Tulisan ini telah terbit pada Jurnal
Iqtishaduna dengan Judul “Menilai Kinerja Pembangunan dengan Analisis
Pendekatan Maqasid al-Syariah” Iqtishaduna Edisi 4 Tahun 2013. Hal. 33-62. ISSN: 2076-1234.
Abstract
This
research of background by idea that most development in Nations moslem adopt
development strategy Western countries of ideological characteristic and its
economist situation. Frequent this by mistake of times, rill make Nations
moslem very difficult to face problems of faced economist. From result of
analysis that is later, then concluded that is: First, failure of development
theorys which in awaking up in West conception is resulted because used
approach by parsial. This approach of implication at uncared frequent logical consequences,
namely: (a) emphasis at growth disregarding distribution with justice; (b) do
not express the existence of policy priority; (c) do not there are strategy
touching the problem of economics directly, (d) uneven run policys, so that
often generate and do not flatten and is
inequitable. Both, one of the approach which is used in assessing development
performance in is in perspective of Islam by using analysis of al-maqasid is
cultural approach in anthropological frame of development representing one of
the alternative approach as form revise from approach of development of which
totally in handling and touching entire/all existing problems which is
overemphasize economic aspect.
Keyword: Approach, Maqasid al-Syariah, Performance, Development.
A. Pendahuluan
Paradigma tradisional tentang kinerja pembangunan cenderung
mengidentikkan kinerja pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi.
Kinerja pembangunan dikatakan berhasil bila pertumbuhan ekonomi di suatu
wilayah relatif tinggi. Namun dewasa ini, definisi kinerja pembangunan yang
banyak diterima adalah kinerja pembangunan merupakan suatu proses dimana
pendapatan perkapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang
dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah “garis kemiskinan
absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.
Berangkat dari keinginan untuk menyempurnakan indikator
kesejahteraan, maka banyak ahli ekonomi dan lembaga internasional mengembangkan
indeks pembangunan dengan memasukkan indikator sosial.
Konesp Human Developmen Index yang
dikembangkan oleh United Nation
Development Program (UNDP) memperioritaskan pada pencapaian tujuan
pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai fokus perhatian. Beberapa
pemikiran yang dikembangkan oleh UNDP diringkas sebagai berikut: (1)
memfokuskan pembangunan pada manusia; (2) memadukan pendekatan ekonomi dan
sosial dalam pencapaian tujuan pembangunan; (3) menyediakan alat analisis untuk
perencanaan pembangunan; dan (4) memberikan anjuran kepada pemerintah dunia ketiga
guna memperioritaskan distribusi hasil pembangunan.
Di Indonesia, kondisi pembangunan fisik memang telah menghasilkan
kemajuan yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi telah meningkat tajam pada
awal 1980-an, tetapi tidak terjadi kesinambungan seperti yang diharapkan.
Akibat dari kemajuan pembangunan fisik, terjadi pula pengrusakan alam
lingkungan secara besar-besaran. Meskipun secara normatif, masalah-masalah
kemiskinan, kesehatan, pengangguran, keadilan sosial telah termuat dalam
naskah-naskah perencanaan pembangunan nasional namun implementasinya masih
sangat jauh dari memusakan.
Hasil-hasil pembangunan yang telah di capai dengan penerapan
sejumlah teori dan asumsi kemudian menghadirkan banyak konsekuensi subjektif
kemudian menjadi wacana perdebatan. Hal ini menjadi menarik, karena merupakan
upaya pembongkaran terhadap substansi pemikiran yang berasal dari ideologi ilmu
sosial yang bernama “pembangunan” (developmentalism).
Sebuah konsep pembangunan yang berasal dari Barat yang serta merta dipaksakan
pada hampir semua rakyat yang hidup di dunia ketiga, dan tidak lepas dari
refleksi paradigma positivisme dan post-positivisme menyangkut perubahan sosial
yang bersifat reduksionis. Ilmu pengetahuan yang memuat konsep pembangunan yang
diproduksi oleh negara Barat dan dikirimkan kepada rakyat dunia ketiga, dimana
mereka awalnya dilabeli “kekurangan” tentang hal-hal yang dapat dipenuhi oleh
teknologi dan keahlian professional.
Diskursus pembangunan selanjutnya tidak pernah memberi legitimasi
segala bentuk pengetahuan “non-positivisme”, sehingga cara-cara pertanian
tradisional digusur dan segala bentuk formasi non-kapitalistik dihancurkan.
Keragaman pemikiran yang berasal dari budaya etnik dilabeli sebagai tradisional
yang menghambat pola fikir yang rasional. Dalam kondisi seperti ini akhirnya
lahirlah banyak pemikir kritis yang bersikap bahkan menolak konsep pembangunan.
Pada penelitian ini kinerja pembangunan dikaji dari konsep maqasid al-syariah, untuk selanjutnya
akan disebut al-maqasid. Konsep al-maqasid ini merupakan kemestian dan
landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia didunia dan di akhirat yang
mencakup pemeliharaan dan peningkatan mutu hidup terhadap unsur-unsur, yakni
agama, keimanan, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Sesuai dengan diskusi menyangkut al-maqasid,
pengayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua
upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun cara, sangat
berhubungan dan tergantung pada proses sebab akibat berantai. Realisasi tujuan
ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan realisasi tujuan.
Dengan demikian kewajiban-kewajiban dalam syariah yang menyangkut perlindungan al-maqasid pada gilirannya bertujuan
untuk melindungi kemaslahatan manusia.
Sementara itu, fokus permasalahan yang
hendak dipecahkan adalah tentang bagaimana mengetahui kinerja pembangunan dalam perspektif
Islam? Dan bagaimana menentukan pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja
pembangunan dalam perspektif Islam dengan menggunakan analisis al-maqasid?
B. Metode
Penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini digolongkan dalam dua pendekatan, yakni: pendekatan komparatif eksploratif dan pendekatan antropologis. Sementaran jenis
penelitian, yakni
deskriptif kualitatif. Untuk teknik
pengumpulan data menggunakan litereir atau library research (studi pustaka). Data yang digunakan
adalah data sekunder yang
terdiri atas: pertama, data primer,
yakni al-Qur’an, Hadis
dan Fatwa MUI tentang
kriteria maslahat; kedua, data
skunder, yakni terdiri
dari bahan-bahan pustaka lainnya, seperti buku, artikel, jurnal, ensiklopedi, software kitab-kitab Islam, dan data internet yang berisikan
pendapat para pakar atau praktisi dan hal-hal yang memiliki relevansi dengan
permasalahan yang menjadi obyek kajian;
ketiga data tersier, yaitu data
hasil penelitin, kamus hukum dan kamus ekonomi. Sedangkan teknik
analisis data menggunakan content
analisys (analisis isi) dengan
paradigma kritis. Holsti
sebagaimana dikutip Isnawijaya, mendefinisikan analisis isi sebagai teknik
apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan
karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.
C. Hasil
dan Pembahasan
Kinerja
Pembangunan
Berbagai definisi
dikemukakan menyangkut kinerja pembangunan, misalnya dimana kinerja lebih
merupakan suatu istilah umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh
tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode yang dicapai,
kemampuan kerja atau prestasi yang diperlihatkan.
Menurut Fiske sebagaimana dikutip Sri Handayani menjelaskan bahwa kinerja
merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut
kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan.
Menurut Wiklund ukuran
kinerja adalah pertumbuhan (growh),
menurut Widodo, secara fungsional kinerja organisasi tercermin dari baiknya
tingkat kinerja sumber daya manusia seperti tingginya tingkat produktivitas,
tingkat kreativitas dan inovasi, juga tercermin pada manajemen operasi produksi
seperti tingginya tingkat efesiensi, tingginya mutu produk dan mutu layanan,
disamping tingginya kinerja manajemen keuangan, seperti ketersediaan dana,
penggunaan dana yang efektif dan efesien.
Dari definisi tersebut
di atas, maka kinerja adalah merupakan hasil kerja pembangunan yang dicapai
oleh suatu organisasi, daerah dan atau negara selama periode tertentu. Menurut
Todaro kinerja pembangunan dapat dimaknai sebagai suatu proses multidimensi
yang melibatkan perubahan-perubahan dalam suatu struktur sosial, sikap dan
faktor kelembagaan, juga percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakadilan dan penghapusan kemiskinan absolut.
Setidaknya terdapat tiga
nilai dasar yang harus diperhatikan dalam kinerja pembangunan yakni:
(1) sustenance yakni kemampuan untuk
menyediakan kebutuhan dasar yang meliputi pangan, papan dan rasa aman; (2) self-estem yakni berupa kebutuhan untuk
dihargai dimana suatu perasaan akan dinilai atau martabat dan hormat terhadap
diri pribadi, sehingga tidak dimanfaatkan semata-mata sebagai alat untuk
mencapai tujuan orang lain; (3) freedom
from servitude yakni kebebasan untuk dapat memilih. Kebebasan disini
hendaknya tidak dipahami dalam makna politik atau ideologi, melainkan dalam
pengertian yang lebih mendasar mengenai kebebasan atau emansipasi dari
perampasan kondisi material kehidupan, dari penjajahan sosial atas manusia oleh
alam, kebodohan, penderitaan, lembaga-lembaga dan keyakinan-keyakinan dogmatik.
Sejak akhir tahun
1940-an pembangunan telah menjadi perhatian bagi penelitian akademik yang
penting terutama di negara-negara yang baru merdeka (post colonial states).
Sejak itu istilah pembangunan diasosiasikan dengan kondisi dan situasi ekonomi,
politik, dan perubahan sosial. Permasalahan klasik pembangunan adalah
kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang masih terus terjadi. Tantangan
studi pembangunan adalah menjembatani kesenjangan dan ketidakadilan,
mempromosikan penanganan konflik dengan jalan yang damai, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Berbagai teori
pembangunan yang muncul seolah-olah tak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi
masyarakat dunia. Teori-teori ekonomi sejak dari neo-klasik ekonomi
konvensional sampai liberalisasi dan deregulasi juga tidak membuat
bangsa-bangsa di dunia menjadi sejahtera seperti yang dicita-citakan. Teori
pembangunan terus mengalami perkembangan termasuk bertambah luasnya kajian dan
bidang ilmu yang memberikan kontribusi. Salah satunya adalah masuknya ilmu
filsafat, etika dan keagamaan dalam mengkaji teori dan praktek pembangunan.
Pembahasan tentang etika pembangunan dan peran nilai-nilai keagamaan semakin
relevan dengan kondisi bangsa yang belum begitu menggembirakan. Kebijakan
pembangunan masih lebih menekankan pada dimensi ekonomi dan fisik, belum
menyentuh dimensi lain terutama moralitas dan religiusitas.
Dalam kepustakaan menyangkut
konsep kinerja pembangunan, konsep kinerja pembangunan muncul seiring dengan
kajian tentang teori dan studi pembangunan. Diantara konsep kinerja pembangunan
yang paling sering disinggung adalah konsep modernisasi (Modernization
Concept), konsep ketergantungan (Dependency Concept). Kemudian
diikuti dengan berkembangnya konsep sistem dunia (World System Concept).
Sampai saat ini berbagai konsep dan paradigma yang muncul diseputar kinerja
pembangunan adalah variasi ketiga konsep tersebut.
Konsep terakhir yang
tidak dapat dilepaskan dari konsep dan paradigma pembangunan dan berbagai
pandangan di dalamnya adalah konsep pembangunan manusia. Menurut konsep ini,
tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang
memungkinkan masyarakat untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan
berumur panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh
keinginan untuk meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman
pembangunan menunjukkan bahwa kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
manusia tidak terjadi dengan sendirinya. Pengalaman-pengalaman tersebut
mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi dan pendapatan (wealth) hanya
merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan harus manusianya.
Pembangunan manusia bertujuan
untuk memperluas pilihan-pilihan manusia. Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama,
pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan,
pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan
yang telah dimiliki untuk bekerja, menikmati kehidupan atau aktif dalam
kegiatan budaya, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang
disebut sebagai sebuah konsep holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1)
peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan
pembangunan; dan (4) pemberdayaan manusia.
Pembangunan selalu
menunjukan pada manusia, dimana manusia adalah subjek pembangunan. Hal itu
berarti bahwa di satu pihak manusia adalah pelaksana, di lain pihak ia adalah
tujuan pembangunan. Suatu pembangunan akhirnya tidak akan berhasil jika tidak
memperhatikan para manusia pelakunya. Sebab pada manusia-lah pembangunan
benar-benar mempunyai akar yang kuat. Produksi hanya dapat dihasilkan dan dapat
diberikan secara kontinu, sepanjang manusia sanggup melaksanakannya.
Pembangunan secara struktural berarti membangun manusia pembangunan.
Di Indonesia,
pembangunan adalah sebuah istilah yang populer dalam kehidupan bangsa
Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Kata ini seakan-akan menjadi suatu
kekuatan besar yang memberikan energi dan motivasi kepada bangsa Indonesia
untuk meraih keberhasilan dan kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan.
Kebijakan pembangunan di Indonesia selama masa Orde Baru dirumuskan dalam
program Pembangunan Jangka Panjang (PJP), telah berhasil mengangkat angka
pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan pada saat itu.
Namun di sisi lain, keterlibatan masyarakat baik dalam proses maupun
pemanfaatan hasil, belum mencapai tingkatan yang merata (adil). Sebaliknya
proses dan hasil pembangunan masih sangat terkonsentrasi pada sekelompok kecil
masyarakat, terutama para pemilik modal.
Kondisi tersebut
dimungkinkan, mengingat model pembangunan berorientasi pada pencapaian
pertumbuhan ekonomi, dengan konsekuensi menjadikan uang (capital) sebagai yang paling pokok.
Konsekuensinya lembaga-lembaga non-ekonomi seperti lembaga politik dan sosial
juga harus digerakkan untuk mencapai tujuan ini. Jika ini bisa dilakukan maka
tahap lepas landas dan kemudian tahap konsumsi masal yang tinggi (sebagaimana
Rostow) akan dicapai. Namun demikian, langkah pertama seluruh proses yang
panjang ini dimulai dengan menghilangkan hambatan pada masyarakat tradisional,
agar masyarakat dapat memerdekakan dari nilai-nilai tradisinya, dan mulai
bergerak maju. Dengan demikian, kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses
maupun pemanfaatan hasil, terbatas pada mereka yang kuat secara ekonomi. Yang
kondisi ini menyebabkan keresahan sosial dan berujung pada krisis multidimensi
dan ancaman disintegrasi nasional.
Makna dan hakikat pembangunan
nasional di Indonesia yang dirumuskan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan
Negara) yang merupakan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan dan
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti ekonomi, politik, sosial
budaya dan pertahanan dan keamanan (hankam). Rangkaian pembangunan dalam
seluruh aspek tersebut diupayakan untuk mencapai tujuan nasional yang termaktub
dalam pembukaan UUD 1945 yakni kesejahtraan umum dan keadilan sosial.
Kebijakan dan program
pembangunan yang disusun setiap lima tahun (Repelita) sekali dengan GBHN
sebagai landasan operasionalnya telah “membius” dan menambah keyakinan
masyarakat akan kehebatan pembangunan. Hal ini diperkuat dengan
laporan-laporan, data statistik, dan dukungan dunia internasional yang menunjukkan
kesuksesan pelaksanaan pembangunan serta indikator sosial-ekonomi lainnya
semakin menambah kepercayaan bangsa Indonesia akan keampuhan dan “kesaktian”
kata pembangunan, meskipun dalam kenyataannya sebagian besar mereka hidup dalam
kesulitan dan kebodohan karena kemiskinan.
Pembangunan dikatakan
berhasil, manakala pertumbuhan ekonomi tinggi yang pada gilirannya akan
memberikan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) sehingga
keberhasilan tersebut akan dirasakan oleh setiap anggota masyarakat. Kenyataan
menunjukkan hal yang berbeda dari anggapan tersebut, badai krisis (ekonomi dan
politik) pada 1997 akhirnya membuktikan pelaksanaan pembangunan yang memihak
para konglomerat dan mengabaikan kekuatan masyarakat bawah sebagai sumber daya
yang sangat potensial dan merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia.
Pemihakan tersebut
sangat dimungkinkan karena paradigma pembangunan yang diterapkan lebih mengacu
pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang mengutamakan uang (capital) sebagai yang paling utama (capital
centered development). Pemihakan ini sebenarnya bertentangan dengan tujuan
pembangunan nasional yang menekankan pada pembangunan untuk seluruh dan
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pasal 33 UUD 1945. Tetapi dalam
prakteknya, porsi yang terbesar diberikan kepada swasta (konglomerat) sementara
BUMN terlebih lagi koperasi, hanya menjalankan peran yang marjinal.
Konsep pembangunan yang
berkembang di Indonesia dirumuskan melalui sebuah sistem yang biasa disebut
sistem ekonomi Pancasila. Secara konseptual, setidaknya terdapat 4 (empat) ciri
khas sistem ekonomi Pancasila yakni:
(1) peranan dominan koperasi bersama dengan perusahaan negara dan perusahaan
swasta. Semua bentuk badan usaha didasarkan pada asas kekeluargaan dan prinsip
harmoni dan bukan pada asas kepentingan pribadi dan prinsip konflik
kepentingan; (2) memandang manusia secara utuh. Manusia bukan semata-mata homo economicusi tetapi juga social man and religious man; (3) adanya
kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau kemerataan
sosial; dan (4) prioritas utama terhadap terciptanya suatu perekonomian
nasional yang tangguh.
Adapun panca ajaran
ekonomi Pancasila yang dapat diturunkan dalam setiap sila sebagaimana yang
telah dimasyarakatkan pada tahun 1981, yakni:
(1) roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; (2)
kehendak kuat rakyat akan adanya kemerataan sosial; (3) peroioritas
kebijaksanaan ekonomi pada pengembangan ekonomi nasional yang tangguh; (4)
koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional; (5) keseimbangan antara
perencanaan nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi di
daerah-daerah.
Secara yuridis
implementasi konsep pembangunan di Indonesia yang dirumuskan dalam sistem
ekonomi Pancasila ini selalu didasarkan pada hukum dan melaksanakan demokrasi
ekonomi. Demokrasi yang menjadi tujuan untuk tercapainya masyarakat adil dan
makmur material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Dengan demikian dalam
ekonomi Pancasila dan implementasi konsep pembangunnanya, yang primer atau yang
predominan adalah Pancasilanya sebagai falsafah hidup bangsa. Selain itu,
faktor-faktor sosio-kultural sebagai keperibadian bangsa juga bersifat
predominan dan menentukan nilai-nilai serta faktor-faktor ekonomi yang
dijunjung tinggi serta digunakan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Maqasid
al-Syariah
Secara bahasa maqasid
al-syariah terdiri dari dua kata yakni maqasid dan al-syar’iyah.
Maqasid adalah bentuk jamak dari maqshad yang berarti tujuan (goal).
Syar’iyah secara bahasa berarti jalan
menuju sumber air, dalam pengertian ini dapat pula dikatakan sebagai jalan
menuju sumber pokok kehidupan.
Diantara beberapa prinsip yang mengatur tentang konsep maqashid al-syariah, misalnya
sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Anbiya’ (21) ayat 107. Ayat ini memiliki kandungan bahwa segala ketentuan
syariat yang diturunkan
oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw. bertujuan untuk membawa manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ayat ini juga mengindikasikan tujuan syariat
untuk mengatur kemaslahatan yang ada pada kehidupan manusia. Bahkan melalui ayat ini juga dipahami adanya
perlakuan yang sama antara sikap
Allah kepada Muslim dan non-Muslim dalam hal pemberian rahmat.
Disamping
itu, ayat-ayat dalam al-Qur’an juga
menunjukkan adanya konsep tadrijiy (gradual) dalam menetapkan
syariat Islam, seperti ayat-ayat yang menunjukkan proses haramnya riba.
Graduasi pengharaman riba tersebut
mempertimbangkan kebiasaan umat yang ada saat itu, sehingga perubahan tidak dilakukan dengan serta merta. Hal
ini menunjukkan bahwa syariat Islam
begitu memperhatikan kemaslahatan manusia secara sosiologis dan psikologis.
Beberapa
ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan misalnya dalam merumuskan konsep maslahat
ini misalnya: dalam hal keagamaan yakni
Q.S. al-Dzariat (51): 56, Q.S. Ali Imran (3): 103. Dalam hal memelihara jiwa
yakni Q.S. al-Nisa’ (4): 29-30, Q.S. al-Ma’idah (5): 32, Q.S. al-Nisa’ (4): 92.
Dalam hal memelihara akal dan berpendidikan yakni Q.S. al-Ma’idah (5): 90, Q.S.
ar-Rahman (55): 33. Dalam hal keturunan yakni kelangsungan hidup manusia dari
generasi kegenerasi yakni Q.S. al-Nisa’(4) : 3, Q.S. an-Nur (24): 32, Q.S.
ar-Ruum (30) : 21. Dalam hal kehidupan yang layak dan sejahtera yakni Q.S.
al-Qashash (28): 77, dan Q.S. al-Baqarah (2): 201.
Sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, as-Sunnah juga sering digunakan untuk
melegitimasi dukungan
Nabi Muhammad saw terhadap konsep maslahat adalah sabda Nabi yang juga digunakan oleh
al-Thufi sebagai dalil teori maslahat yang ia ciptakan. Hadis
tersebut artinya “Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri radiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan (mudarat) yang
mencelakakan diri sendiri dan orang lain“.
Selain kedua sumber hukum
di atas yang disepakati oleh para ulama kekuatan hujjahnya (almuttafaq
‘alaihima), terdapat juga beberapa ijtihad sahabat yang menjadi landasan kuat bagi maslahat dan secara rasional
mengindikasikan bahwa maslahat pernah memainkan peranan
yang cukup signifikan dalam sejarah Islam.
Beberapa kebijakan-kebijakan yang dituangkan para sahabat Nabi yang
mengindikasikan peran pertimbangan maslahat, diantaranya adalah: pertama, kebijakan yang ditempuh oleh
hasil Ijtihad Abu Bakar untuk
mengumpulkan al-Qur’an yang terpencar. Ijtihad ini atas inisiatif Umar yang
berkeyakinan dan berhasil meyakinkan Abu
Bakar bahwa pengumpulan mushaf akan membawa maslahat. Kedua, hasil ijtihat Umar menyangkut talak, hukuman bagi pencuri
dan pembagian zakat kepada muallaf. Dimana hasil Ijtihad Umar tentang
ketiga hal tersebut sering dijadikan rujukan dalam penetapan maslahat.
Ketiga, hasil ijtihat Umar
menyangkut pembagian harta rampasan perang (ghanimah)
dan hukuman bagi pelaku zina, dimana Umar dalam pembagian ghanimah ini, Umar lebih memilih untuk tidak melaksanakan ketentuan
dalam al-Qur’an yakni Q.S. al-Anfal ayat 41 yang menyatakan bahwa ghanimah
itu, setelah dikurangi seperlima untuk kegiatan keagamaan dan sosial, maka
sisanya empat perlima dibagikan kepada mereka yang ikut berperang, dalam hal
ini Umar lebih memilih untuk memberikan kepada baitul mal guna
perbendaharaan negara. Menyangkut hukuman bagi
pelaku zina, telah menjadi ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw bahwa
hukuman yang dikenakan kepada seorang laki-laki pelaku zina yang masih lajang
adalah 100 kali cambuk dan kemudian diasingkan selama satu tahun. Pada waktu
Umar, pelaku zina tidak diasingkan, karena dikhawatirkan akan bergaul dan
terpengaruh dengan musuh-musuhnya.
Sementara itu maqasid al-syariah menurut
al-Fasi yakni tujuan syariah dan rahasia-rahasia dibalik penetapan hukum oleh
Allah. Maksudnya disini adalah tujuan-tujuan umum (maqasid al-ammah). Sedangkan rahasia hukum adalah maqasid al-khassah atau al-juz’iyah (tujuan khusus dari
penetapan suatu hukum). Tujuan umum syariah menurut al-Fasi yakni membangun
dunia, menjaga sistem kehidupan dan keutuhannya sesuai dengan kebutuhan manusia
serta melaksanakan apa yang ditugaskan kepada mereka seperti berbuat adil,
keselamatan akal, pekerjaan, mendistribusikan kekayaan dan lainnya.
Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan tujuan umum dalam syariah yakni makna dan hikmah yang disimpulkan dari
semua atau sebagaian situasi penetapan hukum yang tidak hanya dapat disimpulkan
dalam bentuk khusus dari hukum-hukum syariah. Ibnu ‘Asyur selanjutnya
menjelaskan bahwa al-maqasid al-ammah
antara lain meliputi perlindungan terhadap aturan, menarik kemaslahatan,
mencegah kerusakan, menegakkan kebersamaan antara umat beragama, menjadikan
umat lebih berdaya dalam bidang ekonomi dan lainnya. Sedangkan al-mawasid al-khassah meliputi cara-cara
legal untuk mewujudkan kemaslahatan umat, atau memelihara kemaslahatan umum
dalam interaksi khusus. Termasuk didalamnya semua hikmah penetapan berbagai
hukum dalam transaksi ekonomi.
Terkait dengan hal ini, al-Syatibi membagi ijtihad menjadi dua bentuk,
yakni ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi. Dalam kajian al-maqasid ijtihad istinbati dilakukan untuk mengetahui secara teliti inti masalah
yang dikandung oleh nash. Inti permasalahan ini selanjutnya dijadikan tolak
ukur terhadap suatu kasus yang akan ditentukan hukumnya. Kemudian untuk
menerapkan inti masalah (ide hukum) yang terdapat dalam nash itu kepada suatu
permasalahan yang konkrit, diperlukan suatu bentuk ijtihad lain, yakni ijtihad tatbiqi atau disebut juga dengan tahqiq al-manat (ilat). Ijtihad seperti
inilah yang berperan penting dalam mengantisipasi perubahan sosial disepanjang
zaman dan tempat.
Selanjutnya, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan
dengan al-maqasid. Kata-kata itu
ialah maqasid al-syariah, al-maqasid
al-syar’iyyah, dan maqasid min syar’I
al-hukm. Meskipun demikian menurut Asafri, walau dengan kata-kata yang
berbeda mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh
Allah swt. Apabila ditelaah pernyataan al-Syatibi tersebut, dapat dikatakan
bahwa kandungan al-maqasid atau
tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia.
Dimana al-Syatibi
mendefinisikan maslahat sebagai sesuatu yang dipahami untuk memeliharanya sebagai suatu hak hamba,
dalam bentuk meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan yang untuk
mengetahuinya tidak didasarkan pada akal semata, jika Allah tidak memberikan
penegasan terhadapnya, bahkan menolaknya, maka kaum muslimin sepakat menolaknya
sebagai kemaslahatan.
Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa menurut al-Syatibi bahwa yang dimaksud
dengan al-maslahah dalam pengertian syari’ (Allah swt) mengambil manfaat dan
menolak kemafsadatan yang tidak hanya berdasarkan kepada akal sehat semata,
tapi dalam rangka memelihara hak hamba.
Al-Syatibi menyatakan
bahwa tidak semua kemaslahatan duniawi dapat diketahui oleh akal, namun hanya
sebagian, dan lainnya diketahui melalui syariat. Jika akal dapat mengetahui
segala kemaslahatan duniawi secara mutlak, syariat hanya berfungsi sebagai
pedoman ukhrawi, padahal syariat bermaksud menegakkan keduanya, kehidupan
duniawi dan ukhrawi.
Sehubungan dengan hal
inilah, justifikasi pendapat al-Syatibi patut dikemukakan bahwa akal itu tidak
dapat menentukan baik dan jahatnya sesuatu, maksudnya adalah akal tidak dapat
mengatasi syariat dalam menilai baik jahatnya sesuatu sehingga akal harus
tunduk kepada wahyu, akal tidak memiliki lahan berfikir kecuali dalam hal yang
telah diberikan melalui wahyu. Dengan kata lain akal tidak boleh menjadi subjek
atas syariat. Disini sebenarnya dapat dipahami bahwa al-Syatibi dalam
membicarakan maslahat memberikan dua dlawabith al-maslahat (kriteria
maslahat) sebagai batasan: Pertama,
maslahat itu harus bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang
akan membuatnya tunduk pada hawa nafsu. Kedua,
maslahat itu bersifat universal (kulliyah) dan universalitas ini tidak
bertentangan dengan sebagian juziyat-nya.
Sedangkan definisi
maslahat secara terminologi atau istilah syarak telah banyak dikemukakan oleh para ulama ushul. Di
antaranya adalah: Imam Ghazali, memberikan
definisi maslahat sebagai sebuah ungkapan yang
menunjukkan adanya (usaha) mengambil manfaat dan
menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak. Ungkapan
al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu kemasalahatan menurut manusia dan kemaslahatan menurut syari’at. Kemasalahatan
menurut manusia ukurannya adalah
akal dan perasaan, sedangkan kemaslahatan menurut syari’at ukuranya
adalah wahyu.
Dalam kitabnya al‑Muwafaqat, al-Syatibi menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya
mengenai al-maqasid. Dalam pembahasannya, Syatibi membagi al-maqasid
dalam dua bagian penting, yakni maksud syari’ (qashdu asy-syari’) dan
maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf) yang mengacu kepada suatu pertanyaan:
“Apakah sesungguhnya maksud Tuhan dalam menetapkan hukum?” Al-Syatibi ketika berbicara
mengenai maslahat dalam konteks al-maqasid mengatakan bahwa tujuan pokok
pembuat undang-undang (Syari’) adalah tahqiq masalih al-khalqi (merealisasikan kemaslahatan
makhluk), dan bahwa kewajiban-kewajiban syari’at dimaksudkan untuk
memelihara al-maqasid.
Menurut Syatibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada
lain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalbul
mashalih wa dar’u al-mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah,
aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu
sendiri. Syatibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu
dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsinat (tertier,
luxs).
Imam al-Qarafy, salah
seorang penganut madzhab Maliki pernah menegaskan bahwa aturan
yang wajib diperhatikan oleh ahli fiqih dan fatwa
ialah memperhatikan perkembangan yang terjadi dari hari ke hari, sambil memperhatikan tradisi dan kebiasaan, dengan perubahan
waktu dan tempat. Senada dengan al-Qarafy, Yusuf Qardawi juga menjelaskan bahwa di antara hukum-hukum hasil ijtihad terdapat hukum yang landasannya
kemaslahatan temporal, yang bisa berubah menurut
perubahan waktu dan keadaan, berarti harus ada perubahan
hukum yang menyertainya.
Senada dengan hal
tersebut menurut al-Syatibi, seorang mujtahid
tidak boleh menerapkan hukum yang telah digalinya dari
al-Qur’an atau Sunnah sebagaimana adanya. Ia berkewajiban memberikan
pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitari objek hukum. Apabila hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya
itu tidak cocok diterapkan pada objek
hukum karena penerapan hukum itu membawa kemudaratan, maka mujtahid itu harus mencarikan hukum lain yang lebih sesuai, sehingga kemudaratan bisa dihilangkan dan kemaslahatan
dapat tercapai. Teori inilah yang dikenal
dengan sebutan nazariyyah i’tibar al-ma’al.
Oleh Tim Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI)
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta kemaslahatan ini didefinisikan sebagai
segala bentuk keadaan, baik material maupun non material, yang mampu
meningkatkan kedudukan manusia sebagai mahluk yang paling mulia.
Menurut Tim ini, dalam al-Qur’an maslahat banyak disebut dengan istilah
manfaat, atau manafi’, istilah lain
yang sering digunakan juga adalah hikmah,
huda, barakah yang berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah di dunia
maupun di akhirat, dengan demikian menurut Tim P3EI maslahat mengandung
pengertian kemanfaatan dunia dan akhirat.
Dari
beberapa pendapat para ahli ushul dan
ekonomi di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan maslahat adalah
perolehan kemanfaatan dan penolakan terhadap kesulitan terhadap hamba (terutama
manusia), dan hal itu dipandang sebagai tujuan dari pembentukan syariat. Namun
demikian al-Raysuni mengakui sangat sulit
memberikan definisi yang mendetail mengenai maslahat. Karena
definisi ini juga akan memberikan gambaran pola
pikir orang yang mengartikannya. Sebagian orang diejek sebagai seorang reformis hanya karena seringkali menganjurkan penggunaan
maslahat, aktivitas sosialnya juga banyak
dikritisi. Oleh karena itu untuk mendapat pemahaman yang benar dan tepat terhadap pengertian maslahat, menurut
al-Raysuni harus melihat dari berbagai segi dan sudut
pandang, yakni:
pertama, sebagai permulaan akan lebih baik jika melihat pengertian
maslahat secara sederhana dan universal,
yaitu dengan mengatakan bahwa maslahat adalah segala sesuatu yang mengandung
kebaikan dan manfaat bagi sekelompok manusia dan juga
individu. Kedua, selanjutnya dilihat dari sisi lain dan ditemukan wajah lain
dari maslahat yaitu mencegah mafsadat.
Oleh karena itu, dalam mencapai kemaslahatan harus dihindarkan segala kerusakan baik sebelum dan sesudahnya,
atau yang mengikut dan menyertainya.
Ketiga, selanjutnya ditemukan bahwa kemaslahatan yang dibutuhkan manusia dan
bermanfaat bagi mereka ternyata sangat beragam
bentuk dan coraknya. juga akan temukan bahwa
maslahat dan mafsadat mempunyai tingkatan berbeda
secara kualitas dan kuantitas. Keempat,
maslahat bila dilihat dari sudut pandang waktu yang
panjang, ternyata karena perkembangan zaman dapat juga berubah menjadi sesuatu
yang merusak atau sebaliknya. Dan terakhir,
maslahat juga perlu dipandang dari sisi keumumannya
dan kekhususannya. Bisa saja dianggap
maslahat bagi orang-orang elit dan menjadi mafsadat bagi orang-orang awam.
Dari
penjelasan al-Raysuni tersebut dapat dipahami bahwa definisi yang beragam dari maslahat juga akan mengarah pada terdapatnya kontradiksi antar kemaslahatan.
Dengan kata lain, terdapat kemaslahatan yang kita yakini
dan anggap benar, namun dalam perjalanannya justru menyingkirkan kemaslahatan lain, atau malah terjerumus dalam mafsadat.
Dalam kondisi ini, menurut al-Raysuni semua orang harus meletakkan ragam
pendapat tersebut pada porsinya
masing-masing, kemudian dianalisis dari segala sudut pandang yang telah disebutkan. Baru akan
diketahui maslahat yang harus didahulukan dan maslahat yang diahirkan. Menurut al-Raysuni, proses inilah yang akan mengantarkan pada
pengertian maslahat yang benar.
Selanjutnya menurut
Ramadhan al-Buthy, sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, terdapat beberapa
kriteria maslahat yang harus dipegang oleh seorang mujtahid, diantaranya
adalah: (1) mempriorotaskan tujuan-tujuan syarak, (2) tidak bertentangan dengan
al-Qur’an, (3) tidak bertentangan dengan Sunnah, (4) tidak bertentangan dengan
prinsip qiyas, dan (5) memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar. Dalam
hal ini nampak bahwa salah satu faktor
terjadinya perbedaan, tidak terkecuali dalam merumuskan
konsep maslahat ini, adalah perbedaan dalam menilai realitas yang oleh para fuqaha diidentifikasi sebagai masalah umum
atau dikenal dengan istilah tahqiqul manath.
Menilai Kinerja Pembangunan dalam Perspektif al-Maqasid
Dalam penjelasan sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa
hakikat al-maqasid dari segi
substansi adalah kemaslahatan. Maslahat atau al-mashlahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat. Pandangan para ahli ushul tersebut di atas setidaknya juga
dapat dijadikan landasan berpijak bagi para ekonom untuk menetukan kriteria
kemaslahatan, meskipun untuk hal ini, kita tidak dapat menarik garis yang tegas
menyangkut perbedaan antara ulama ahli ushul
disatu sisi dan ekonom disisi lain, karena sering terjadi, bahwa seorang ekonom
muslim juga berkedudukan sebagai seorang ahli ushul, dan demikian sebaliknya.
Al-Qur’an dan as-Sunnah juga telah menetapkan beberapa variabel
penting yang sangat menentukan kesejahteraan atau kesengsaraan manusia. Ini
misalnya dilakukan melalui suatu hubungan sebab akibat pada sifat jika A maka
B, dimana A merupakan norma atau lembaga yang diperlukan, dan B merupakan
kontribusi yang dapat diberikan A kepada kesejahteraan semua mahluk hidup
sekarang, maupun di masa yang akan datang. Sama seperti upaya untuk menjelaskan
fenomena sebelumnya menghasilkan proposisi, teori-teori dan hukum-hukum,
hubungan antara al-maqasid dan
berbagai cara perilaku individu dan kelompok maupun saringan, motivasi,
restrukturisasi dan peranan pemerintah yang ditunjukkan di dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah juga dapat menghasilkan proposisi yang berharga. Dan semua proposisi
tersebut mesti diuji sehingga menghasilkan teori-teori dan hukum-hukum.
Sesuai dengan diskusi menyangkut al-maqasid pengayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan
menjadi fokus dari semua upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan
maupun cara, sangat berhubungan dengan dan tergantung pada proses sebab akibat
berantai. Realisasi tujuan ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan
realisasi tujuan. Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah mengapa
al-Syatibi dan para ulama lainnya menempatkan keimanan, jiwa, akal, keturunan
dan kekayaan dalam suatu urutan yang berbeda secara radikal dari ilmu ekonomi
konvensional, dimana keimanan tidak memiliki tempat dan jiwa, akal dan
keturunan meskipun dianggap penting dikesampingkan keruang variabel eksogen.
Sehingga, itu tidak mendapatkan perhatian yang layak.
Keimanan ditempatkan di urutan pertama
karena memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi keperibadian,
yakni perilaku, gaya hidup, selera dan preferensi manusia, dan sikap terhadap
manusia, sumber daya dan lingkungan. Ini sangat mempengaruhi sifat, kuantitas
dan kualitas kebutuhan materi maupun kebutuhan psikologi juga metode
pemuasannya. Keyakinan ini mencoba meningkatkan keseimbangan antara dorongan
material dan spiritual, meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial, dan
mencegah berkembangnya anomie (suatu
kondisi ketiadaan standar moral).
Tetapi, keimanan saja tidak menghilangkan ketidakadilan sistem
pasar. Akan menjadi tidak realistis untuk mengasumsikan bahwa semua individu
sadar secara moral pada masyarakat manusia. Selanjutnya tiga tujuan lainnya
(jiwa, akal dan keturunan) berhubungan dengan manusia, yang kesejahteraannya
merupakan tujuan utama dari syariah. Ini mencakup kebutuhan fisik, moral,
psikologi dan akal untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Jadi dengan memasukkan jiwa, akal dan keturunan dalam formulasi
yang akan ditentukan, adalah mungkin untuk menciptakan tingkat kepuasan atau
kesejahteraan yang seimbang dari berbagai kebutuhan manusia. Hal ini juga dapat
membantu dalam menganalisa variabel-variabel ekonomi penting, seperti misalnya
konsumsi, tabungan dan investasi, sedemikian rupa sehingga membantu mewujudkan
kesejahteraan, yakni sesuatu yang tidak dilakukan oleh ilmu ekonomi
konvensional karena pengagungan yang berlebihan terhadap pasar dan
hasil-hasilnya.
Memang, sebagian orang mungkin akan keberatan dengan mengatakan
bahwa dimasukkannya keimanan, kehidupan, akal dan keturunan akan menjadikan
ilmu ekonomi pembanguanan dalam Islam menjadi tidak dapat dikelola (unmanageable). Menurut Chapra hal
tersebut tidak meski demikian karena kepentingan utama dari seorang ahli
ekonomi bukan aspek-aspek transendental dalam keimanan, tetapi lebih merupakan
dampak dari sudut pandang dunia, nilai-nilai dan lembaga-lembaganya terhadap
individu dan masyarakat dan terhadap variabel-variabel ekonomi.
Karena itu, beberapa rekomendasi yang diberikan Chapra terkait
dengan tugas yang perlu dilakukan ilmu ekonomi Islam secara signifikan yakni
mempelajari perilaku sebenarnya dari individu dan kelompok, perusahaan dan
pemerintah, menunjukkan jenis perilaku yang diperlukan bagi pencapaian tujuan
dan menjelaskan mengapa pranata ekonomi yang berbeda berperilaku sebagaimana
mereka lakukan, dan bukan dengan cara yang seharusnya mereka lakukan serta
menyarankan suatu strategi yang peraktis untuk perubahan sosial ekonomi dan
politik yakni suatu strategi yang dapat membantu mengarahkan semua perilaku
pemain di pasar mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya sedekat mungkin
dengan apa yang dibutuhkan bagi pencapain tujuan.
Namun demikian juga akan dipertimbangkan beberapa hal yang terkait
dengan ilmu pengetahuan, obyek yang tidak terlihat dan pertimbangan nilai
yakni: pertama, sebagaimana yang
dikatakan Chapra bahwa mungkin dapat
dikatakan bahwa sebagian besar dari al-Qur’an dan as-Sunnah berhubungan dengan
obyek yang tidak terlihat, seperti Allah, akhirat dan ketenangan jiwa. Semua
ini tidak dapat diamati dan oleh karena itu tidak dapat menjadi dasar dari ilmu
pengetahuan. Hal ini bukanlah sebuah argumentasi yang sahih karena meskipun
obyek-obyek ini tidak terlihat, dampaknya terhadap perilaku manusia dari
variabel-variabel ekonomi dapat diamati.
Kedua, bahwa al-Qur’an dan
as-Sunnah memberikan norma-norma mengenai bagaimana pranata ekonomi harus
berperilaku dan kebijakan apa yang harus digunakan untuk mewujudkan kerjasama
yang dimaksudkan oleh Islam. Ketiga,
dapat dikatakan bahwa teori-teori yang diturunkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
dan literatur Islam lainnya tidak selalu dapat diuji, karena besarnya
kesejahteraan yang ada sekarang ini di dunia Islam dan cara bagaimana
seharusnya kaum muslim berperilaku dan cara sebenarnya mereka berperilaku.
Karena itu, pengujian mungkin dilakukan dengan bantuan catatan sejarah di dalam
masyarakat muslim maupun masyarakat non muslim.
Dengan demikian pembangunan secara otomatis didefinisikan oleh al-maqasid. Walaupun pertumbuhan ekonomi
penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan manusia yang baik (fallah). Hal ini harus pula diikuti oleh
peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap individu, keadilan,
perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai dengan hal ini,
syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan spiritualisme dan
persaudaraan serta keadilan sosial ekonomi dalam daftar al-maqasid. Namun demikian, masalah sosial dan ekonomi akan masih
merupakan impian manakala sumber-sumber langka yang ada pada negara-negara
muslim tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia seluruhnya melalui
pemberantasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan umum dan penurunan
ketidakseimbangan pendapatan dan kesejahteraan. Tujuan dari pemenuhan kebutuhan
inilah yang harus direalisasikan melalui pembangunan kemampuan individu,
kesempatan kerja dan kemandirian.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan yang
berorientasi pada manusia para ahli ekonomi Islam telah sepakat bahwa al-maqasid dapat dijadikan tolak ukur
dalam menilai keberhasilan pembangunan, karena itu untuk formulasi dan
pengembangan konsep al-maqasid ini,
beberapa indikator yang telah tersusun dalam konsep misalnya oleh UNDP (United Nation Development Program) dan
pertimbangan-pertimbangan keagamaan, sosial dan budaya juga akan
dipertimbangkan untuk menentukan ketercapaian pengukuran dengan menggunakan
konsep al-maqasid.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kemaslahatan dalam
bingkai terwujudnya tujuan al-maqasid merupakan
suatu konsep yang sangat penting dalam studi ekonomi pembangunan yakni dalam
menilai kinerja pembangunan. Dalam konteks kontemporer konsep ini menjadi
sangat penting manakala pengukuran kinerja pembangunan manusia hanya dilihat
pada aspek material belaka.
Kompleksitas masalah
yang tidak dapat lagi diselesaikan dengan menggunakan metode ushul konvensional
yang telah sangat jauh tereduksi dari bentuk dan format asalnya, maka dengan
menggunakan pendekatan al-maqasid al-Syatibi
diharapkan akan dapat dirumuskan secara logis, humanis dan seimbang, karena itu
menjadi perlu juga untuk dilihat unsur-unsur substansial yang paling mendasar
dari pendekatan tersebut yang dapat dirumuskan menjadi rumusan yang sistematis
dan aplikatif dan sesuai untuk situasi masa kini. Jelas, hal ini berbeda dengan
situasi ketika al-Syatibi merumuskan pendekatannya itu. Oleh karenanya usaha untuk menyusun indikator kinerja
pembangunan demi menjamin keadilan dan kesejahteraan harus
terus berjalan.
Nilai-Nilai
Kemaslahatan Dalam Merumuskan Kinerja Pembangunan
Sebenarnya pembahasan mengenai maslahat dalam merumuskan kinerja
pembangunan ekonomi dalam Islam bukanlah hal baru. Ia misalnya telah ada
bersamaan dengan berkembangnya kajian ushul fiqh. Persoalannya kemudian,
para ekonom konvensional atau Barat liberal tidak mengakui al-maqasid sebagai tujuan pembangunan, dalam kata lain
kurang mengakui peranan wahyu dan keimanan sebagai sebuah dasar ilmu
yang layak dipertahankan. Dan pada gilirannya diskursus pembangunan selanjutnya
tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk pencapaian non-positivisme. Dalam
kondisi seperti ini akhirnya lahir banyak pemikir kritis yang mulai bersikap
bahkan menolak konsep pembangunan.
Al-Syatibi dan para pemikir muslim lainnya meletakkan iman di awal
daftar al-maqasid, karena dalam
persfektif Islam, iman adalah ramuan terpenting untuk kesejahteraan manusia.
Iman (baca: agama) meletakkan hubungan manusia pada suatu dasar yang tepat,
memungkinkan manusia dapat berinteraksi dengan sesama dalam suatu sikap yang
seimbang dan saling memperhatikan untuk membantu memantapkan kesejahteraan
seluruh manusia. Ia memberikan suatu filter moral untuk mengalokasikan dan
mendistribusikan sumber daya sesuai dengan aturan keadilan sosial-ekonomi dan
suatu sistem motivasi yang memberikan kekuatan yang langsung mengarah pada
tujuan pemenuhan kebutuhan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.
Tanpa memasukkan dimensi keimanan, tanpa memandang apakah
keputusan-keputusan tersebut terkait dengan urusan rumah tangga, bidang usaha,
pasar atau bidang lainnya tidak mungkin untuk merealisasikan efesiensi dan
keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya. Untuk mengurangi
ketidakseimbangan dan ketidakstabilan perekonomian secara makro, atau untuk
mengatasi kejahatan, percekcokan, dan berbagai gejala anomi yang berbeda.
Al-Syatibi selanjutnya meletakkan harta di akhir daftar al-maqasid hal ini dikarenakan ia bukan
merupakan tujuan itu sendiri, ia hanya sebuah alat, meskipun sangat penting dan
pokok dalam merealisasikan kesejahteraan. Jika harta benda adalah tujuan maka
ia akan mengarah pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan berdampak terhadap
lingkungan yang akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan manusia. Ketiga
tujuan yang lain (hidup, akal dan keturunan) terkait dengan manusia itu sendiri
yang kesejahteraannya merupakan tujuan utama syariah. Segala sesuatu yang
diperlukan untuk memperkaya ketiganya harus dianggap sebagai sebuah “kebutuhan”
dan segala sesuatu yang mungkin dilakukan untuk memantapkan pemenuhannya.
Realisasi al-maqasid
juga membutuhkan sumber-sumber daya, yang pengumpulannya tidak mungkin
dilakukan tanpa menggunakan semacam realokasi. Tanpa realokasi, menyebabkan
terjadinya defisit keuangan, ekspansi kredit, dan utang eksternal yang menambah
tekanan pada inflasi neraca pembayaran, depresiasi mata uang dan beban jasa
utang.
Jika realokasi yang diperlukan untuk mewujudkan al-maqasid tidak hanya dapat dihasilkan oleh operasi kekuatan pasar
atau perencanaan sentral, juga harus memiliki mekanisme filter yang disetujui
secara sosial. Menurut Chapra hal ini dapat diatasi oleh sebuah sistem moral,
dimana Islam telah memilikinya dan akan efektif jika hal tersebut diamalkan.
Sistem moral tersebut terwujud dalam pengakuan bahwa manusia
adalah khalifah Allah di bumi, pengakuan terhadap kepentingan pribadi dan
keinginan mendapatkan keuntungan, persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi.
Untuk mewujudkan terealisasinya sistem moral tersebut dalam perekonomian, maka
dibutuhkan suatu uapaya untuk merestrukturisasi sistem ekonomi yang terkait
dengan: (1) transformasi faktor manusia dalam pembangunan untuk memungkinkan
memainkan peran yang aktif dan konstruktif; (2) mengurangi pemusatan dalam
kepemilikan alat-alat produksi; (3) menghilangkan atau meminimalkan konsumsi
yang sia-sia dan tidak perlu pada tingkat pribadi dan masyarakat agar sumber
tersebut disalurkan pada tujuan-tujuan sosial; (4) melakukan reorganisasi
investasi guna memungkinkan sistem produksi yang dapat memenuhi tuntutan
ekonomi berdasarkan kebutuhan, meningkatkan kesempatan untuk mandiri dan
pekerjaan serta memperluas surplus ekspor; (5) melakukan reformasi sistem
keuangan sesuai dengan ajaran Islam guna memungkinkan memainkan peranan penting
dalam perwujudan al-maqasid.
Restrukturisasi seperti itu, tidak mungkin tanpa peran aktif dan
positif dari pemerintah, namun bukan dalam bentuk totalisme seperti dalam
sistem sosialisme. Peranan ini lebih merupakan peran komplementer, baik dalam
pengawasan maupun dalam menjaga kebebasan individu dan abolisi terhadap hak-hak
milik.
Sebaliknya peranan ini juga harus diwujudkan dalam penciptaan lingkungan sehat
dan pembangunan lembaga-lembaga tepat fungsi, dan dapat menjamin kehidupan yang
lebih baik.
Syariah Islam pada dasarnya telah memberikan unsur yang penting
terkait dengan starategi dalam mewujudkan terciptanya tujuan al-maqasid, namun tidak mengungkapkan
langkah kebijakan yang rinci, hal ini memang harus dikembangkan, mungkin dengan
mengangkat pengalaman dari negara-negara lain terkait dengan kebijakan
tertentu, dengan tetap menjamin kontribusi positif pada perwujudan al-maqasid dan tidak mengakibatkan
peningkatan berlebihan terhadap klaim-klaim sumber daya, karena hal tersebut
dapat mengakibatkan ketimpangan. Kebijakan-kebijakan tersebut harus tetap
melalui mekanisme filter dari nilai Islam.
Disisi lain dalam diskursus pemikiran Islam terdapat anggapan
bahwa metodologi klasik kurang menghiraukan kemampuan manusia dalam merumuskan
konsep kemaslahatan walau untuk manusia itu sendiri. Konsekuensinya manusia
tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fiqh klasik,
kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf). Pemberhalaan
teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi klasik ini.
Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak
berkulminasi pada teks adalah ilegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh
cara pemecahan masalah.
Karenanya bagi kelompok yang berpandangan pentingnya penyerapan
nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat, kondisi sosio-kultural dan historis yang
ada dalam suatu masyarakat harus menjadi pertimbangan pokok dalam memahami teks
dalam membaca kemaslahatan. Umat Islam harus berani mencari formula baru dalam
memahami teks dan terus mengembangkannya sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Pada dasarnya teks pasti memiliki hubungan yang erat dengan asbab al-nuzul juga
asbab al-wurud. Dengan tidak menghancurkan kebudayaan agama yang telah
ada, maka bentuk kebudayaan baru yang datang harus disofistikasikan berdasarkan
nilai-nilai luhur agama. Sebab, proses penerimaan wahyu dan penyebarannya
terhadap para sahabat serta generasi setelahnya berjalan secara dinamis, bukan
proses yang statis.
Sebenarnya merumuskan konsep maslahat dalam menilai kinerja
pembangunan ekonomi bukanlah persoalan mudah. Asumsi ini setidaknya dapat
dilihat dari dua hal: Pertama,
kondisi obyektif bangsa Indonesia yang pluralistik harus dipertimbangkan,
jangan sampai menimbulkan kontra produktif yang merugikan umat Islam sendiri. Kedua, pembenahan terhadap konsepsi,
strategi dan model pembangunan mutlak dilakukan. Ini adalah upaya agar sistem
poerekonomian yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dan
sesuai dengan karakteristik hukum dan ide dasar sistem perekonomian nasional
yang dicita-citakan.
Sementara itu, melalui peran yang dimainkan oleh para ulama
melalui produk fiqih yang ada di Indonesia dan dapat dijumpai formulasinya
dalam kitab-kitab fikih klasik, konsepsi dan perumusan terhadap konsep
kemaslahatan banyak dibangun berdasarkan ‘urf Timur
Tengah. Atas dasar itulah ada bagian-bagian tertentu dari penafsiran konsep
maslahat yang mendapat sambutan kurang hangat dari masyarakat karena dianggap
kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Hasbi sebagaimana dikutip Syaukani
mengatakan bahwa seharusnya masyarakat muslim Indonesia mengambil mana yang
lebih cocok dengan nusa dan bangsa ini, yaitu syariat Islam yang dapat
menampung kemaslahatan masyarakat dan menjadi pendiri utama bagi pembangunan di
tanah air.
Relativitas pemaknaan maslahat yang terjadi selama ini cenderung
menjadikan maslahat sebagai sebuah nilai yang diperebutkan. Pemikiran Islam
konservatif dan liberal seringkali mempertentangkan aplikasi maslahat.
Akibatnya, maslahat dijadikan alat legitimasi semua pemikiran yang mereka
kembangkan. Hal ini yang penulis anggap melatarbelakangi perlunya pemberian
batasan yang jelas tentang penggunaan maslahat sebagai sebuah dalil hukum dan
sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam perekonomian.
Batasan yang selama ini dijabarkan oleh para ulama, seperti
al-Syatibi menurut penulis berkaitan dengan maslahat dalam artian yang sangat
luas. Padahal sebagaimana diungkap Syaltut, maslahat sama seperti ijtihad yang
selalu berubah menyesuaikan kondisi waktu dan zaman.
Itu artinya, batasan untuk maslahat juga perlu dibuat lebih spesifik sesuai
dengan kebutuhan dimana maslahat tersebut akan digunakan. Dalam konteks
Indonesia, maka batasan maslahat yang berbasis budaya Indonesia mutlak untuk
direalisasikan.
Usaha memberikan batasan maslahat dalam konteks Indonesia juga
telah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Jaringan Islam Liberal
(JIL). MUI melalui fatwa kriteria maslahat, sedang JIL melalui pemikiran dan
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat. Hanya saja dalam pandangan
penulis, batasan yang diberikan keduanya masih belum merepresentasikan dialog
yang seimbang antara maslahat sebagai bagian dari hukum Islam dan kondisi
realitas Indonesia serta maslahat sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam
ekonomi. Dan selama ini masih terkesan aspek hukum dalam perumusan kemaslahatan
sangat jauh bahkan berkorelasi negatif dengan pemahaman dalam hal konsepsi
pembangunan ekonomi yang diukur dengan pencapaian-pencapaian ekonometrik
positivistik. Padahal dalam konteks kinerja pembangunan hal tersebut ibarat
satu keeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Substansi nilai yang berasal
dari perumusan konsepsi maslahat hendaklah dirumuskan dengan tepat dan
disumbangkan secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan.
Ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman
suku bangsa tidak mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis. Untuk
mencapai tujuan proses-proses demokratisasi yang sedang dijalani, pluralisme
budaya harus digeser menjadi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme
sebagaimana yang dikonsepsikan Parsudi Suparlan.
Beranjak dari konsep Parsudi, sudah saatnya dilakukan penilaian atas berbagai
teori perubahan sosial dan pembangunan utama (mainstream social change and
development theories). Teori-teori tersebut lahir dan dibesarkan dalam
suasana Enlightenment dan modernitas di Eropa Barat dan Amerika Utara,
yang kemudian disebarkan ke berbagai belahan bumi, termasuk ke Indonesia
sebagai post-colonial reality.
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar di dunia sudah
masuk ke Nusantara sejak abad ketujuh,
dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberikan sumbangsih bagi
keanekaragaman kebudayaan lokal. Islam tidak hanya hadir dalam bentuk tradisi
agung (great tradition) bahkan
memperkaya pluralitas dengan Islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang
pada gilirannya banyak melahirkan tradisitradisi kecil (little traditions). Berbagai warna Islam dari Aceh dan Melayu,
Jawa, Sunda, Sasak, Bugis dan sebagainya riuh rendah memberikan corak
kemajemukan. Dengan keragamannya, Islam berjasa bagi penciptaan landasan
kehidupan bersama dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam juga
menawarkan norma, sikap dan nilai yang dapat memperluas relasi damai diantara
komunitas-komunitas etnik.
Pluralitas pemaknaan maslahat dewasa ini dalam konteks kinerja
pembangunan ekonomi di Indonesia harus diletakkan pada porsi seperti ini.
Pemaknaan maslahat sebagai nilai universal merumuskan kinerja pembangunan
dengan demikian tidak bisa diserahkan pada perspektif apa yang dipahami dalam
konteks pertumbuhan ekonomi saja dengan mengabaikan nilai-nilai universal yang
terkandung dalam ajaran kemaslahatan.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah peneliti lakukan, maka dapat
peneliti simpulkan beberapa hal: pertama, kegagalan teori-teori
pembangunan yang di bangun dalam konsepsi Barat adalah diakibatkan karena
pendekatan yang digunakan secara parsial. Pendekatan ini mengimplikasikan pada
konsekuensi-konsekuensi logis yang kerap terabaikan, yakni: (a) penekanan pada
pertumbuhan yang mengabaikan distribusi berkeadilan, hal ini diindikasikan pada
kebijakan yang lebih menekankan pada akumulasi kapital dengan orientasi pada
pertumbuhan cepat; (b) tidak mencerminkan adanya prioritas kebijakan,
pembangunan satu sektor kerap kali mengakibatkan pengabaian terhadap sektor
lain; (c) tidak terdapat strategi yang menyentuh masalah ekonomi secara
langsung, seperti penanganan ketimpangan dengan menerapkan trickle down effect; (d) kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak
seimbang, seperti pada konsep dualisme ekonomi, sehingga sering menimbulkan
ketidakmerataan dan ketidakadilan. Hal ini mengindikasikan tidak adanya tujuan
yang diarahkan pada perwujudan al-maqasid.
Kedua, dalam diskursus ekonomi
Islam terdapat kajian yang menarik menyangkut kemaslahatan, karena erat terkait
dengan tujuan yang hendak diwujudkan dalam pembangunan yakni maqasid al-syariah, dimana al-Qur’an dan
as-Sunnah telah menetapkan beberapa variabel penting yang sangat menentukan
kesejahteraan atau kesengsaraan manusia. Dengan demikian pembangunan didefinisikan
oleh al-maqasid yang meliputi aspek
primer (daruriyat), sekunder (hajiyat) dan tertier (tahsiniyat). Walaupun pertumbuhan
ekonomi penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan yang baik (fallah). Hal ini harus pula diikuti oleh
peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap individu, keadilan,
perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai dengan hal ini,
syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan spiritualisme,
persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi dalam daftar al-maqasid. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan yang
berorientasi pada manusia para ahli ekonomi Islam telah sepakat bahwa al-maqasid dapat dijadikan tolak ukur
dalam menilai keberhasilan pembangunan, karena itu kemaslahatan dalam bingkai
terwujudnya al-maqasid merupakan
suatu konsep yang sangat penting dalam studi ekonomi pembangunan yakni dalam
menilai kinerja pembangunan.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja
pembangunan dalam perspektif Islam dengan menggunakan analisis al-maqasid adalah pendekatan kultural (cultural approach) dalam bingkai
antropologi pembangunan yang merupakan salah satu pendekatan alternatif sebagai
bentuk revisi dari pendekatan pembangunan yang ekonomistis. Di Indonesia,
pendekatan ini relatif baru, dan sampai saat ini belum menemukan bentuknya.
Strategi pembangunan melalui pendekatan kebudayaan tidak sekadar melahirkan
manusia mesin penghasil uang, tetapi membangun manusia sebagai sebuah entitas
yang utuh dengan seluruh dimensinya.
E. Daftar
Pustaka
Abd. Moqshit Ghazali, “Membangun Ushul Fiqh Alternatif”, dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=470,
diakses pada 11 Februari 2008.
Abd. Salam Arief. Pembaruan
Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syaikh
Mahmud Syaltut. Yogyakarta: Lesfi, 2003.
al-Qardawi,
Yusuf. Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999.
Asmuni.
“Studi Pemikiran al-Maqashid (Upaya
Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)”. Jurnal al-Mawarid. Edisi XIV
Tahun 2005.
Bakri,
A. Jaya. Konsep Maqasid Syari’ah
al-Syatibi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Imam Syaukanie. Rekonstruksi
Epistemologi Hukum Islam Indonesia & Relevansinya bagi Pembangunan Hukum
Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Kasenda, Peter. Bersahabat dengan Sejarah. Jakarta: FISIP,
Untag, 2006.
M. Nur Kholis Setiawan,
Al-Quran Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
Ma’ruf, Ahmad. “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks Pembangunan Manusia: Studi
Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, IESP Vol. 2 No. 1, April 2001.
Munandar,
Aris.” Pembangunan Nasional, Keadilan
Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat”
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 1, September 2002.
Sayuti,
Ali M. Metodologi Penelitian Agama:
Pendekatan Teori dan Praktek.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia (Suatu
Studi). Yogyakarta: Andi Offset, 1992.
Tangdilintin, Paulus. “Pembangunan
Sosial: Respon Dinamis& Komprehensif Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan
Bagi Sistem Ekonomi Kerakyatan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UI,
Jakarta 1999.
Yusdani, “Ijtihad dan Nazariyyah I'tibar Al-Ma'al”,
dikutip dari www.yusdani.com,
di akses pada 22 Oktober 2009.
Ahmad Ma’ruf, “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks
Pembangunan Manusia: Studi Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, IESP Vol. 2 No.
1, April 2001, 69-88.
Ali, M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori
dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), 47
Peter Kasenda, Bersahabat dengan Sejarah (Jakarta:
FISIP Untag, 2006), 344-454.
Lihat Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia (Suatu
Studi) (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), 181.
Aris Munandar. “Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 1,
September 2002, 13
Lihat Paulus
Tangdilintin, “Pembangunan Sosial: Respon Dinamis & Komprehensif
Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem Ekonomi Kerakyatan”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar FISIP UI, Jakarta 1999.
Asafri Jaya Bakri. Konsep Maqasid syaro’ah Menurut al-Syatibi
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
hal. 63-64. Lihat juga Asmuni Studi
Pemikiran al-Maqashid (Upaya Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik yang
Dinamis)….11-12.
Yusuf al-Qardawi, Pedoman
Bernegara Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), 256-260.
Yusdani, “Ijtihad dan Nazariyyah I'tibar Al-Ma'al”,
dikutip dari www.yusdani.com,
di akses pada 22
Oktober 2009.
A.A. Islahi. Konsepsi …106
Abd. Moqshit
Ghazali, “Membangun Ushul Fiqh Alternatif”,
dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=470, diakses
pada 11 Februari 2008.
M. Nur Kholis
Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2005), 56.
Imam Syaukanie. Rekonstruksi
Epistemologi Hukum Islam Indonesia & Relevansinya bagi Pembangunan Hukum
Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 92-93.
Abd. Salam Arief. Pembaruan
Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud
Syaltut. (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 155