad. 1999. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Adian Husaini Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta. Gema Insani Press. 2005
Husni, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi : Kritik Terhadap Pemikiran Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra. Jakarta. Dea Press.
Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Dawam Rahardjo, dalam. Muhamad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, 1996.
Azyumardi Azra, Pergoalakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996
QS. Baqarah ayat 177
Khaled Abou El Fadl. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Serambi. Jakarta. 2006
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Austin: University of Texas, 1982), h. 83. Dalam Makalah. Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Frank Stoakes dalam “An Anthology of Contemporary Middle Eastern History“ (Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, tt), h. 24 dalam Makalah. Akhyar. Fundamentalisme Dalam Agama Islam dan Kristen. tt.
Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 23 Februari 2009
Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.
Ma’arif, Zainul. “Menggali Akar Fundamentalisme Islam; Paradigma Kompleks Sebagai Pisau Analisis” dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=74 Diakses pada tanggal 23 Februari 2009
Sayyid Quthub, Ma‘âlim fî al-Tharîq, (Cairo: Dâr Syurûq, 1992), h.10-11dan 67. Dalam Makalah Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, (Egypt: Musthofa Al-Bâbiy Al-Halbiy. Co. Press, 1968) h.112-113, CF., Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi; Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an Vol.5, (Dâr Sya‘b, t.t) h..2187 Dalam Makalah Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam:Predicement and Promise, terj. Posmodernisme:Bahaya dan Harapan Bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1993)
Maududi dikutip dalam An Anthology of Contemporary Middle Eastern History (Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, tt), h. 416 Diambil dalam Makalah Akhyar Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Pada dasarnya semua agama itu bertujuan baik, karena mengajarkan masalah mendasar yang penting dan penuh makna. Perbedaan agama yang ada seharusnya dapat melahirkan proses interaksi dan toleransi yang proporsional dan positif. Dimana masing-masing pemeluk agama dapat saling menjalankan agamanya secara dewasa, bertanggung jawab, dan tanpa saling mengganggu. Bahkan seharusnya perbedaan agama dapat melahirkan sikap berlomba-lomba dalam kebaikan dan ketinggian moral untuk merefleksikan ajaran kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kepedulian sesama, karena masing-masing masyarakat beragama ingin menunjukkan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling menjunjung tinggi etika, baik etika kepada manusia maupun kepada Tuhan.
Namun kenyataannya, saat ini sangat sulit mencari agama yang benar-benar diperuntukkan untuk perdamaian dunia (rahmatan lil alamin). Karena, agama seringkali dijadikan “kedok” untuk melakukan tindak kekerasan, kecurangan, pembunuhan juga teror sebagai dalih untuk mewujudkan kedamaian, keadilan dan perlawanan atas nama Tuhan. Dan semua tindak kekerasan itu bersumber pada teks-teks suci yang ada pada kitab masing-masing. Teks-teks yang ada pada kitab diartikan secara subjektif oleh penganutnya sehingga memberi pandangan yang negatif bahwa Tuhanlah yang membuka peluang besar untuk menimbulkan konflik berdarah. Klaim-klaim atas tindakan kekerasan yang dibenarkan dan merujuk pada teks-teks suci agama monoteis (Yahudi, Kristen dan Muslim) merupakan penghalang utama tercapainya harapan agama sebagai rahmat bagi semesta. Pertikaian antar etnik yang terjadi diberbagai belahan dunia dan pertarungan untuk membenarkan kalim masing-masing yang nampaknya semua itu berlandaskan pada firman-firman Tuhan adalah bukti nyata.
Kekuasaan Tuhan seringkali diekspresikan dalam bentuk yang menakutkan berupa sanksi, hukuman, siksaan, kekalahan musuh dan superioritas kekerasan. Kaum fundamentalisme seringkali mengatasnamakan Tuhan dan Agama serta mengutip ayat-ayat yang ada dalam kitab suci dalam melakukan terorisme. Teks-teks suci yang di dominasi bayangan kekerasan memberikan motivasi dan inspirasi untuk melakukan terorisme tersebut. Mereka menyakini bahwa tindak kekerasan itu dilegalkan karena ajaran kekerasan tersebut telah termaktub dengan jelas dalam kitab suci, baik kitabnya orang Yahudi, Kristen maupun Muslim.1
Tuduhan terhadap agama yang tidak hanya membawa misi perdamaian, tetapi juga misi kekerasan sulit untuk ditolak manakala menyaksikan bahwa agama seringkali digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindak kekerasan yang dilakukan sebagian umat beragama. Paling tidak ada tiga alasan mengapa agama memiliki kemungkinan untuk dijadikan landasan dan pembenaran tindak kekerasan. Pertama, adalah karena fungsi agama sebagai ideologi. Dalam fungsi ini agama kemudian menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana tatanan sosial di anggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan. disisi lain fungsi perekat ini juga bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidakadilan dan kesenjangan yang selalu menjadi topik yang panas dan acapkali melahirkan tindak kekerasan.
Kedua, adalah fungsi agama yang juga sebagai faktor identitas. Agama secara spesifik dapat di identikkan kepemilikannya pada manusia atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos dan sebagainya. Hal ini lebih mengkristal lagi bila dikaitkan dengan identitas lainnya seperti seksual (jenis kelamin), etnis (kesukuan), bangsa dan sebagainya. Pertentangan etnis, kelompok, bangsa dan sebagainya sangat mungkin melahirkan kekerasan dan di sini agama sangat mungkin untuk turut diikutsertakan juga. Ketiga, fungsi agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme ini bukan sakralisasi hubungan antar manusia, tetapi suatu hubungan antar manusia yang mendapat dukungan dan legitimasi dari agama.
Menyangkut peran agama, sebenarnya terdapat dua konsep penting yang dimiliki setiap agama yang dapat mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni (a) fanatisme dan, (b) toleransi. Seharusnya kedua konsep ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama tertentu bisa menjebak ke dalam pengaburan makna ajaran agama, selain bahwa eksistensi agama juga akan melemah karena dalam situasi ini orang terkadang tidak lagi bangga dengan agama yang mereka peluk. Agama bisa saja akhirnya hanya menjadi sekedar ritual karena agama yang bersangkutan sama derajat dan kebenarannya dengan agama lainnya yang ada.
Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya.
Selain masalah fanatisme dan toleransi seperti di atas, agama juga mendorong pemeluknya untuk memiliki keterikatan dengan agama yang dianutnya. Keterikatan ini bisa diimplementasikan melalui bentuk-bentuk ritual (praktek keagamaan) secara ketat, selain dengan penghayatan tingkat tinggi kepada ajaran-ajaran agama. Dalam situasi tertentu, tuntutan keterikatan ini bisa memunculkan sikap-sikap radikal, yang bahkan bisa menjurus kepada tindak kekerasan, karena hal itu berkaitan dengan upaya secara ketat menjalankan ajaran agama dan secara keras meluruskannya ketika agama dianggap telah diselewengkan. Jadi kekerasan atas nama agama, bisa dikatakan tidak hanya sebagai kelanjutan dari fundamentalisme yang menguat, tetapi juga karena hadirnya tantangan dari luar yang juga menguat.
Dalam konteks ini, primordialisme juga muncul secara kuat sehingga kekerasan pihak luar yang dilawan kekerasan adalah salah satu manifestasi bentuk primordialisme tersebut. Selanjutnya, kekerasan atas nama agama bisa terjadi juga karena munculnya hubungan di antara keduanya yang ditandai oleh ambiguitas, yakni sifat mendua yang sangat nyata. Inilah yang kemudian melahirkan pepatah bahwa agama ibarat dua sisi mata uang yang bertolak belakang yakni sebagai sumber kedamaian, sekaligus sebagai sumber kekerasan dan konflik. Kalangan agamawan boleh saja mengklaim orientasi kepada kedamaian sudah intrinsik dalam tradisi dan ajaran agama-agama, tetapi secara intrinsik pula agama telah memancing dan melahirkan terjadinya konflik dan kekerasan.
Menurut Ihsan Ali-Fauzi,2 bahwa akar kekerasan teologis juga bisa bersifat internal dan eksternal. Untuk akar teologis internal, Ihsan menyebutnya sebagai kaum fundamentalis agama sedangkan akar teologis yang bersifat eksternal menurutnya adalah kaum fundamentalis sekuler. Lebih lanjut menurut Ihsan, mereka yang berada di kedua front fundamentalis di atas, baik fundamentalis agama maupun sekuler, keduanya sama-sama dirugikan dengan kekerasan atas nama agama, kecuali jika mereka berpandangan bahwa kehidupan yang normal adalah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya konflik dan kekerasan secara terus-menerus. Integrasi agama dan kekerasan memang bisa terjadi dalam banyak situasi.
Namun demikian menurut Charles Kimball,3 terdapat lima situasi dimana agama sangat berpotensi untuk berintegrasi dengan tindak-tindak kekerasan. Pertama, ketika agama mengklaim kebenaran agama sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Sebagai bukti, Kimbal mencontohkan suatu kasus tentang klaim kebenaran di kalangan Kristen Fundamentalis. Kedua, agama bisa melahirkan tindak kekerasan ketika dibarengi dengan ketaatan secara membabi buta kepada pemimpin agama. Ketiga, agama juga menurut Kimbal bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika umatnya mulai merindukan zaman ideal mereka di masa lalu dan bertekad merealisasikannya pada masa sekarang. Kimbal memberi contoh ide Negara (agama) Yahudi seperti dicetuskan oleh Rabbi Mei Kahane yang berakibat terusirnya warga Rabdu dari daerah Judea dan Samaria. Keempat, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika tujuan tertentu menghalalkan segala cara. Tujuan ini, menurut Kimbal bisa dimotivasi karena berbagai hal seperti (a) karena mempertahankan tempat suci. (b) untuk melindungi ajaran agama yang dirasa sedang dalam bahaya. (c) untuk mempertegas identitas kelompok dari dalam dan (d) untuk mempertegas indetitas kelompok melawan orang luar; Kelima, agama bisa berintegrasi dengan kekerasan ketika perang suci (holy war) sudah dipekikkan.
Proses terjadinya integrasi kekerasan teologis dalam diri umat beragama dapat dijelaskan melalui tiga variabel utama.4 Pertama, variabel norma dan ajaran agama. Ajaran agama yang berisi norma-norma senantiasa mempengaruhi tingkah laku dan tindakan umatnya. Namun, ajaran agama tentu saja harus diinternalisasikan dan diinterpretasikan karena kebanyakan bersifat sangat umum. Hal ini juga merupakan keniscayaan karena setiap masyarakat beragama mengalami proses sosialisasi primer yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, disamping juga karena perbedaan pengalaman, pendidikan, dan tingkatan ekonomi diantara mereka. Dari proses internalisasi dan interpretasi inilah lahir apa yang diidealkan, terutama yang berkaitan dengan cita-cita kehidupan masyarakat kaum beragama. Kedua, variabel sikap dan pemahaman agama. Sikap dan pemahaman agama merupakan kelanjutan dari ajaran dan norma agama. Asumsinya adalah bahwa selalu ada beberapa sikap umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan norma dan ajaran agama mereka. Sikap ini tersimbolkan dalam penerapan pemahaman kaum beragama ke dalam norma dan ajaran agama mereka. Dalam hal ini biasanya muncul golongan nisbi, substansialis dan skripturalis. Ketiga, variabel sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang nyata dalam masyarakat. Hal ini meliputi juga faktor-faktor domestik dan internasional.
Hegemoni politik oleh Negara ataupun represi yang dilakukan individu ataupun kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok umat beragama akan melahirkan respon yang berbeda-beda dari individu dan kelompok yang ada. Kalangan nisbi biasanya sama sekali tidak merespon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya kelompok skripturalis yang diasumsikan biasanya akan memperlihatkan sikap radikal termasuk menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara, kelompok substansialis, meskipun memiliki kepedulian terhadap agamanya masing-masing dalam berbagai bidang, mereka akan memperlihatkan sikap lebih moderat dibanding kelompok skripturalis. Melalui ketiga variabel di atas, proses integrasi kekerasan teologis dijelaskan melalui akar teologis kekerasan (yang bersumber dari ajaran-ajaran dan norma-norma agama), melalui akar antropologis (yang berkaitan dengan kemampuan manusia menerima, memahami dan menafsirkan ajaran dan norma agama melalui implemantasinya dalam sikap dan cara hidup, sebagai suatu budaya) dan melalui akar sosiologis (yakni bersumber dari relasi sosial politik antar individu dan kelompok umat beragama yang berbeda-beda baik dalam skala lokal, domestik (nasional) maupun internasional).
Dari uraian diatas dengan demikian kajian ini akan menarik dan menjadi penting untuk mengkaji pengaruh fundamentalisme terhadap agama dalam hal ini pengaruh teks Al Qur’an dan Bibel, selanjutnya dari hal tersebut kita akan coba menemukan entry point tentang akar fundamentalisme tersebut, dalam arti apakah tindak kekerasan itu bersumber pada teks-teks suci yang ada pada kitab masing-masing agama? Dan bagaimana masing-masing kelompok menafsirkan teks-teks tersebut, apakah teks-teks yang ada pada kitab-kitab tersebut diartikan dsedemikian rupa sehingga memberi pandangan yang negatif bahwa Tuhanlah yang membuka peluang besar untuk menimbulkan konflik berdarah atau bagaimana?
2. The Hypothesis, Problem, or Question, Sense of Academic Crisis
Sense of crisis penulis buku ini (Jack Nelson dan Pall Mayer) seorang Kristiani berawal adanya fakta mengenai gambaran tuhan yang dirasakan identik sebagai penghukum dan penganiaya, serta sebagai pemaksa dan bertindak sewenang-wenang dan hal tersebut merupakan tema yang dominan dalam ketiga agama monoteisme (Yahudi, Kristen dan Islam). Dari fakta inilah penulis selanjutnya mengajak kepada umat beragama untuk lebih jernih dalam melihat kejahatan yang mengatasnamakan Tuhan di inti teks-teks suci agama monoteisme (Yahudi, Kristen dan Islam.5
Kedua, adanya klaim kebenaran dari masing-masing agama dalam arti klaim kebenaran ini berangkat dari interpretasi terhadap teks-teks suci agama, permasalahannya adalah kekerasan yang actual didasarkan pada teks-teks sehingga dapat dikutip secara rasional oleh pemeluk agama sehingga membenarkan tindak kekerasan yang mereka lakukan.6
Sehingga dalam bukunya ini penulis mengajak para pembaca, khusunya para pemeluk agama monoteisme untuk lebih memahami tentang hal-hal sebagai berikut : Pertama, tentang bagaimana penerimaan tradisi kekerasan atas nama Tuhan dalam teks-teks suci yang mendorong kekerasan manusia dan mendukung prilaku sewenang-wenang untuk mendapatkan kekuasaan. Gambaran yang dominan dari kekuasaan Tuhan dalam Bibel dan Qur’an diperkuat dengan otoritas hak atas penguasaan kepercayaan dan kepemilikan orang lain. Kekuasaan tuhan sering kali diekspresikan dalam bentuk yang menakutkan, berupa sanksi, hukuman, siksaan, kekalahan musuh dan superioritas kekerasan. Kedua, tentang bagaimana penyebaran dan penerimaan terhadap tradisi kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan, menguatkan hubungan antara kekerasan dan ketuhanan, sehingga secara fungsional kekerasan menjadi agama baru didunia ini. Kebanyakan orang -termasuk orang-orang beriman- Ateis, Kristen, Muslim , Marxis, Yahudi, polities, penganut kepercayaan, revolusioner, kontrarevolusioner, komunis, kapitalis anarkis, fundamentalis dan pemimpin Negara yang menghukum Negara -pendukung terror dan terorisme- meyakini bahwa tindakan kekerasan itu benar. Jika agama dan kepercayaan itu merupakan pokok kesetiaan, maka bisa dikatakan bahwa kekerasan merupakan prinsip agama dunia.7
Ketiga, tentang krisis agama Kristen, kekerasan dan teks-teks suci dalam konteks militerisasi AS. Permasalahan Islam dan kekerasan dimunculkan setelah kejadian penyerangan teroris pada 11 September 2001. Meskipun orang-orang cukup keras memperbincangkan agama Kristen dan kekerasan dalam kontekk militerisasi AS yang didahului dan diikuti kekerasan. Dan terakhir penulis mengajak para pembaca untuk mencari sebuah jalan keluar dari spiral kekerasan sebagai jantung kehidupan dunia, tentang bagaimana menampilkan ide-ide sebagai jalan alternative untuk mendekati teks-teks suci sehingga kita dapat belajar dari penyimpangannya.8
Seperti yang telah dikemukakan di atas, Kajian ini menjadi penting untuk mengkaji pengaruh fundamentalisme agama dan akar fundamentalisme benarkah bahwa semua tindak kekerasan itu bersumber pada teks-teks suci masing-masing agama baik itu Al Qur’an maupun Bibel. Selanjutnya teks-teks yang ada pada kitab diartikan secara subjektif oleh penganutnya sehingga memberi pandangan yang negatif bahwa Tuhanlah yang membuka peluang besar untuk menimbulkan konflik berdarah. Klaim-klaim atas tindakan kekerasan yang dibenarkan dan merujuk pada teks-teks suci agama monoteis (Yahudi, Kristen dan Muslim) merupakan penghalang utama tercapainya harapan agama sebagai rahmat bagi semesta. Pertikaian antar etnik yang terjadi diberbagai belahan dunia dan pertarungan untuk membenarkan klaim masing-masing yang nampaknya semua itu berlandaskan pada firman-firman Tuhan adalah bukti nyata. Benarkan demikian?
Kekuasaan Tuhan seringkali diekspresikan dalam bentuk yang menakutkan berupa sanksi, hukuman, siksaan, kekalahan musuh dan superioritas kekerasan. Kaum fundamental seringkali mengatasnamakan Tuhan dan Agama serta mengutip ayat-ayat yang ada dalam kitab suci dalam melakukan terorisme. Teks-teks suci yang di dominasi bayangan kekerasan memberikan motivasi dan inspirasi untuk melakukan terorisme tersebut. Mereka menyakini bahwa tindak kekerasan itu dilegalkan karena ajaran kekerasan tersebut telah termaktub dengan jelas dalam kitab suci, baik kitabnya orang Yahudi, Kristen maupun Muslim. Benarkan demikian?
3. The Importance of Topic
Diskursus tentang fundamentalisme merupakan wacana lama yang sering menimbulkan pro dan kontra, terlebih ketika istilah ini diembel-embeli dengan nama Islam. Sebab, istilah ini tidak pernah ada dan tersebar di kalangan umat Islam sepanjang sejarah mereka selama berabad-abad. Oleh sebagian orang, istilah fundamentalisme Islam menjadi umum dipakai untuk menunjukkan pandangan sekelompok muslim yang tidak disenangi Barat.
Violence atau al-`unuf atau kekerasan merupakan kata yang "laris" dan komersial sejak tragedi 11 September 2001. Di samping kata tersebut, ada juga Osama bin Laden yang hingga hari ini disebut-sebut sebagai "dalang" beberapa peristiwa tindak kekerasan. Di Barat, kata violence identik dengan harakah islamiyah (pergerakan Islam). Sedangkan di Timur (baca: dunia Islam), kata al-`unuf identik sebagai sebuah "tantangan" dari luar, yakni Barat.9
Stagnasi negatif saat ini adalah berdampak pada agama Islam teroris, karena Al Qur’an mengajarkan tindak kekerasan. Oleh karenanya, Islam harus dihapuskan. Dan penghapusan Islam ini, harus dimulai dari penghapusan nilai-nilai Qur’ani. Akhirnya, berbagai tudingan "singgah" ke wajah Islam dan kaum Muslimin. Fenomena ethnic cleansing yang terjadi di Palestenia, kekerasan yang terjadi di Irak, pertempuran yang terjadi di Chechnya (yang sekarang sudah dilupakan), kematian Rafiq Al-Hariry dan isu kekerasan lainnya, oleh Barat dinilai sebagai tindakan pihak Islam, yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok harakah islamiyah. Tiga kelompok Islam yang ada di Irak yakni Al-Jihad wa Al-Tawhid (yang dipimpim oleh Abu Mushab Al-Zarkawi), Anshar Sunnah dan Al-Jaisy Al-Islamiy, dipandang oleh Amerika sebagai kelompok teroris. Bahkan Israel menganggap penduduk Palestina sebagai teroris, karena melakukan perlawanan (al-muqâwah). Fenomena rancu inilah kiranya yang harus dilihat secara objektif. Benarkah Islam itu teroris? Apa benar Al Qur’an mengajarkan umat Islam untuk melakukan tindak kekerasan? Dan apakah wacana kekerasaan itu khusus (terjadi) di negara-negara Islam?10
Menurut M. ‘Âbid al-Jâbirî, istilah ‘muslim fundamentalis’ awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al-Afghânî. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tidak memiliki istilah padanan yang tepat untuk menerjemahkan istilah Salafiyyah. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa term ‘Muslim Fundamentalis’ adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan atau kelompok Islam Kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir.11
Adapun M. Said al-Asymawi mengatakan bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat Kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrim dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islam pun muncul. Fazlur Rahman, seorang tokoh yang biasa digolongkan “modernis”, menyebut fundamentalis sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial”, “anti intelektual” dan pemikirannya “tidak bersumberkan kepada Al-Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam”.12
Sementara itu, Dr. Hamim Ilyas, dalam buku Is Religion killing Us? (Membongkar Akar Kekerasan Dalam Bibel dan Qur’an) memaparkan fundamentalisme sebagai berikut.13 :
“…Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi, sehingga yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin teologis, tapi juga doktrin-doktrin ideologis. Doktrin-doktrin itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam Faraj, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi…”
Demikianlah di antara pandangan tafsir fundamentalis yang dikemukan para ilmuwan. Pada makalah kali ini selain kajian tentang fundamentalisme dan seputar perbedaan pendapat disekitarnya yang menyangkut “fundamentalisme islam” kita juga akan melihat sejauh mana Al Qur’an dan Bibel memberikan andil dalam menciptakan akar kekerasan agama ini dan bagaimana kedua teks suci tersebut di tafsirkan sehingga dapat menjadi akar timbulnya fundamentalisme agama. Sebenarnya, pandangan-pandangan lain yang dianggap sebagai pandangan “fundamentalis Islam” masih banyak. Penulis sengaja mengambil beberapa pendapat di atas sekadar sebagai contoh, bukan dengan maksud membatasi. Selain itu, pembahasan kita akan terlalu panjang dan melebar apabila penulis mencantumkan pandangan-pandangan yang lain
Alquran dan Kekerasan
Apa yang dilakukan oleh umat Islam merupakan implementasi dari ajaran Islam dan Al Qur’an. Namun demikian kita tidak akan dapat menjamin bahwa setiap pemeluk agama (baik itu Yahudi, Nasrani ataupun Islam) akan menjalankan ajaran agama dan meniunggalkan apa yang tidak dikehendaki oleh agamanya masing-masing. Islam tidak pernah mengajarkan tindak kekerasan, dan Al Qur’an tidak mengandung ajaran kekerasan. Kalaupun ada orang Islam yang melakukan tindak kekerasan, itu tidak dapat diklaim sebagai meanstream ajaran Islam dan Al Qur’an.
Dengan mengutip Al Qur’an dan hadits Rasul saw, Muhammad al-Sa`diy menyatakan bahwa Allah mengutus para rasul disertai dengan bukti yang nyata, kitab suci dan neraca (keadilan), agar mereka dapat melaksanakan keadilan (Q.S. Al-Hadid ayat 25), Allah akan menghancurkan para pelaku kezaliman (Q.S. Ibrahim ayat 13), orang-orang yang zalim akan menerima azab yang dahsyat, karena mereka fasik (Q.S.. Al-A`raf ayat 165, Al Qur’an melarang umat Islam untuk mengikuti (cenderung) kepada orang-orang zalim, bahkan meraka tidak boleh dijadikan wali (pemimpin). Yang menjadikan mereka sebagai wali (pembantu), akan disentuh oleh api neraka (Q.S. Hud ayat 112-113), Al Qur’an mewanti-wanti agar tidak menerima bentuk kezaliman dan merasa enjoy terhadap bentuk ketidakjujuran. Orang yang mendiamkannya, padahal mampu untuk melawan dan merubahnya akan dikenakan azab di dunia dan akhirat (Q.S. Al-Anfal ayat 25). Oleh karena itu, Islam menyeru umatnya agar melawan kezaliman, menghapuskan kemunkaran dengan segala cara, diantaranya adalah kekuatan (Q.S. Al-Hajj ayat 39, Q.S. An-Nisa' ayat 75, Q.S. Al-Hujurat ayat 9, Q.S. Al-Anfal ayat 39, dan Q.S Asy-Sura ayat 39-42).
Selain ayat-ayat Al Qur’an di atas, banyak hadits Nabi saw yang mengajak untuk menentang bentuk kezaliman itu. Diantaranya "Tidak seorang Nabipun yang diutus oleh Allah sebelum aku, kecuali memiliki para hawariyyun (pengikut setia) dan para sahabat yang melaksanakan Sunnahnya dan mengikuti jejaknya. Setelah itu, muncullah beberapa generasi yang hanya bisa ngomong tapi tidak mengerjakan, dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Barangsiapa yang melawan mereka itu dengan tangannya, maka dia mukmin, siapa yang melawannya dengan dengan lisannya ia adalah mukmin dan siapa yang menentangnya dengan hatinya, maka ia (juga) mukmin. Dan selain itu tidak ada nilai iman meskipun hanya sebesar atompun" (HR. Muslim). Selain itu ada juga Hadist yang menyatakan "Sesungguhnya, jika manusia melihat kezaliman dan tidak merubahnya dengan tangannya, maka ditakutkan siksa Allah akan turun kepada mereka" (HR. Abu Dawud, al-Turmdzi dan Ibnu Majah) berikutnya adalah kisah seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah saw lalu ia bertanya "Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang datang mau mengambil hartaku? Rasul menjawab "Jangan berikan kepadanya! Bagaimana kalau dia menyerangku? Tanyanya lagi. Lawanlah ia!, jawab Rasul. Ia bertanya lagi 'Bagaimana seandainya dia membunuhku? Engkau syahid, jawab Rasul. Ia balik bertanya: "Bagaimana kalau aku yang membunuhnya? Dia masuk neraka, kata Rasul. (HR. Muslim). (Jurnal Islamic World Studies Centre, vol. I, 1991: 176-177.14
Selain itu, dalam Alquran terdapat cara (gaya) dalam melakukan amar makruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran ayat 105). Hadits Rasul saw menyatakan bahwa "Pemimpin para syuhada adalah Hamzah ibn Abdul Muthallib dan seseorang yang berdiri tegas di hadapan pemimpin yang tidak adil, ia memerintahkan kepadanya (untuk berbuat baik) dan melarangnya (dari berbuat jahat), lalu pemimpin itu membunuhnya" (HR. Al-Hakim). Dalam hadits yang lain, Rasul saw menyatakan "Barangsiapa diantara kamu yang melihat satu bentuk kemunkaran, maka ubahlah ia dengan tangannya, jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya; dan jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Itulah selemah-lemah iman" (HR. Muslim). Al Qur’an juga mengajarkan agar menyeru ke jalan Allah itu dengan berbagai cara yakni nasehat yang baik, perkataan yang halus, dialog (al-hiwar), dan adu argumen (al-jadal) dengan cara yang baik (Q.S. An-Nahl ayat 125, Q.S. Thaha ayat 18-19, Q.S. Al-Maidah ayat 27-29 dan Q.S. Al-Baqarah ayat 258).15
Al Qur’an menyebutkan segala cara melawan kezaliman di atas, agar umat Islam dapat memilih bentuk yang sesuai dengan mereka dan kondisi mereka, sesuai dengan keadaan pemerintahan yang melenceng dari syariat, sesuai kadar kezaliman dan penyelewengannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya tindak kekerasan, kesulitan dan ekstrimisme. Dan Al Qur’an menyebutkan cara melakukan perubahan "yang baik" (aman) hingga cara lewat kekuatan untuk menghindari fitnah, menjaga terjadinya pertumpahan darah, menjaga nyawa manusia, kemaslahatan manusia, kestabilan dan keamanan social, agar tidak sembarangan menggunakan kekuataan, kecuali setelah melaksanan cara yang lebih aman dan tersedianya sebab-sebab yang mendukung tercapainya perubahan dengan menggunakan kekuatan.
Pandangan-Pandangan Tafsir Para Ulama
Kecenderungan penafsiran secara rigid dan literal yang disematkan pada kaum “fundamentalis Islam” adalah pernyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus disadari dan diakui. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul hadits, kaum zhahiriyah maupun kelompok besar mayoritas dari ahli ra’yi, seluruhnya menerima majaz (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir terjadi ijma’ bahwa nash-nash yang tidak bisa ditakwilkan, yang dalam istilah ahli ushul fikih disebut “nash” adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu, ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam.16
Demikian juga, penafsiran terhadap Al-Quran maupun penjelasan (syarh) terhadap As-Sunnah dalam Islam merupakan interpretasi berdasarkan pengetahuan yang mapan. Keduanya terikat erat dengan syarat-syarat yang ketat. Adanya persyaratan ketat tersebut mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran. Dalam menafsirkan Al-Quran misalnya, mufassir harus menguasai minimal 15 macam pengetahuan sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi. 15 pengetahuan tersebut meliputi bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqâq, al-ma’âni, al-bayân, al-badî’, ilmu qira’ah, ushuluddin, ushul fikih, asbâbun nuzûl, an-nâsikh wa al-mansûkh, fikih, hadits-hadits, dan ilmu muhibah (ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya).17 Selain 15 ilmu ini, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, ada tiga syarat pengetahuan tambahan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir kontemporer, yaitu :
1.Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
2.Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
3.Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.18
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Langkah pertama yang harus ditempuh oleh seorang mufasir dijelaskan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi, “Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antar pendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’.”19
Metode penafsiran seperti yang telah dikemukakan oleh Imam As-Suyuthi di atas disebut dengan tafsîr bil ma’tsûr yang berpijak pada nash (teks) dan riwayat yang shahih. Riwayat baru dapat diterima setelah melalui seleksi ketat. Para ulama muhadditsin kita telah mengembangkan metode seleksi riwayat dengan melihat pada bersambung tidaknya sanad dan bagaimana keadaan perawi. Khusus untuk menilai keadaan rawi, berkembanglah ilmu al-jarh wa at-ta’dîl dengan berjilid-jilid kitab yang ditulis para ulama dalam bidang ini, di antaranya adalah Mizân Al-I’tidâl karya Imam Adz-Dzahabi.
Sebagai contoh demikian ketatnya seleksi riwayat yang dilakukan oleh para ulama muhadditsin, seorang rawi akan jatuh kredibilitasnya manakala didapati menipu hewan peliharaannya dengan memanggilnya sambil memperlihatkan makanan, namun ketika hewan tersebut mendekat ternyata ia tidak memberinya makan. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa para ulama kita telah melakukan kritik terhadap sumber riwayat sebelum mereka menerimanya. Maka dari itu, riwayat shahih yang berisi tafsir Al-Quran memiliki kualitas ilmiah yang tinggi.
Apabila seorang mufasir tidak menemukan penafsiran suatu ayat dalam nash atau riwayat shahih, maka ia wajib berijtihad dengan mengikuti ketentuan-ketentuan berikut :
1.Memulai penafsiran ayat yang berhubungan dengan lafal-lafal tunggal dari segi bahasa, sharaf, dan isytiqâq dengan memperhatikan makna-makna yang digunakan pada waktu turunnya Al-Quran Al-Karim.
2.Lalu hal itu diikuti dengan membicarakan struktur kalimat dari segi i’rab dan balaghah.
3.Mendahulukan makna hakiki daripada makna majazi dengan tidak mengartikannya ke makna majazi kecuali apabila tidak mungkin mengartikannya secara makna hakiki.
4.Memperhatikan sebab turunnya ayat.
5.Memperhatikan hubungan (munâsabah) antara ayat sebelumnya dengan ayat selanjutnya, point-point dalam satu ayat, dan sebagian ayat dengan ayat lainnya.
6.Memperhatikan maksud konteks kalimat.
7.Menyesuaikan tafsir terhadap ayat yang ditafsirkan tanpa mengurangi dan menambahi
8.Menyesuaikan tafsir terhadap perkara-perkara yang diketahui termasuk ilmu alam, tradisi masyarakat, serta sejarah umat manusia secara umum dan sejarah Bangsa Arab secara khusus ketika turunnya Al-Quran.
9.Menyesuaikan tafsir terhadap petunjuk dan perjalanan hidup Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena beliau memiliki kemakshuman dalam menjelaskan Al-Quran dengan sunnahnya yang mencakup perkataan, perbuatan, sifat, dan pernyataannya.
10.Mengakhiri masalah dengan menjelaskan makna dan kesimpulan hukum hasil dari tafsir dalam batas-batas kaidah bahasa, syari’at, dan ilmu-ilmu alam.
11.Memperhatikan kaidah tarjih ketika terdapat ayat yang mengandung beberapa kemungkinan makna.20
Meski sudah menguasai seperangkat ilmu yang diperlukan untuk menafsirkan Al-Quran, seseorang belum layak untuk menjadi mufassir Al-Quran sebelum terpenuhi syarat lain, yaitu syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Inilah di antara yang membedakan tradisi keilmuan dalam Islam dan Barat. Dalam Islam, ilmu tidak bisa dipisahkan dari amal sehingga seorang alim harus mencerminkan ilmunya dalam kepribadiannya.
Syarat mufasir Al-Quran yang berkenaan dengan aspek kepribadian menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy adalah:
1.Akidah yang lurus
2.Terbebas dari hawa nafsu
3.Niat yang baik
4.Akhlak yang baik
5.Tawadhu‘ dan lemah lembut
6.Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala
7.Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8.Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9.Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.21
Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna‘ Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufasir, yaitu :
1.Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan
2.Jujur dan teliti dalam penukilan
3.Berjiwa mulia
4.Berani dalam menyampaikan kebenaran
5.Berpenampilan simpatik
6.Berbicara tenang dan mantap
7.Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya
8.Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran.22
Dengan persyaratan yang cukup ketat seperti yang telah dijelaskan di atas, akan disadari bahwa sebenarnya, munculnya penafsiran terhadap nash secara rigid dan literal alias kaku sangat jauh dari kemungkinan terjadi. Selama seseorang mengikuti penafsiran para ulama yang berkompeten dalam bidang ini, ia tidak akan terjatuh ke dalam model penafsiran secara rigid dan literal. Oleh karena itu, pandangan tafsir fundamentalis seperti yang dituduhkan semestinya tidak akan ditemui bahkan tidak ada dalam Islam. Memang, sebuah penafsiran bisa saja dituduh rigid dan literal karena tidak sesuai dengan pandangan-pandangan liberal yang sering mendekonstruksi pemahaman Islam yang sudah mapan. Akan tetapi, dalam berbagai bidang ilmu ada rambu-rambu dan ketentuan yang harus dipatuhi, termasuk dalam tafsir Al-Quran. Orang yang tidak mau mengikuti ketentuan tersebut akan tidak “nyambung” ketika memaksakan diri berbicara dalam bidang ilmu yang tidak dia patuhi rambu-rambu dan ketentuannya. Wallâhu a’lam.
Fundamentalisme Dalam Ayat-Ayat Al Qur’an
Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa sebenanya Al-Quran tidak mengajarkan atau mengandung nilai-nilai “fundamentalisme”. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran yang merupakan kunci untuk memahami Al-Quran. Selama penafsiran itu benar, yaitu sesuai dengan kaidah penafsiran dan dilakukan oleh ulama yang memiliki otoritas dalam bidang ini, maka “fundamentalisme” sama sekali tidak terdapat dalam penafsiran tersebut.
Apa yang dituduhkan orang sebagai doktrin fundamentalisme bisa jadi adalah bagian dari doktrin Islam. Namun demikian ketika doktrin itu diembel-embeli oleh pihak tertentu dengan “fundamentalisme”, jadilah ia seakan-akan salah dan bukan bagian dari doktrin Islam. Maka dari itu, dalam pembahasan berikutnya kita akan melihat bagaimana tafsir para ulama terhadap pesan-pesan Al-Quran yang sering dituduh sebagai doktrin fundamentalisme. Berikut akan diuraikan hanya dua permasalahan pokok yang sering dianggap sebagai doktrin fundamentalisme, yakni doktrin islam kaffah dan doktrin kedaulatan hukum Tuhan
Doktrin Islam Kaffah
Dr. Hamim Ilyas menyatakan bahwa doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Karena itu dalam konteks dunia modern sangat ditekankan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara, sehingga Hasan al-Banna mendifinisikan Islam sebagai agama dan negara (ad-din wa ad-daulah).
Dalam hubungannya dengan doktrin ini, Islam dikembangkan sebagai ideologi negara yang di antaranya dirumuskan oleh Dr Mukhotim El Moekry yang mengatakan bahwa Islam sebagai ideologi memiliki makna satu-satunya jalan hidup bagi manusia yang mengharapkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dan ideologi Islam itu hanya dapat diaplikasikan melalui kepatuhan hamba manusia atas perintah Allah dan larangan-Nya ketika sedang menghadapi hidup ini. Doktrin Islam kaffah ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 208 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)23
Menurut Hamim Ilyas, konsep Islam kaffah seperti di atas adalah salah, dan sering menjadi landasan kaum fundamentalis dalam membenarkan tindak kekerasan selama ini. Oleh karena itu, kata Hamim,
“Demi mencegah terjadinya hal tersebut maka dalam menafsirkan Islam kaffah haruslah memperhatikan munasabah dan asbabun nuzul secara jernih dan akurat. Dalam ayat-ayat Al-Quran dibicarakan beberapa kategori orang dilihat dari segi keseimbangan hidupnya. Sebagian menginginkan dunia dan yang lain menginginkan dunia dan akhirat. Mereka yang menginginkan dunia terjerumus ke dalam materialisme hedonisme, sehingga merusak lading (lingkungan hidup) dan keturunan (seks bebas). Sementara yang menginginkan dunia dan akhirat, sulit mewujudkan keseimbangan dan terjerumus ke dalam spiritualisme sehingga melupakan dunia. Jadi inti ayat-ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menjaga keseimbangan hidup itu.
Kemudian ayat itu turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang secara sosial sedang mengalami transisi dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan, dan secara budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi. Di kalangan mereka belum terjadi keseimbangan, sehingga sebagian mereka sangat spiritualistik yang mengabaikan dunia dan sebagian yang lain sangat materialistik yang anti-agama. Jadi ayat itu diturunkan untuk membawa keseimbangan baru mewujukan masyarakat yang sekaligus berperadaban materi dan spiritual.
Dengan begitu akan dapat dipahami bahwa disamping sebagai sistem kepercayaan dan peribadatan, Islam juga merupakan sistem peradaban yang memadukan materi dan spiritualitas, bukan sistem atau ideologi sosial. Dengan pemahaman ini maka sistem sosial yang dianut masyarakat bisa berubah, tapi sistem kebudayaannya tetap, yakni sistem kebudayaan yang imbang dunia dan akhirat. Contoh yang sangat jelas untuk ini adalah keluarga. Konsepsi keluarga dalam Islam adalah keluarga sakinah, namun sistem dan bentuknya bisa berubah. Dahulu keluarga Muslim merupakan keluarga extended family dan patriarki, namun sekarang berubah menjadi keluarga inti dan demokratis” 24
Demikianlah pemaparan Hamim Ilyas tentang penafsiran konsep Islam kaffah dengan demikian menurut Hamim, makna Islam kaffah sebagaimana tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 208 adalah adanya keseimbangan dalam hidup ini, yaitu kesimbangan antara materi dan spiritual, serta tidak berarti bahwa Islam adalah sistem atau ideologi sosial.
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana penafsiran para ulama terhadap konsep Islam kaffah tersebut. Allah ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah ayat 208)
Para ulama berselisih pendapat mengenai terhadap siapakah ayat ini diturunkan. Pendapat pertama, ayat ini diturunkan terhadap orang yang masuk Islam dari kalangan Ahli Kitab. Setelah keislamannya, mereka menjauhi daging unta dan perkara-perkara lain yang biasa dijauhi Ahli Kitab. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Pendapat kedua, ayat ini diturunkan terhadap Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw. Mereka diperintahkan agar masuk ke dalam Islam. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahak. Pendapat ketiga, ayat ini diturunkan terhadap kaum Muslimin. Allah memerintahkan mereka agar masuk ke dalam seluruh syariat Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid dan Qatadah.25
Dengan demikian menurut kesepakatan para pakar bahasa, usul fikih, dan ulama syari’ah bahwa makna-makna dalam Al-Quran mencakup keuniversalan lafaz dan tidak berhenti dengan adanya sebab yang khusus. Makna Al-Quran melampaui masa dan tempat ia diturunkan, maka tidak ada istilah makna historis maupun makna khusus yang terkait dengan zaman diturunkannya Al-Quran. Bahkan makna-makna yang terkandung di dalamnya secara umum berdialog dan menyentuh pemikiran manusia sepanjang zaman dan tempat. Adanya asbâb al-nuzûl yang melatarbelakangi turunnya Al-Quran lebih bersifat sebagai metode pendidikan (manhaj at-ta’dîb) dan bukan sebagai bagian dari ajaran agama, baik yang berupa perintah atau larangan. Asbâb al-nuzûl bukan wahyu dan bukan pula sebagai inti dari firman Tuhan. Kewajiban-kewajiban agama (takâlif) yang munculnya bersamaan dengan peristiwa-peristiwa tertentu, maka kesesuaian tersebut hanya disifatkan sebagai pendidikan untuk orang Islam masa itu. Kemudian membawa mereka keluar dari realitas-konteks jahiliyah kepada nuansa masyarakat Islam. Manusia sebagai objek perintah dan larangan (khithâb) adalah manusia-manusia yang memiliki realitas-konteks lebih luas daripada mereka yang berkaitan dengan realitas-konteks saat turunnya wahyu. Oleh karena itu peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya wahyu hanya bersifat “ketepatan-ketepatan” atau sebagai proses natural (sunnatullâh) bagi turunnya wahyu. Kaidah Ushul Fikih menjelaskan masalah ini dengan jelas, “al-’ibratu fî ‘umûm al-lafzh lâ bi khushûshi l-sabab” (faktor penting didapatkan pada keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab).26
Untuk menjelaskan bagaimana penafsiran para ulama kita terhadap konsep Islam kaffah, penulis akan menukilkan pendapat-pendapat mereka dari beberapa kitab tafsir. Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sekelompok tabi’in tentang firman Allah ta’ala, “masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan”, maksudnya adalah masuklah ke dalam Islam dan taatilah seluruh perintah-Nya semampu yang kalian kerjakan. Sementara itu, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa orang-orang beriman diperintahkan agar masuk ke dalam ketaatan secara keseluruhan, sedangkan mereka tidak masuk ke dalam ketaatan tanpa mengerjakan ketaatan lainnya. Atau ke dalam cabang dan syariat Islam secara keseluruhan dan tidak meninggalkan sedikit pun darinya. Penafsiran ayat 208 dari surat Al-Baqarah sebagai perintah agar menerapkan atau masuk ke dalam syariat Islam secara keseluruhan merupakan penafsiran yang banyak dikemukakan oleh para mufassir. Selain Az-Zamakhsyari, ada sekian mufassir yang menyampaikan pendapat serupa dalam kitab-kitab tafsir mereka. Di antaranya dalam tafsir Al-Baghawy, Al-Alûsi, Zâdul Masîr, Ar-Râzy, As-Samarqandy, Al-Jalâlain, Muqatil, Ibnu ‘Ajibah, Ibnu Abdis Salam, tafsir Ibnu Abbas, Sayyid Tanthawy, Aysarut Tafâsîr, As-Sa’dy, Al-Wajîz, Haumad, Al-Masîr, dan sebagainya.27
Dengan melihat banyaknya pendapat mufassir yang menyatakan bahwa konsep Islam kaffah adalah menjalankan atau masuk ke dalam syariat Islam secara keseluruhan, maka pendapat yang memandang Islam sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial, bukanlah pendapat yang salah. Sebab, syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, termasuk urusan bernegara. Sepanjang sejarah umat Islam selama berabad-abad,28 syariat dan aqidah Islam diterapkan di bawah naungan negara.
Islam menyeru umatnya agar menerapkan keseimbangan dalam kehidupan antara aspek spiritual dan aspek material. Akan tetapi, makna seperti ini bukan yang dikehendaki dalam ayat 28 dari surat Al-Baqarah mengenai konsep Islam kaffah. Dr. Hamim Ilyas menyatakan bahwa ayat ini turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang secara sosial sedang mengalami transisi dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan, dan secara budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi, sehingga ayat ini diturunkan untuk membawa keseimbangan baru mewujukan masyarakat yang sekaligus berperadaban materi dan spiritual, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan munasabah dan asbabun nuzul seperti yang ia anjurkan untuk memperhatikannya. Di antara asbabun nuzul ayat tersebut sebagaimana telah disinggung sebelumnya berkenaan dengan Abdullah bin Salam -seorang Yahudi yang baru masuk Islam- yang mengagungkan hari Sabtu, membenci daging unta, serta ingin menggunakan sebagian dari hukum Taurat dan mencampuradukkannya dengan Islam. Demikianlah konteks sebenarnya turunnya ayat tersebut. Jadi, turunnya ayat tentang Islam kaffah itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan transisi masyarakat Arab dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan, dan juga dari budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Hamim Ilyas.29
Doktrin Kedaulatan Hukum Tuhan
Selain Islam kaffah, menurut Hamim Ilyas, doktrin sentral fundamentalisme Islam lainnya adalah kedaulatan atau supremasi hukum Tuhan. Hamim Ilyas menulis,
“…Kaum fundamentalis, sebagaimana digambarkan secara tepat oleh Khaled Abu El-Fadl, berkeyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan hidup dan harus ditegakkan tanpa mempertibangkan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejateraan kelompok lain. Jalan lurus (as-Shirat al-Mustaqim) telah dipastikan, kata mereka, oleh sistem hukum Tuhan (syari’ah) yang menghapus semua pertimbangan moral atau nilai-nilai etis yang sepenuhnya tidak terdapat dalam hukum…”30
Selanjutnya, Hamim Ilyas menyatakan bahwa dengan doktrin kedaulatan hukum Tuhan, fundamentalisme menolak negara bangsa dengan sistem demokrasinya yang meletakkan legitimasi negara pada kemauan rakyat, bukan pada agama atau etnis.31
Selain Hamim Ilyas, Zainul Maarif juga menyampaikan pendapat senada. Ia menulis bahwa :
“…Pikiran inti dari muslim fundamentalis adalah Hakimiyyat Allâh. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariat-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya. Landasan berpikir pikiran tadi berupa kalimat tauhid lâ ilâha illa Allâh. Yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tiada otoritas dan syariat kecuali syariat dan otoritas Allah. Sehingga, ia berimplikasi epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan zalim bagi siapa saja yang tak menegasi selain Allah dan syariat-Nya.
Hal ini terbukti pada perkataan muslim fundamentalis bahwa; siapa pun yang enggan menegasikan sistem selain Allah, atau menolak dan memusuhi kedaulatan dan sistem Allah (hakimiyyat Allâh dan syariat Allah), adalah musyrik jahiliyyah. Karena mereka telah menyekutukan Tuhan dengan mengakui otoritas selain-Nya dan menggunakan sistem selain sistem-Nya. Dan barang siapa yang enggan menerapkan syariat Islam adalah kafir, fasik, dan zalim. Karena Tuhan telah berfirman ”…wa man lam yahkum bi mâ anzala Allâh fa ulâika hum al-kâfirûn…al-dzâlimûn…al-fasiqun” (…barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir…dzalim…fasik)…”32
Menurut Zainul Maarif dalam alinea berikutnya,
“…Kalimat tauhid yang konon digunakan untuk mengagungkan Tuhan dan syariat-Nya saja itu, terkadang tak lagi proporsional. Yang dibesarkan tak lagi Allah dan syariat-Nya semata, melainkan diri sendiri dan pendapatnya. Hal ini bisa kita lihat pada pengakuan mereka bahwa merekalah umat terbaik, umat Islamiyyah; selainnya buruk, jahiliyyah. Pendapat mereka adalah pendapat terbenar dan harus ditaati karena berpegang pada syariat Tuhan, sedang pendapat lainnya adalah salah. Padahal pengakuan itu belum tentu sesuai dengan realitas, dan secara tidak langsung telah menempatkan diri pada posisi Tuhan, telah meredusir egalitarisme manusia, dan telah melupakan bahwa kebenaran mutlak dari Tuhan yang berada di ‘tangan’ manusia pada hakekatnya tak lagi mutlak. Ia telah bercampur dengan kebenaran relatif manusia…”33
Masalah Hakimiyyat Allâh ini yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariat-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya.34 Landasan berpikir tersebut tercakup dalam kalimat tauhid lâ ilâha illa Allâh, yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tidak ada otoritas dan syariat kecuali syariat dan otoritas Allah, sehingga ia berimplikasi epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan zalim bagi siapa saja yang tak menegasi selain Allah dan syariat-Nya.
Landasan berfikir tersebut berpijak pada penegasan akan otoritas Allah dalam menetapkan hukum dan kewajiban umat manusia untuk berhukum dengan hukum-Nya. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 208 Allah ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’ ayat 59)
Allah juga berfirman,
“Dan hendaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah ayat 49-50)
Selain kedua ayat di atas yang dijadikan landasan yakni Al-Quran surat An-Nisa’: 60 dan 65 dan surat Yusuf: 40. Surat Al-Maidah: 44, 45, dan 47. Menurut landasan berfikir ini ayat-ayat Al-Quran beserta penafsirannya di atas secara tegas menyatakan kedaulatan atau supremasi hukum Allah dan kewajiban umat manusia untuk berhukum dengan hukum-Nya. Dengan demikian, siapa saja yang memperjuangkan penegakan hukum atau syariat Alllah, ia bukan seorang fundamentalis, namun seorang mukmin haqqan (sejati) karena mengikuti perintah Al-Quran. Kebenaran Al-Quran yang disampaikan manusia dalam masalah ini tetap merupakan kebenaran mutlak.
Ide yang hanya mengakui otoritas Tuhan dan syariat-Nya ini, tentu saja tidak mengakui demokrasi. Karena baginya, semua adalah dari Tuhan untuk manusia. Tidak ada istilah, dari manusia (baca: rakyat) untuk manusia. Hakimiyyat Allah juga tak mengakui kontrak sosial, karena kesepakatan bersama masyarakat untuk kepentingan bersama dalam suatu komunitas manusia, baginya tak diperlukan lagi. Semuanya sudah distempel oleh Tuhan dan syariat-Nya, juga tidak mengakui pluralitas karena yang diakui hanya syariat Allah saja (baca: syariat Islam Muhammadisme). Sebenarnya tendensi bahwa hukum itu hanya dari Alah adalah wajar terjadi mengingat titik tolaknya adalah kalimat tauhid la ilaha illa Allah. Namun sayangnya, kalimat tauhid yang digunakan untuk mengagungkan Tuhan dan syariat-Nya saja itu, terkadang tidak lagi proporsional, yang dibesarkan tidak lagi Allah dan syariat-Nya semata, melainkan diri sendiri dan pendapatnya.
Klaim kebesaran dan kebenaran diri tadi cepat atau lambat akan menimbulkan gejala fasis. Kemudian menghasilkan cara pandang dikotomis. Lalu mendorong diri untuk memberi label-label buruk terhadap golongan yang tak sejalan. Seperti memberi label musyrik, kafir, zalim, munafik dan jahiliyyah kepada seteru atau orang yang tak setuju dengan ide hakimiyyat Allah dan penerapan syariat, dengan tanpa kesadaran penuh bahwa labelisasi itu berakar dari interpretasi literal yang tak bersandar pada asbab al-nuzul yang sebenarnya.35 Kalau implikasi epistemologisnya sudah cukup mengkhawatirkan, implikasi praktisnya lebih mengenaskan. Sinergi faham teokrasi, paradigma teosentris, yang telah menimbulkan gejala fasis-dikotomis itu, kemudian menggulirkan tindakan semena-mena dan anarkis.
Sementara itu, menurut Yusril Ihza Mahendra bahwa ciri utama kaum fundamentalis Islam adalah corak pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan ini diperlukan untuk menjaga kemurnian doktrin dan pelaksanaannya, karena penerapan doktrin secara utuh (kaffah) adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kehancurannya. Kecenderungan penafsiran yang bersifat rigit dan literalis tersebut khususnya dapat dihubungkan dengan a) corak pengaturan doktrin, b) kedudukan tradisi tradisi awal Islam, c) ijma” dan d) kemajmukan masyarakat dan juga kedudukan.36
Ciri lain fundamentalisme, dikemukakan Fouad Ajami, yaitu kecenderungannya untuk “menafikan pluralisme”. Bagi kaum Fundamentalis, di dunia ini hanya ada dua jenis masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh Sayyid Qutbh sebagai al-nidham al-Islami (tatanan sosial yang Islami) dan al-nidham al-jahili (tatanan sosial jahiliah). Antara kedua jenis masyarakat itu tidak mungkin ada titik temu. Karena, yang satu adalah haqq (benar) dan bersifat ilahiyah (ketuhanan), sedang yang lain adalah bathil (sesat) dan bersifat thaghut (berhala). Konsekuensi dari pandangan ini ialah, kaum fundamentalis cenderung untuk menolak eksistensi “bangsa-bangsa” berdasarkan perbedaan geografis, bahasa, warna kulit dan budaya. Kaum fundamentalis cenderung menggolongkan manusia hanya berdasarkan agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya.37
Sementara itu, Bruce Lawrence memasukkan ekspresi sosiologis fundamentalisme ke dalam suatu “tuntutan kolektif”, yaitu tuntutan agar keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama diterima oleh masyarakat dan secara legal wajib dilaksanakan.38 Ciri fundamentalisme sebagai aliran yang lebih mengutamakan “slogan-slogan revolusioner” dari pada pengungkapan gagasan secara terperinci, diutarakan oleh Hrair Dekmejian. “Jihad” dan “menegakkan hukum Allah” adalah slogan yang utama bagi kaum fundamentalis.
Selanjutnya, menurut Dekmeijan, kaum fundamentalis lebih cenderung bersikap doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun kurang berusaha memikirkan segi-segi praktis yang secara implementatif dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya. Dalam nada yang sama, Akbar S. Ahmed menyimpulkan bahwa fundamentalisme Islam identik dengan radikalisme dengan menambahkan satu cirri dominan, yaitu vulgaritas, cenderung memakai kata-kata kasar dan kotor untuk menyudutkan lawan-lawan politiknya, bahkan mereka kadangkala tidak menyadari bahwa mereka mengklaim dan memperjuangkan kebenaran dengan cara-cara kasar, memuakkan dan menjijikkan.39
Leonard Binder, menambahkan bahwa ciri fundamentalisme Islam adalah pandangannya yang khas mengenai ijtihad. Ijtihad, bagi mereka, dimungkinkan hanya dalam kerangka ketika syari’ah tidak memberikan perincian yang dalam. Selain itu, harus tidak ada preseden dari tradisi awal Islam, ataupun pendapat para fuqaha terkemuka dari zaman yang silam tentang persoalan-persoalan itu. Ijtihad hanya dilakukan oleh para mujtahid yang memenuhi kualifikasi ijtihad. Dalam hubungan ini, Maududi menegaskan, “The purpose and object of ijtihad is not to replace the Divine law by man-made law. Its real object is to understand the Supreme Law”.40
Akhirnya, kerangka yang diberikan oleh Marty, dengan beberapa kodifikasi, cukup relevan diterapkan dalam mengidentifikasi gejala “fundamentalisme Islam”. Prinsip pertama fundamentalisme adalah “oppositionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan –yang bukannya tak sering bersifat radikal—terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, apakah dalam tata nilai Barat pada umumnya. Acuan dan tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme Islam adalah al-Qur’an, dan pada batas tertentu al-Hadits.
Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika. Artinya, mereka menolak sikap kritis (liberal) terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal—sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya -kalau perlu secara kekerasan- dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis, dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal”-bagi kaum fundamentalis Islam seperti pada kaum salaf- yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.41
Doktrin sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah doktrin yang bersifat universal dan telah mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia. Pengertian universal tersebut adalah bahwa doktrin Islam berlaku tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kaum fundamentalis lebih menekankan ketaatan dan kesediaan untuk menundukkan diri kepada kehendak-kehendak Tuhan, oleh karena itu penting dijaga sikap militan dalam menegakkan agama. Artinya pengamalan terhadap doktrin keagamaan harus secara murni dan bebas dari interpretasi intelektual, karena hal ini akan menimbulkan sifat universal ajaran agama menjadi partikular dan agama menjadi kehilangan identitas karena tenggelam di dalam proses perubahan, adaptasi dan akulturasi.
Dalam melihat kedudukan tradisi awal Islam yang dicontohkan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya, kaum fundamentalis ingin kembali menegakkan sistem pemerintahan khilafah seperti di zaman para sahabat. Sistem tersebut merupakan ijma’ para sahabat yang tidak dapat dihapuskan begitu saja oleh generasigenerasi sesudahnya. Di samping itu kaum fundamentalis pada umumnya cenderung bersikap negatif dan pesimis terhadap kemajmukan. Secara luas kemajmukan itu adalah kemajmukan etnik, kultural, bahasa dan agama, di samping juga kemajmukan corak keberagamaan di kalangan kaum Muslim sendiri. Jadi susunan masyarakat Islam itu adalah masyarakat yang benar-benar melaksanakan tuntunan doktrin secara totalitas karenanya bersifat ilahiyah. Masyarakat yang tidak bercorak demikian tergolong sebagai masyarakat jahili.
Selain itu, kaum fundamentalis cenderung untuk bersikap keras dan enggan untuk berkompromi dengan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat atau faham dengan mereka. Tetapi di lain pihak kaum fundamentalis menunjukkan antusiasme yang tinggi dalam mengamalkan ajaran Islam secara sempurna dan menginginkan membangun kembali sebuah masyarakat seperti pada zaman Nabi dan sahabatnya yang dianggap sebagai model masyarakat yang ideal. Oleh karena itu kaum fundamentalis senantiasa meneriakkan slogan jihad untuk menegakkan hukum Allah dan menciptakan masyarakat Qur’ani.
Bibel dan Ayat-ayat Kekerasan
Adalah hal yang tidak fair ketika menilai tindak kekerasan dari satu sudut Islam dan Al Qur’an. Akan lebih bijak jika kita coba sedikit terbuka. Kalau dalam Al Qur’an tidak ditemukan "perintah melakukan tindak kekerasan", apakah dalam Bibel juga demikian? Jika dilihat secara detail, Bibellah sejatinya yang mengandung ayat-ayat kekerasan (violence verses). Dengan demikian, wajar jika negara Barat (yang notabene Kristen dan phobia Islam) sangat membenci Islam dan umat nya dalam berbagai aspeknya..
Dalam Injil disebutkan bahwa "Yesus datang bukan membawa kedamaian, melainkan "pedang" (Matius 10: 34 dan Lukas 12: 51). Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan misi Yesus Kristus sebagai Nabi pembawa kasih sayang. Karena dalam ayat yang lain ia mengatakan "Jika pipi kananmu dipukul, berikan pipi kirimu, penguasa yang memaksamu memikul barang sejauh satu kilometer, pikullah sejauh dua kilometer; jika seseorang menginginkan bajumu, berikanlah jubahmu juga" (Matius 5: 39-42 dan Lukas 6: 29 dan 30). Dengan demikian, tidak ada istilah membalas kejahatan dengan kejahatan, kekuatan dibayar dengan kekuatan, melainkan Yesus mengajak umatnya untuk mencintai para musuh mereka dan memberkati siapa yang melaknat mereka (Matius 5: 43, 44 dan Lukas 27, 28).42
Ayat-ayat kekerasaan yang lain adalah "Apabila kamu pergi untuk menyerang sebuah kota, berilah dahulu kesempatan kepada penduduknya untuk menyerah. Kalau mereka membuak pintu-pintu gerbang dan menyerah, mereka semua harus menjadi hamba-hambamu dan melakukan kerja paksa untukmu. Tetapi kalau penduduk kota itu tidak mau menyerah dan lebih suka berperang, kamu harus mengepung kota itu. Kemudian, apabila TUHAN Allahmu memungkinkan kamu merebut kota itu, kamu harus membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki. Tetapi kamu boleh mengambil kaum wanita, anak-anak, ternak dan apa saja yang ada di kota itu. Segala harta benda musuh-musuhmu itu boleh kamu pakai. TUHAN Allahmu menyerahkan itu kepadamu. Begitulah harus kamu perlakukan kota-kota yang jauh dari negeri kediamanmu. Tetapi kalau kota itu ada dalam wilayah yang diberikan TUHAN Allahmu kepadamu, seluruh penduduknya harus dibunuh. Seperti yang diperintahkan TUHAN Allahmu, kamu harus membinasakan orang-orang Het, Amori, Kanaan, Feris, Hewi dan Yebus. (Kitab Ulangan 20: 11-17). Dalam kitab yang sama disebutkan juga; "Maka seluruh penduduk kota itu beserta ternaknya harus dibunuh. Kota itu harus dimusnahkan sama sekali. Seluruh harta benda penduduk kota itu harus dikumpulkan dan ditimbun di tanah lapang, lalu kota dan segala harta bendanya harus dibakar sebagai kurban bagi TUHAN Allahmu. Sesudahnya semua itu harus ditinggalkan menjadi puing dan tak boleh dibangun kembali" (Ulangan 13: 16-17).
Tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam, selaku agama yang universal. Islam tidak mengajarkan teknik perang yang "membabibuta" seperti yang digambarkan oleh Bibel di atas. Dengan melihat beberapa ayat Bibel di atas, ternyata bukan hanya mengandung ajaran "kekerasan", juga sangat kontradiktif kandungan ayat-ayatnya. Apakah ayat-ayat kekerasan tersebut yang dijadikan dasar oleh Kristen-Barat dalam "membumihanguskan" seluruh daerah yang dijajahnya? Tentu jawaban yang paling bijak adalah dengan melihat realita yang sedang berjalan di Palestina, Chechnya, Fhilipina, Irak dan negara lainnya.
4. Hasil Penelitian Terdahulu
Kajian mengenai fundamentalisme ini telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan. Di antara karya ilmiah yang dapat disebutkan disini yakni “Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan)” karya Yusril Ihza Mahendra yang diterbitkan oleh Yayasan Paramadina pada 1999. Karya ini aslinya merupakan disertasi Yusril Ihza Mahendra untuk memperoleh gelar Doctor of Philosophy di Universitas Sains Malaysia pada 1993. Dalam buku ini, Yusril berusaha melakukan studi komparatif antara Masyumi (Indonesia) yang ia posisikan sebagai partai modernis dan Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan) yang ia posisikan sebagai partai fundamentalis. Yusril mengartikan modernisme dan fundamentalisme sebagai :
“…dua ideologi atau aliran politik yang sama-sama berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Keduanya sama-sama bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah itu. Namun demikian, meskipun kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. Modernisme cenderung menafsirkan doktrin secara elastis dan fleksibel. Sementara fundamentalisme cenderung menafsirkannya secara rigid dan literalis. Perbedaan kecenderungan corak penafsiran ini, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam; (c) ijma’; (d) pluralisme (kemajemukan); dan (e) hikmah. Perbedaan kecenderungan penafsiran terhadap lima masalah ini yang menjai faktor terpenting untuk membedakan modernisme dan fundamentalisme dalam politik Islam”43
Mengacu pada lima masalah di atas, Yusril kemudian merumuskan karakteristik modernisme dan fundamentalisme. Ringkasnya sebagai berikut.44 :
No
Masalah
Modernisme
Fundamentalisme
1
Ijtihad
Modernisme melihat bahwa dalam masalah-masalah mu’amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal. Oleh karena itu, ijtihad (pemikiran bebas) harus digalakkan. Ijtihad memungkinkan corak pengaturan doktrin yang berisi ketentuan-ketentuan umum itu dapat diimplementasikan ke dalam suasana konkret, yaitu suasana masyarakat yang ada pada suatu zaman dan tempat tertentu.
Fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang serba mencakup itu. Karena itu, ijtihad dengan sendirinya dibatasi hanya kepada masalah-masalah dimana doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan sampai detail- detail persoalan.
2
Preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam
Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat beliau –terutama zaman Khulafa’ur Rasyidin—hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Oleh karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan para sahabat tidak harus diikuti sampai pada perincian-perincian berdasarkan pada prinsip perubahan yang berlaku dalam masyarakat. Warisan tradisi zaman ini pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum Muslim yang hidup di zaman kemudian.
Fundamentalisme memandang preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara keseluruhan; baik dalam prinsip maupun perincian-perinciannya. Fundamentalisme berpendapat bahwa orang-orang yang hidup di zaman awal lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman awal Islam, yaitu zaman Nabi dan para sahabat, adalah zaman ideal yang wajib diwujudkan di segala zaman.
3
Ijma’
Modernisme memandang bahwa ijma’ (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu dapat diperbarui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika faktor-faktor psikologis, sosial, politik, dan ekonomi yang melatarbelakangi ijma’ itu juga telah berubah. Pembaruan ijma’ ini, menurut kaum modernis, termasuk juga kemungkinan memperbarui ijma’ para sahabat Nabi. Kaum modernis juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma’ –yaitu konsensus mayoritas para ulama fiqh mengenai sesuatu masalah hukum—menjadi konsensus mayoritas kaum Muslim, atau wakil-wakil mereka, pada suatu zaman dan tempat tertentu.
Fundamentalisme memandang ijma’ zaman sahabat Nabi adalah ijma’ yang mengikat generasi-generasi kaum Muslim hingga akhir zaman. Ijma’ demikian tidak dapat diubah oleh ijma’-ijma’ yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka.
4
Pluralisme (kemajemukan)
Modernisme melihat pluralisme dengan sikap positif dan optimis. Kaum modernis berkeyakinan bahwa selama dunia ini masih ada, selama itu pula pluralisme akan tetap ada.
Fundamentalisme cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme. Masyarakat cenderung dilihat secara hitam putih, yaitu antara masyarakat Islami yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara kaffah dengan masyarakat jahiliyah yang tidak meyakini dan mengamalkannya.
5
Hikmah
Bagi kaum modernis, hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan di mana saja di muka bumi ini, termasuk pada umat-umat dan kelompok-kelompok di luar Islam. Modernisme cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prinsip-prinsip doktrin dengan hikmah yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan mencari hikmah itu adalah seiring dengan kecenderungan kaum modernis yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara konkret, dengan pendekatan yang bercorak pragmatis dan kompromistis.
Hikmah tidak perlu dicari dalam masyarakat-masyarakat yang telah jelas bersifat jahiliyah itu. Oleh karena itu, fundamentalisme cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan berakulturasi dengan prestasi-prestasi peradaban yang telah dikembangkan oleh masyarakat lain.
Karya berikutnya adalah buku yang akan kita resensi ini berjudul “Is Religion Killing Us? Membongkar Akar Kekerasan dalam BIbel dan Al-Quran” tulisan Jack Nelson-Pallmayer yang diterbitkan oleh Pustaka Kahfi Yogyakarta pada 2007. Sesuai dengan judulnya, Jack Nelson-Pall Mayer menyoroti ajaran-ajaran dalam Bibel dan Al-Quran yang menurutnya sering mendorong terjadinya kekerasan atas nama Tuhan. Penulis buku ini berkesimpulan bahwa, ”Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” 45
Disamping itu ada juga hasil penelitian Muhammad Isa Anshory46 yang berjudul “Wacana Fundamentalisme Dalam Al Qur’an”. Setelah menganalisa fundamentalisme dalam persfektif Barat dan Islam, fundamentalisme dan tafsir Al Qur’an dan isu fundamentalisme dalam Al Qur’an, dalam kajiannya ini Isa mengkritik pandangan Hamim (dalam kata pengantarnya pada buku yang berjudul “Is Religion killing Us? Membongkar Akar Kekerasan Dalam Bibel dan Al Qur’an” tulisan Jack Nelson – Pall Mayer) yang menyangkut latar belakang turunnya ayat dalam Q.S. Al Baqarah ayat 208 yang dijadikan doktrin sentral dalam fundamentalisme islam yakni yang terkait dengan doktrin islam Kaffah. Dari hasil penelitiannya ini Isa berkesimpulan bahwa :
“Fundamentalisme, sebagaimana yang dipahami Barat dan orang-orang yang terpengaruh frame pemikiran mereka, tidak ada dalam Islam. Kaum fundamentalis (ushuliyin) dalam Barat adalah orang-orang kaku dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri paa penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsing dalam kajian-kajian akal atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal (pengambilan dalil), ijtihad, dan pembaruan.
Beberapa pandangan yang sering diidentikkan sebagai doktrin sentral fundamentalisme merupakan bukti ketidakpahaman si penuduh terhadap ajaran Islam. Doktrin Islam kaffah yang tertera dalam QS Al-Baqarah: 208 misalnya, menurut Hamim Ilyas, pemahaman yang benar dan tepat mengenainya adalah seruan untuk melakukan keseimbangan dalam kehidupan ini antara aspek spiritualisme dan aspek materialisme. Sebab, ayat ini turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang sedang mengalami transisi dari peradaban spiritualisme menuju peradaban materialisme. Pemahaman seperti ini ternyata merupakan pemahaman aneh yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tafsir para ulama. Menurut sebagian besar pendapat para ulama dalam kitab-kitab tafsir mereka, konsep Islam kafffah yang tertera dalam QS Al-Baqarah: 208 adalah perintah untuk melaksanakan atau masuk ke dalam syariat Islam secara total. Akan tetapi, pemahaman seperti ini oleh Hamim Ilyas dianggap sebagai doktrin fundamentalisme.
Pandangan kedua yang dianggap sebagai doktrin fundamentalisme adalah doktrin kedaulatan atau supremasi hukum Tuhan. Padahal, Al-Quran telah menegaskan otoritas Allah dalam menetapkan hukum dan kewajiban umat manusia untuk berhukum dengan hukum-Nya. Penegasan Al-Quran itu terdapat dalam surat Al-Baqarah: 208, An-Nisa’: 59, 60, dan 65, Al-Maidah: 44, 45, 47, 49, dan 50, Yusuf: 4, dan sebagainya. Jadi, doktrin kedaulatan hukum Allah merupakan ajaran Al-Quran yang sangat jelas; bukan ajaran kaum fundamentalis. Dengan demikian, orang yang berusaha untuk menerapkan kedaulatan hukum Allah di muka bumi ini bukanlah seorang fundamentalis, tapi seorang mukmin haqqan (sejati)”
Adapun di antara karya yang memberikan pembelaan terhadap Islam dari isu fundamentalisme adalah “Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam” tulisan Muhammad Imarah dan diterbitkan oleh Gema Insani Press pada 1999.47. Dalam buku ini, Muhammad Imarah memaparkan perbedaan makna fundamentalisme dalam perspektif Barat dan Islam. Istilah yang sama dengan makna yang berbeda ini sering terjadi. Demikian juga dengan fundamentalisme, terdapat perbedaan makna yang sangat jauh antara fundamentalisme dalam perspektif Barat dengan fundamentalisme dalam perspektif Islam. Oleh karena sebutan fundamentalisme ini selalu diikuti dengan makna dan karakteristik menurut Barat, Muhammad Imarah juga menjelaskan kesalahan pandangan orang-orang yang mengkaitkan makna dan karakteristik tersebut dengan Islam.
Selain karya Muhammad Imarah ini, karya lain untuk disebutkan adalah “Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal” tulisan Adian Husaini dan diterbitkan oleh Gema Insani Press pada 2005.48 Pada bab 10 dalam buku ini, Adian menulis judul “Paradoks wacana ‘Terorisme’ dan ‘Fundamentalisme’”.
5. The Prior Research on Topic
Asal Mula Fundamentalisme di Barat (Kristen)
Kamus Larous Kecil mendefinisikan “fundamentalisme” sebagai sikap yang menolak menyesuaikan kepercayaan dengan kondisi yang baru. Dalam Kamus Larous Besar “fundamentalisme” adalah sikap stagnan dan beku yang menolak seluruh perkembangan. Sedangkan Kamus Larous tahun 1987 menyebut “fundamentalis” sebagai sikap sebagian orang Katolik yang menolak seluruh kemajuan, dan hanya menisbatkan diri mereka kepada warisan lama. Ilmuwan Perancis, Roger Garaudy, menyatakan, bahwa “fundamentalisme” adalah antitesa bagi “sekulerisme”. Garaudy termasuk ilmuwan yang terjebak dalam melakukan generalisasi konsep “fundamentalisme” Kristen untuk menganalisis fenomena sejenis di masyarakat Muslim.49
Sementara itu, Muhammad Imarah menyatakan, bahwa fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, yaitu antara 1880 dan 1890, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu “Gerakan Millenium”. Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih as secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.
Munculnya gerakan fundamentalis Kristen setidaknya disebakan oleh beberapa factor yakni Pertama, sebagai reaksi terhadap keadaan gereja yang tidak menunjukkan kekuatan imannya dalam menghadapi realitas dunia. Gerakan ini menganggap bahwa kewajiban setiap penganut agama Kristen untuk memerangi tanpa kompromi teologi modernis dan kecenderungan-kecenderungan budaya. Kedua, rumusan-rumusan yang mereka kemukakan merupakan rumusan serba absolut. Justeru inilah yang menjadi daya tarik bagi orang-orang yang hidup dalam dunia yang selalu berubah dan berkembang sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan, sedangkan mereka menginginkan kepastian-kepastian yang mutlak. Ketiga, melalui penampilan yang absolut tersebut, fundamentalisme kemudian menuntut keterikatan atau komitmen dari para pengikutnya. Keterikatan itu adalah kesediaan mengorbankan segala sesuatu dan diserahkan sepenuhnya kepada tuntutan Tuhan.
Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan “mimpi Yohana” (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.50
Adapun prinsip-prinsip pokok dari fundamentalisme dalam agama Kristen adalah doktrin “inerrancy of the Bible”. Doktrin ini menyatakan bahwa apa pun yang dimuat dalam Alkitab, tidak bisa salah dan tidak memiliki kekurangan atau keterbatasan dalam hal apapun dan harus dilaksanakan kapan pun dan oleh siapa pun. Dengan berpijak pada doktrin sesat “inerrancy of the Bible”, menekankan bahwa apa pun yang tertulis dalam Alkitab cukup diterima dengan iman saja, bahwa apa pun yang sudah ditulis di dalamnya adalah kebenaran mutlak yang melampaui segala zaman, berlaku kekal, berwibawa untuk segala tempat dan segala manusia. Alkitab cukup dibaca dan apa yang tertulis di dalamnya cukup diterima dengan penuh kepercayaan sebagai kebenaran absolut51
Dengan literalisme biblis ini sebagai dasarnya, mereka akan menyatakan dengan yakin bahwa Alkitab bisa menjelaskan dirinya sendiri, sehingga tolok ukur kebenaran dan kesahihan Alkitab ditemukan di dalam Alkitab sendiri. Literalisme biblis ini menghasilkan suatu logika beragama yang tidak normal, tidak sehat dan cedera secara epistemologis dan metodologis, sehingga fundamentalisme Kristen telah dan sedang menjelma menjadi suatu ancaman global terhadap logika beragama yang sehat.
Selain pandangan di atas, penganut fundamentalisme Kristen juga memandang versi agama Kristen mereka sebagai versi agama yang paling unggul, paling benar, paling baik, jika dibandingkan dengan agama-agama lain non-Kristen dan versi-versi lain agama Kristen dan, karena keunggulan ini, mereka memandang versi agama Kristen mereka bagaimana pun juga harus disebarkan ke seluruh tempat di bumi, dengan mengeliminir agama-agama lain non-Kristen dan menjadikan orang-orang non-Kristen bertobat, pindah agama, masuk agama Kristen. Mereka memiliki keyakinan bahwa pada akhirnya di dunia ini hanya akan ada satu agama tunggal yang benar, yang tampil sebagai sang pemenang tunggal, yakni agama Kristen fundamentalist. Mentalitas triumfalistik ekspansionistik ini ditemukan dalam semua orang Kristen injili literalist biblis. Dengan mentalitas semacam ini, mereka dibentuk untuk menjadi anti-pluralisme religius -- suatu perspektif yang menerima dengan terbuka bahwa semua agama lain yang benar adalah juga jalan-jalan menuju pada keselamatan-keselamatan manusia dalam dunia ini dan seterusnya52
Para penganut fundamentalisme Kristen dihinggapi suatu gejala mental eksesif yang biasa disebut “narcissisme radikal” -- yakni suatu rasa cinta diri, maniak diri, yang sangat mendalam dan berlebihan, membuta, baik terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai kebenaran diri sendiri maupun terhadap ideologi-ideologi religius, politik, ekonomi dan kebudayaan yang sudah berhasil mereka bangun dan pertahankan. Dorongan mental narcissistik ini bukan hanya merasuki bangunan ideologis agama mereka sehingga mereka akan mau mati demi doktrin-doktrin “cantik” mereka, tetapi juga merasuki ke dalam alam-alam sadar dan alam-alam bawah sadar mereka, sehingga gejala ini dapat disebut sebagai narcissisme radikal. Sadar atau dalam alam bawah sadar, mereka memandang diri sebagai laskar-laskar kebenaran ilahi, yang berbeda dari siapapun yang ada di dalam dunia ini53
Semangat tempur jihadisme sebagai Bible and doctrine warriors selalu membara dalam diri mereka, sehingga tepatlah kalau seorang pakar peneliti gejala fundamentalisme Kristen menyebut para fundamentalists Kristen sebagai “evangelicals in a fighting mood” Ketika bercermin di hadapan siapa pun, yang mereka temukan adalah panggilan dan tugas mereka untuk mempertontonkan kecantikan atau ketampanan diri sendiri sebagai orang-orang pilihan ilahi untuk tugas penyelamatan dunia. Segala linikehidupan siap mereka tempuri. Narcissisme radikal ini, suatu maniak cinta pada diri dan bangunan agama sendiri, menyebabkan fundamentalisme Kristen kokoh menjadi suatu sistem kepercayaan tertutup (a closed belief system) yang anti pada pembaruan, revisi dan inovasi mendasar, dalam doktrin-doktrin mau pun dalam praktek-praktek beragama.
Ada hal yang paling dibenci oleh kaum fundamentalis Kristen yakni orang-orang Kristen yang memakai pendekatan kritis-historis terhadap Alkitab. Pendekatan kritis-historis memandang setiap teks Kitab Suci tidak diilhamkan langsung oleh Allah dan tidak diturunkan langsung dari langit, tetapi lahir dari dalam kontekskonteks sosial-historis dan kultural yang riil dari manusia-manusia riil yang hidup dulu, dalam zaman masing-masing dan di tempat masing-masing dan yang menghadapi persoalan-persoalan historis yang riil dan kongkret. Karena itu, untuk memahami teks-teks Kitab Suci, para penafsir kritis mengembangkan metode-metode tafsir yang tepat dan memakai peralatan bantu konseptual metodikal untuk bisa masuk ke dalam konteks sejarah kehidupan para penulis teks-teks suci itu.54
Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminar, lembaga-lembaga, serta melalui tulisan-tulisan para pendeta yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela “hak-hak” orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa, hingga sosialisme.
Gerakan fundamentalisme Kristen pada dekade-dekade pertama abad dua puluh, telah mengadakan beberapa seminar yang menghasilkan beberapa organisasi. Di antaranya yang paling menonjol -di Amerika- adalah Organisasi Kitab Suci pada 1902 M yang telah mempublikasikan dua belas buku dengan judul Fundamentals, sebagai pembelaan atas penafsiran Injil secara literal, serta menangkal tindakan kritik dan penakwilan atas kandungan Injil. Organisasi yang menonjol lainnya antara lain adalah Yayasan Fundamentalisme Kristen Internasional yang didirikan pada 1919 M dan Persatuan Fundamentalis Nasional.
Perlu difahami bahwa gerakan fundamentalisme lahir dari situasi konflik antara budaya urban dan budaya pedesaan dalam sejarah Amerika pada masa pasca Perang Dunia I. Pemimpin yang populer pada waktu itu adalah W.J. Bryan. Kejadian itu muncul bersamaan dengan situasi depresi nilai-nilai agraris dalam proses industrialisasi dan urbanisasi di negeri itu.55 Dalam konteks ini, fundamentalisme dapat diidentifikasi sebagai pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai fundamental dalam pandangan Kristen Protestan”. Julukan ini, walaupun dimaksudkan untuk menggambarkan ketaatan absolut kaum Protestan atas ajaran Injil, tidaklah dipakai untuk melecehkan.
Fundamentalisme Menurut Pandangan Islam
Dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah “fundamentalisme”. Kita hanya menemukan kata dasar istilah itu, yaitu al-ashlu dengan makna ‘dasar sesuatu’ dan ‘kehormatan’. Bentuk pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr ayat 5) (Ash-Shaaffat ayat 64). Al-ashlu juga bermakna ‘akar’ (QS Ibrahim ayat 24).
Al-ashlu juga disebut bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu’ (parsial-parsial) dan masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul fikih, “Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci.” Dan, “ushul” adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima. Bagi ulama ushul fikih, kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, ‘dalil’. Dikatakan bahwa asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, ‘kaidah umum’. Dan ketiga, ‘yang rajih‘ atau ‘yang paling kuat’ dan ‘yang paling utama’. (Lihat kitab Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma’arif)
Dalam peradaban Islam telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih. Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara’ praktikal dari dalil-dalil perinciannya. Serta ilmu ushul hadits atau mushthalah hadits. Demikianlah warisan keilmuan Islam dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak mengenal istilah ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertiannya.
Hingga dalam pemikiran Islam kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam kajian-kajian ilmu ushul fikih, kita dapati ia bermakna, “Kaidah-kaidah pokok-pokok syari’at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri’iyah ‘legislasi’ umum serta pokok-pokok tasyri’iyah general, seperti: (1) tujuan umum syari’at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi objek ijtihad, (4) nasakh hukum, dan (5) ta’arudh ‘pertentangan’ an tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum).” Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen.56
Dengan demikian, istilah ‘ushuliyah’ dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang. Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda pengertian, latar belakang dan pengaruhnya.
Istilah yasar (kiri) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang upahan, orang-orang fakir, dan miskin, serta orang-orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan orang lain. Sementara, dalam pemahaman Arab dan Islam, istilah itu menunjukkan kepada orang-orang kaya raya, orang-orang yang berkecukupan, dan orang-orang yang menikmati kehidupan enak. (Lihat Kazuo Shimogaki. Kiri Islam, Telaah kritis Pemikiran Hasan Hanafi : Antara Modernisme dan Postmodernisme. LKis. 1997)
Istilah yamin (kanan) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang kuno, terbelakang dan kaku. Sementara, dalam wacana pemikiran Arab dan Islam, dipergunakan untuk menunjukkan keadaan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, sehingga mereka datang kepada Tuhan mereka pada hari Perhitungan, memegang buku catatan berbuatan-perbuatan mereka yang baik dengan tangan kanan, atau juga bermakna kekuatan, ketegaran, dan ketenangan.57
Belakangan ini muncul istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam fundamentalis”. Istilah ini cukup populer dalam dunia media massa, baik yang berskala nasional maupun internasional. Istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam fundamentalis” ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Penggunaan istilah fundamentalisme yang ‘dituduhkan’ oleh media massa terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, di samping bertujuan memberikan gambaran yang ‘negatif’ terhadap berbagai aktivitas mereka, juga bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas mereka di mata dunia. Istilah fundamentalisme dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula.
Pandangan-Pandangan Tafsir Fundamentalis
Kaum fundamentalis dalam terminology Barat adalah orang-orang kaku dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal (pengambilan dalil), ijtihad, dan pembaruan.58
Namun demikian, dalam berbagai kajian, wacana, maupun opini publik yang muncul pada hari ini, fundamentalisme selalu dikaitkan dengan pengertian yang dipahami atau terpengaruh paham Barat. Pengertian inilah yang lazim digunakan sehingga fundamentalisme mengandung makna negatif. Maka dari itu, yang dimaksud “pandangan-pandangan tafsir fundamentalis” dalam sub bab ini adalah pandangan-pandangan yang mengikuti terminology Barat dan diposisikan sebagai “fundamentalisme Islam”.
Azyumardi Azra menganggap keliru pendapat yang dikemukakan oleh Graudy bahwa munculnya fundamentalisme Islam adalah sebagai reaksi terhadap fundamentalisme Barat. Menuduh Barat sebagai satu-satunya penyebab munculnya gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, bukan hanya merupakan pencerminan sikap apologetik, tetapi juga mensimplikasikan gejala perkembangan sosio-historis kaum Muslimin. Prinsip dan karakteristik yang membuat suatu gerakan tertentu dapat disebut “fundamentalis” juga terdapat di dalam kalangan Muslim sepanjang sejarah.59
Oleh karena itu fundamentalisme Islam pada dasarnya tidak sepenuhnya baru, sebab sebelum munculnya fundamentalisme kontemporer terdapat gerakan yang mungkin dapat disebut sebagai prototype gerakan-gerakan fundamentalisme yang muncul dalam masa-masa belakangan. Azyumardi membagi gerakan fundamentalilsme menjadi dua tipologi yakni : pra-modern dan kontemporer yang dapat disebut neo-fundamentalisme. Fundamentalisme pra-modern muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu di kalangan kaum Muslimin sendiri. Karena itu ia lebih genuine dan inward oriented atau berorientasi ke dalam diri kaum Muslimin sendiri. Sedangkan fundamentalisme kontemporer bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi barat, baik melalui kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir Muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan perpanjangan tangan dari Barat.60
Dalam bukunya “Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan)”, Yusril Ihza Mahendra mengartikan fundamentalisme sebagai ideologi atau aliran politik yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi serta bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah itu. Namun demikian, fundamentalisme cenderung menafsirkan doktrin secara rigid dan literalis.61.
Pandangan yang tidak jauh berbeda juga dikemukan oleh Hamim Ilyas. Menurutnya, ”Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.”62
Dengan mengutip pendapat Azyumardi Azra dan Martin E. Marty, Hamim kemudian melanjutkan tulisannya bahwa di antara prinsip fundamentalisme adalah penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam ”kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.63
Seluruh paparan di atas tampaknya berkonvergensi pada sebuah kesimpulan bahwa istilah ‘muslim fundamentalis’ telah mengalami pematokan, pelebaran dan penyempitan. Istilah itu sempat dipatok untuk fenomena Salafiah Al-Afghânî. Kemudian dilebarkan untuk semua gerakan revivalisme Islam. Lalu disempitkan untuk gerakan muslim radikal/ekstrem/literal/garis-keras. Dan penyempitan inilah yang kini sering dijadikan sebagai “relational meaning” bagi kata ‘muslim fundamentalis’.
Di dalam kehidupan keagamaan masyarakat Muslim, pemakaian istilah fundamentalis selalu menjadi polemik. Di satu sisi penggunaan istilah itu terhadap kaum Muslim lebih tepat disebut dengan Islam fundamental karena orang Islam harus percaya dan mengimani ajaran Islam secara mendasar seperti yang termaktub dalam rukun iman dan rukun Islam. Rukun iman berisikan dasar-dasar keyakinan sedangkan rukun Islam merupakan aplikasi dari sikap penyerahan diri seorang hamba kepada Allah secara totalitas. Hal ini seperti yang termuat dalam firman Allah swt64 :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang memenuhi janjinya apabila ia berjanji; dan orangorang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”
Di sisi lain, penggunaan istilah fundamentalisme dimaksudkan untuk menggambarkan citra tertentu yang bersifat ekstrimisme, fanatisme dan bahkan terorisme dalam rangka mempertahankan keyakinan keagamaannya. Karena itu kaum fundamentalis sering disebut tidak rasional, tidak moderat dan cenderung melakukan kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah. Ciri yang melekat pada kaum fundamentalis menurut Dawam Rahardjo adalah sikap dan pandangan mereka yang radikal, militan dan berpikiran sempit, bersemangat secara berlebihan atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan memakai cara-cara kekerasan. Soalnya sikap-sikap semacam itu bukan monopoli mereka yang memegang teguh ajaran-ajaran yang fundamental dalam Islam. Banyak faktor yang melahirkan sikap-sikap semacam itu, dalam arti benar dan salah. Tapi bukan faktor itulah yang secara ekslusif menyebabkan kaum Muslim berpegang teguh pada ajaran Islam yang fundamental.65
Kalangan Muslim tertentu keberatan dengan istilah fundamentalisme, terutama atas dasar konteks historis istilah ini yang dihubungkan dengan fundamentalisme Kristen. Karena itu sebahagian mereka menggunakan istilah ushuliyyun untuk menyebut orang-orang fundamentalis (seperti yang telah diuraikan di atas), yakni mereka yang berpegang kepada fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadis. Dalam kaitan ini digunakan pula istilah al-Ushuliyyah al-Islamiyyah (fundamentalis Islam) yang mengandung pengertian kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar-dasar otoritas syar’iyah al-hukm. Formulasi ini seperti terlihat lebih menekankan dimensi politik gerakan dibandingkan dengan aspek keagamaannya.66 Terdapat sejumlah istilah lain dalam bahasa Arab yang digunakan kalangan fundamentalis Islam untuk mengacu kepada kelompok atau gerakan mereka. Istilah tersebut antara lain adalah Islamiyyun (kaum Islamis), ashliyyun (otentik, asli), dan salafiyyun (pengikut para sahabat utama). Sedangkan istilah muta’assib digunakan kalangan non-fundamentalis untuk menunjuk kelompok militan yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah. Dari semua istilah-istilah itu yang paling sering digunakan adalah istilah ushuliyyun (kaum fundamentalis) dan al-ushuliyyah al-Islamiyyah (fundamentalis Islam).67
Di sisi lain, penggunaan istilah fundamentalisme dimaksudkan untuk menggambarkan citra tertentu yang bersifat ekstrimisme, fanatisme dan bahkan terorisme dalam rangka mempertahankan keyakinan keagamaannya. Karena itu kaum fundamentalis sering disebut tidak rasional, tidak moderat dan cenderung melakukan kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah.
Dalam perspektif kesejarahan, fundamentalisme dapat dikonsepsikan sebagai satu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjaga, membela dan melstarikan kemurnian Islam dari pengaruh-pengaruh asing dengan cara kembali pada pondasi-pondasi skriptural (secara sederhana berarti pemahaman berdasar bunyi teks apa adanya). Sumber-sumber skriptural yang merupakan fundamen-fundamen Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Fundamentalisme skriptural, sesungguhnya menjadi instrumen yang tangguh dalam menyebarkan Islam di kalangan strata masyarakat bawah dari masyarakat kota sepanjang sejarah penyebaran Islam, dan juga telah menjadi bagian yang integral dari proses-proses islamisasi yang intensif. Hanbalisme (madzhab Hanbali) adalah salah satu dari empat madzhab sunni yang terkenal di dunia Islam.
Pada mulanya, Hanbalisme sebagai pondasi melawan. teologi rasional (kalam), karenanya, Hanbalisme dapat dipandang sebagai fundamentalisme Islam skriptural. Selain itu, fundamentalisme Hambali juga merupakan reaksi terhadap ancaman yang datang dari Shi’isme. Dalam melawan Shi’isme, Hanbalisme membela prinsip Sunnisme, yaitu sunnah (tradisi) dan jama’ah (komunitas), sedangkan dalam melawan teologi rasional Mu’tazilah, Hanbalisme membela bahwa al-Qur’an adalah kata Tuhan yang abadi (uncreated) dan menegaskan penerimaan proposisi-proposisi skriptural tanpa adanya kesangsian.
Sementara itu, dalam melawan tiga ancaman, pengaruh kaum salibis Kristen, Mongol dan Shi’isme, Ibnu Taymiah (wafat 1328) merupakan aktor utama di balik produksi gagasan-gagasan fundamentalisme Hanbali masa pertengahan. Tradisi Hambali inilah yang melahirkan gerakan Fundamentalis Wahabi di Arabia dan segera menjadi dominan di daerah-daerah tersebut. Gerakan fundamentalis Islam pra-moderen pertama muncul di bawah pimpinan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Banyak dipengaruhi gagasan-gagasan pembaharuan Ibn taymiyah dan memperoleh pendidikan di kalangfan ‘ulama‘ reformis di Haramayn, Ibn ‘Abd Wahhab menggoyang pendulum reformasi Islam ke titik ekstrem : Fundamentalisme Islam radikal. Fundamentalisme Wahabi tidak hanya menekankan purifikasi tawhid, tetapi juga penumpahan darah dan penjarahan Mekkah dan Madinah, yang diikuti pemusnahan monumen-monumen histories yang mereka pandang sebagai praktek-praktek menyimpang.68
Gerakan Wahabi, akhirnya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan fundamentalis di sebagian besar dunia Islam. Di Nigeria Utara, Syaikh Utsman dan Fodio (1754-1817) melancarkan aksi jihad memerangi penguasa Muslim dan pendukung-pendukungnya yang dianggap korup dan praktek-praktek Islam yang bercampur baur dengan tradisi budaya local, di Afrika Barat, Fundamentalis Islam dikomandani oleh al-Hajj ‘Umar Tal (1974-1865), di Indonesia kemiripan dengan Wahhabi ditandai dengan pembaharuan moderat yang dilancarkan oleh Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Ranceh dan lain-lain termasuk neo-Hambali “Wahhabisme” di India tahun 1818 dan tahun-tahun berikutnya, di Sudan dan Somalia, gerakan jihad dipimpin oleh Sayyid Muhammad ‘Abd Allah Hasan (1864-1920).69
Akan tetapi, sejak abad ke-11, dibandingkan dengan fundamentalisme skriptural maka sufisme adalah kekuatan utama dalam gerakan-gerakan massa yang instrumental dalam penyebaran Islam secara sosial dan gegorafis. Meskipun, sufisme dipandang sebagai rival dari fundamentalisme skriptural, ada yang mempertimbangkan bahwa gerakan ‘neo-sufi’ juga adalah satu bentuk fundamentalis. Hasan al-Banna, juga dipengaruhi oleh model sufisme dalam mengembangkan gerakan the Brotherhood (Ikhwanul Muslimin) di Mesir.
Relasi antara Mahdisme dengan fundamentalisme kontemporer adalah rumit dan melibatkan transformasi gagasan yang diperlukan. Mahdisme, dengan demikian, adalah tipe yang berlawanan dengan gerakan Islam (Islamic movements). Namun, apa yang penting dipahami adalah Mahdisme dan kebangkitan gerakan sufi secara historis merupakan agensi bagi penyatuan suku-suku dan pembentukan negara-negara berbasis Islam. Shi’isme, dengan demikian, adalah gerakan yang mengadung elemenelemen Mahdisme. Dalam Shi’isme, misalnya, ada keyakinan bahwa otoritas ulama sebagai representasi dari Mahdi sebagai ‘imam yang tesembunyi’ (the Hidden Imam). Dalam kondisi politik kontemporer, Shi’isme telah menjelma sebagai gerakan fundamentalis dengan menempatkan para imam sebagai aktor utama, seperti yang terjadi di Iran, yang masyhur disebut Revolusi Iran--yang menumbangan rejim tiran Syah Iran.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, ekonomi, urbanisasi, krisis moral dan seksualitas di dunia moderen, menjadi faktor-faktor yang signifikan bagi kelahiran gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di seluruh dunia Muslim. Selanjutnya, yang patut digaris bawahi bahwa gambaran utama dari kebangkitan gerakan Islam (Islamic Movements) adalah gagasan mengenai “political Islam”.
Gerakan the Muslim Brothers (Ikhwanul Muslimin) di Mesir, menurut Hamid Enayat, merupakan perintis dari gerakan fundamentalisme Islam, yang kemudian diikuti oleh gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di seluruh dunia Muslim -secara khusus Mesir, Syiria, Iran, Pakistan, Indonesia dan Malaysia- dengan bentuk-bentuk yang tidak homogen. Ideologi, tabiat dan gaya dari aktivitas gerakan-gerakan tersebut, di setiap negara, secara umum ditentukan oleh strategi dan prasyarat perjuangan nasional, baik itu kemerdekaan, demokrasi atau mendapatkan kembali identitas budaya nasional yang hilang.70
Hal senada diungkapkan pula oleh Frank Stoakes, bahwa politik fundamentalisme Islam telah menjelma di Turki dan kelompok-kelompok politik di Iran, akan tetapi pengekspresian politik Islam yang paling dramatis diwakili oleh the Muslim Brothers yang didirikan tahun 1928 di Mesir. Tujuan dari the Brotherhood adalah untuk memapankan satu negara Muslim teokratik (Islamic state) dengan satu nada sosialis, yang diklaim, memungkinkan pelaksanaan yang utuh atas doktrin-doktrin Islam. Akan tetapi, organisasi dan teknik-teknik politiknya banyak mengadopsi partai-partai otoritarian di Eropa, dan dalam mencapai tujuannya mereka memperkenankan melalui cara-cara pembunuhan dan revolusi militer.71
Karena itu, menurut Hamid Enayat, kuatnya tuntutan bagi lahirnya Negara Islam, dan motif-motif serta alasan-alasan bagi tuntutan tersebut, amat bervariasi dari satu negara ke negara lain. Sebelum revolusi Islam Iran meletus tahun 1979, daya tarik paling kuat datang dari kasus Pakistan, di mana Islam yang membawa Pakistan menjadi satu negara. Apa yang terjadi di Mesir dan Iran tidak kalah dasyhatnya, meskipun selalu dibingungkan oleh kompetisi ideologi-ideologi -nasionalisme, liberalisme, sosialisme dan komunisme. Karakteristik-karakteristik umum dari gerakan di Mesir, Iran dan Pakistan dapat dikatakan sebagai “examples of modern Islamic Fundamentalism” -berlawanan dengan tipe tradisional yang ditunjukan oleh model Saudi.72
Demikianlah di antara pandangan tafsir fundamentalis yang dikemukan para ilmuwan. Sebenarnya, pandangan-pandangan lain yang dianggap sebagai pandangan “fundamentalis Islam” masih banyak. Penulis sengaja mengambil beberapa pendapat di atas sekadar sebagai contoh, bukan dengan maksud membatasi. Selain itu, pembahasan kita akan terlalu panjang dan melebar apabila penulis mencantumkan pandangan-pandangan yang lain.
6. The Theoritical Framework/ Approach and Research Methodology
Pendekatan Penelitian
Buku yang merupakan hasil penulis (Jack Nelson – Pall Mayer) yang cukup orisinil ini menelaah teks-teks suci tiga agama monoteisme (dalam Perjanjian Baru, Perjanjian Lama dan Al Qur’an). Pendekatan penelitian yang Nampak paling dominan yang dilakukan para penulis yakni penelitian dengan menggunakan pendekatan Filologi yakni penelitian terhadap naskah-naskah yang menjadi sumber agama. Namun demikian jika kita lebih cermat, kita juga akan menemukan beberapa pendekatan yang terdapat dalam buku untuk mengantarkan pada pemahaman yang dimaksud oleh kedua penulis. Beberapa pendekatan yang dimaksud yakni :
a.Pendektan Antropologi. Pendekatan antropologi dalam memahami agama diartikan sebagai memahami prilaku keagamaan yang sesungguhnya adalah prilaku yang terdapat dalam kenyataan baik itu individu maupun masyarakat.
b.Pendekatan Sosiologis. Pendekatan sosiologis juga bisa digunakan untuk memahami prilaku keagamaan suatu masyarakat tertentu
c.Pendekatan Histories. Pendekatan sejarah digunakan untuk memahami agama yang lahir dalam kondisi social masyarakat pada waktu lahirnya.
Metode Analisis
Ada beberapa metode analisis yang digunakan penulis dalam buku ini seperti metode dokumentasi. Disamping itu metode observasi sosiologis dan antropologis dan metode perbandingan.
Metode dokumentasi digunakan penulis untuk memahami pengalaman keagamaan seseorang atau sekelompok orang dalam beragama walaupun bukan metode murni akan tetapi ini merupakan instrument yang paling pokok dalam mendekati kehidupan keagamaan seseorang, atau kelompok umat beragama. Dalam menggunakan metode dokumentasi ada dua pendekatan yang dipakai yakni : Nomothetic dan Idiographic. Penulis buku dalam hal ini lebih menggunakan pendekatan nomothetic. Dimana penulis mempelajari berbagai masalah untuk menemukan generalisasi umum yakni tentang kekerasan agama atau lebih tepatnya fundamentalisme agama. Sedangkan idiographic hanya menggunakan satu dokumen untuk menyingkap generalisasi masalah lain sepanjang konteks kasus dokumen yang diteliti.
Metode observasi sosiologis dan antropologis juga dipergunakan penulis ketika penulis ingin mengetahui tindak laku agamaniah dari kelompok penganut agama monoteisme, disamping itu penulis buku ini juga menggunakan pendekatan perbandingan untuk membandingkan satu kelompok agama dengan kelompok lain dalam persfektifnya terhadap teks-teks suci agama.
Namun sekali lagi bahwa sesuai dengan judulnya dalam buku buku ini penulis (Jack Nelson – Pall Mayer) melakukan pendekatan Filologi yang cukup orisinil dengan menelaah teks-teks suci (Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Al Qur’an). Dan dengan mengkombinasikan beberapa metode analisa terhadap teks-teks suci dengan membandingkannya dengan prilaku keagamaan penganut agama monoteisme (Yahudi, Kristen dan Islam)
7. The Limitation and Key Assumptions
Ruang lingkup buku yang disusun oleh Jack Nelson – Pall Mayer adalah menyangkut Akar Kekerasan Dalam Bibel dan Al Qur’an. Maka asumsi-asumsi kunci yang digunakan tentunya terkait dengan hal-hal sebagai berikut yakni yaini :
a.Akar kekerasan(baca : fundamentalisme) dalam Bibel dan Al Qur’an
b.Fundamentalisme dalam persfektif Barat (baca : Kristen) dan Timur (baca : Islam)
c.Tafsir fundamentalisme dalam Bibel dan Al Qur’an
8. The Result of Research/The Conclusion
Buku yang berjudul “Is Religion Killing Us? Membongkar Akar Kekerasan dalam BIbel dan Al-Quran” tulisan Jack Nelson-Pallmayer yang diterbitkan oleh Pustaka Kahfi Yogyakarta pada 2007. Sesuai dengan judulnya, Jack Nelson-Pall Mayer menyoroti ajaran-ajaran dalam Bibel dan Al-Quran yang menurutnya sering mendorong terjadinya kekerasan atas nama Tuhan. Penulis buku ini berkesimpulan bahwa, ”Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” 73
9. The Contribution to Knowledge
Sebagai seorang penganut Kristiani -Jack Nelson dan Pall Mayer- meskipun berangkat dari pemahamannya yang kurang akurat tentang agama-agama monoteisme sehingga berkesimpulan bahwa, ”Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” 74
Namun telah memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap penelitian agama, dalam arti penelitian terhadap teks-teks agama. Beberapa kontribusi yang dapat dikemukakan disini yakni : Pertama, penulis dapat menjelaskan dengan cukup baik tentang cara memahami penerimaan tradisi kekerasan atas nama Tuhan dalam teks-teks suci yang mendorong kekerasan manusia dan mendukung prilaku sewenang-wenang untuk mendapatkan kekuasaan. Gambaran yang dominan dari kekuasaan Tuhan dalam Bibel dan Qur’an diperkuat dengan otoritas hak atas penguasaan kepercayaan dan kepemilikan orang lain. Kekuasaan tuhan sering kali diekspresikan dalam bentuk yang menakutkan, berupa sanksi, hukuman, siksaan, kekalahan musuh dan superioritas kekerasan.
Kedua, penulis dapat menjelaskan dengan cukup baik tentang bagaimana dan penerimaan terhadap tradisi kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan, menguatkan hubungan antara kekerasan dan ketuhanan, sehingga secara fungsional kekerasan menjadi agama baru didunia ini. Kebanyakan orang -termasuk orang-orang beriman- Ateis, Kristen, Muslim , Marxis, Yahudi, polities, penganut kepercayaan, revolusioner, kontrarevolusioner, komunis, kapitalis anarkis, fundamentalis dan pemimpin Negara yang menghukum Negara -pendukung terror dan terorisme- meyakini bahwa tindakan kekerasan itu benar. Jika agama dan kepercayaan itu merupakan pokok kesetiaan, maka bisa dikatakan bahwa kekerasan merupakan prinsip agama dunia.75
Ketiga, penulis dapat menguraikan denga cukup lugas tentang krisis agama Kristen, kekerasan dan teks-teks suci dalam konteks militerisasi AS. Permasalahan Islam dan kekerasan yang dimunculkan setelah kejadian penyerangan teroris pada 11 September 2001. Meskipun orang-orang cukup keras memperbincangkan agama Kristen dan kekerasan dalam kontekk militerisasi AS yang didahului dan diikuti kekerasan. Dan akhirnya melalui karyanya ini penulis mengajak para pembaca untuk mencari sebuah jalan keluar dari spiral kekerasan sebagai jantung kehidupan dunia, tentang bagaimana menampilkan ide-ide sebagai jalan alternative untuk mendekati teks-teks suci sehingga kita dapat belajar dari penyimpangannya.76
10.The Bookreviewer Critique toward the Book
Jack Nelson-Pall Meyer menulis buku tersebut, berangkat dari pengalaman dan pemahamannya sebagai seorang Kristen di Barat. Dengan demikian pemahamannya terhadap Al-Quran dan Islam tampak dangkal. Banyak hal bisa dikritisi dari isi buku ini, oleh sebagian kalangan dianggap karena penulisnya sudah menggugat kesucian teks Al-Quran. Misalnya, penulis berkesimpulan, bahwa “Masalah Islam yang identik dengan kekerasan tidak hanya sebatas adanya ketidaksesuaian teks-teks, tetapi berakar pada banyaknya ayat-ayat dalam Qur’an yang melegitimasi kekerasan, peperangan dan intoleransi” (hal. 165).
Penulis buku ini juga oleh para pengkritik dianggap dengan semena-mena membuat kesimpulan, bahwa “Kekerasan religius yang lazim diantara tradisi kepercayaan penganut monoteisme tidak semata-mata sebagai masalah distorsi penafsiran kaum beriman terhadap teks-teks suci mereka. Hal itu lebih pada masalah yang berakar dalam tradisi kekerasan Tuhan yang terletak pada inti teks-teks suci tersebut.” (hal. 180).
Disamping, kritik terhadap buku Jack Nelson dan Pall Meyer tersebut, banyak pula kritik yang datang yang ditujukan kepada pemberi kata pengantar dalam buku tersebut yakni kata pengantar yang disampaikan oleh Dr. Hamim Ilyas dengan judul “Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Quran” dari kata pengantar ini Hamim banyak menuai kritik diantaranya yakni yang datang dari Adian Husaini. Adian mengkritik pernyataan Hamim yang menyatakan bahwa fundamentalis adalah orang-orang yang skripturalis atau literalis dalam memahami Al-Quran, menolak hermeneutika, menolak pluralisme, menolak relativisme. Diawali dengan penolakan terhadap fundamentalisme islam yang disematkan Barat (baca: Kristen), selanjutnya Adian menulis “Kita bisa saja tidak setuju dengan sebagian pemikiran Hasan al-Banna atau Abul A’la al-Maududi. Tetapi, untuk apa memberi cap bahwa mereka adalah fundamentalis, literalis, anti-pluralis, dan sebagainya? Tuduhan-tuduhan seperti ini sebenarnya sangat naif dan bodoh, apalagi dilakukan oleh seorang doktor dan dosen tafsir. Abul A’la al-Maududi, misalnya, adalah pemikir besar yang karya-karyanya telah memberi inspirasi dan manfaat bagi jutaan kaum Muslim di seluruh dunia”
Kritik Adian menyangkut penggunaan Hermeneutika kepada hamim misalnya, Adian menulis “Pada muktamarnya di Boyolali tahun 2004, NU juga menolak penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa NU juga fundamentalis? Di Muhammadiyah sendiri, banyak tokohnya yang telah menulis secara kritis bahaya penggunaan hermeneutika untuk Al-Quran. Apa mereka semua itu adalah kaum fundamentalis?” (untuk lebih jelasnya kritik Adian ini misalnya dapat dilihat pada www.hidayatullah.com atau www.swaramuslim.net)
Selain kritik dari Adian ada juga kritik yang datangnya dari Muhammad Isa Ansori, Isa menyatakan bahwa beberapa pandangan yang sering diidentikkan sebagai doktrin sentral fundamentalisme merupakan bukti ketidakpahaman si penuduh terhadap ajaran Islam. Doktrin Islam kaffah yang tertera dalam QS Al-Baqarah: 208 misalnya, menurut Hamim Ilyas, pemahaman yang benar dan tepat mengenainya adalah seruan untuk melakukan keseimbangan dalam kehidupan ini antara aspek spiritualisme dan aspek materialisme. Sebab, ayat ini turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang sedang mengalami transisi dari peradaban spiritualisme menuju peradaban materialisme. Pemahaman seperti ini ternyata merupakan pemahaman aneh yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tafsir para ulama. Menurut sebagian besar pendapat para ulama dalam kitab-kitab tafsir mereka, konsep Islam kafffah yang tertera dalam QS Al-Baqarah: 208 adalah perintah untuk melaksanakan atau masuk ke dalam syariat Islam secara total. Akan tetapi, pemahaman seperti ini oleh Hamim Ilyas dianggap sebagai doktrin fundamentalisme.
11.The References
www.asmaul.org di akses pada tanggal 03 Maret 2009
Ihsan Ali-Fauzi, Ambivalensi sebagai peluang: Agama, Kekerasan dan Upaya Perdamaian, Artikel : dalam www.scripps.ohio.edu/new/ diakses pada tanggal 03 Maret 2009
Charles Kimball, Kala Agama Menjadi Bencana, terj. Nurhadi, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2003 dalam www.scripps.ohio.edu/new/ diakses pada tanggal 03 Maret 2009
Pallmayer - Jack Nelson “Is Religion Killing Us? Membongkar Akar Kekerasan Dalam Bibel dan Quran”, 2007. Yogyakarta : Pustaka Kahfi.
www.mindamadani.my/content/blogcatagory/6/9 di akses pada tanggal 23 Februari 2009
http://fokammsi.wordpress.com/2008/04/23/wacana-fundamentalisme-dalam-alquran di akses pada tanggal 23 Februari 2009
Ilyas, Hamim. “Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Quran”, kata pengantar dalam Pallmayer - Jack Nelson. 2007. Is Religion Killing Us, Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Kahfi.
Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan). Jakarta: Paramadina.
Muhammad Isa Anshory. Wacana Fundamentalisme Dalam Al Qur’an dalam http://fokammsi.wordpress.com/2008/04/23/wacana-fundamentalisme-dalam-alquran di akses tanggal 23 Februari 2009
Imarah, Muhammad. 1999. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Adian Husaini Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta. Gema Insani Press. 2005
Husni, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi : Kritik Terhadap Pemikiran Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra. Jakarta. Dea Press.
Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Dawam Rahardjo, dalam. Muhamad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, 1996.
Azyumardi Azra, Pergoalakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996
QS. Baqarah ayat 177
Khaled Abou El Fadl. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Serambi. Jakarta. 2006
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Austin: University of Texas, 1982), h. 83. Dalam Makalah. Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Frank Stoakes dalam “An Anthology of Contemporary Middle Eastern History“ (Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, tt), h. 24 dalam Makalah. Akhyar. Fundamentalisme Dalam Agama Islam dan Kristen. tt.
Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 23 Februari 2009
Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.
Ma’arif, Zainul. “Menggali Akar Fundamentalisme Islam; Paradigma Kompleks Sebagai Pisau Analisis” dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=74 Diakses pada tanggal 23 Februari 2009
Sayyid Quthub, Ma‘âlim fî al-Tharîq, (Cairo: Dâr Syurûq, 1992), h.10-11dan 67. Dalam Makalah Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, (Egypt: Musthofa Al-Bâbiy Al-Halbiy. Co. Press, 1968) h.112-113, CF., Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi; Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an Vol.5, (Dâr Sya‘b, t.t) h..2187 Dalam Makalah Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.
Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam:Predicement and Promise, terj. Posmodernisme:Bahaya dan Harapan Bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1993)
Maududi dikutip dalam An Anthology of Contemporary Middle Eastern History (Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, tt), h. 416 Diambil dalam Makalah Akhyar Akhyar. Fundamentalisme dalam Agama Islam dan Kristen. Makalah.tt.