Pendahuluan
Krisis moneter yang
mengguncang Indonesia limabelas tahun yang lalu semakin menyardarkan banyak
pihak tentang pentingnya fundamental ekonomi yang kuat dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Sektor moneter yang tidak ditopang oleh sektor riil yang kuat
ditengarai menyimpan bom waktu yang menunggu momen untuk meruntuhkan
capaian-capaian pembangunan ekonomi nasional. Krisis moneter itu juga
menyadarkan kita tentang pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigma
pembangunan yang tidak menyerahkan sepenuhnya pertumbuhan ekonomi pada peran
pengusaha-pengusaha besar, melainkan pada semua pihak terutama usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM).
Salah satu pesan
reformasi adalah mengurangi hegemoni pusat terhadap daerah lewat sentralisasi
kebijakan di berbagai bidang. Reformasi mengamanatkan perlunya desentralisasi
pembangungan dengan memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada daerah. Oleh
karena itu lah, sejak tanggal 1 Januari 2001 dimulai pemberlakukan Otonomi
Daerah (OTDA).
Otonomi Daerah
merupakan keputusan politis yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan yang
sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-undang
tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan
Otda, yang meletakkan otonomi penuh, luas, dan bertanggung jawab pada daerah
kabupaten dan kota. Perubahan itu dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas
pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan
pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan
menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat
dan daerah.
Di sini lain,
setelah krisis moneter 1997-1998 gerakan ekonomi syariah seperti mendapat blessing
in disguise. Ekonomi syariah di Indonesia meskipun telah dimulai sejak awal
1990-an, namun berjalan lambat hingga menjelang terjadinya krisis tersebut.
Ekonomi syariah nasional seperti menemukan momentum sejak tahun 1999 hingga
sekarang. Pengetahuan masyarakat tentang ekonomi syariah juga semakin
berkembang termasuk di daerah.seiring dengan itu industri keuangan syariah
mengalami percepatan pertumbuhan. Lembaga-lembaga keuangan syariah juga
berkembang ke daerah-daerah.
Pertanyaannya,
bagaimana peranan ekonomi syariah dalam pembangunan daerah? Jawaban dari
pertanyaan tersebut akan diuraikan sekelumit berikut ini.
Faktor Pendorong
Perkembangan ekonomi
syariah di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor pendorong. Secara
sederhana, faktor-faktor itu dkelompokkan menjadi faktor eksternal dan
internal.
Faktor eksternal
adalah penyebab yang datang dari luar negeri, berupa perkembangan ekonomi
syariah di negara-negara lain, baik yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun
tidak. Negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi syariah setelah
timbulnya kesadaran tentang perlunya identitas baru dalam perekonomian mereka.
Kesadaran ini kemudian ’mewabah’ ke negara-negara lain dan akhirnya sampai ke
Indonesia.
Sedangkan faktor
internal antara lain adalah kenyataan bahwa Indonesia ditakdirkan menjadi
negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Fakta ini menimbulkan
kesadaran di sebagian cendekiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya suatu
ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dijalankan oleh masyarakat Muslim
di Indonesia.
Tentu saja, faktor
bisnis juga turut mendorong. Pasar Muslim yang sedemikian besar menarik
perhatian kalangan pebisnis terutama di sektor keuangan untuk menawarkan
produk-produk keuangan syariah. Di samping itu, faktor politis juga turut bermain.
Membaiknya ”hubungan” Islam dan negara menjelang akhir milineum lalu membawa
angin segar bagi perkembangan ekonomi dengan prinsip syariah.
Meningkatnya
keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor pendorong berkembangan ekonomi
syariah di Indonesia. Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan yang terdidik
dan relijius membawa semangat dan harapan baru bagi industri keuangan syariah.
Mereka mempunyai kesadaran bahwa agama bukan sekedar shalat, puasa, dan
ibadah-ibadah mahdah lainnya saja. Tetapi, agama harus diterapkan secara kafah
(holistik) dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berekonomi.
Faktor berikutnya
adalah pengalaman bahwa sistem keuangan syariah tampak cukup kuat menghadapi
krisis moneter tahun 1997-1998. Bank syariah masih dapat berdiri kokoh ketika
”badai” itu menerpa dan merontokkan industri keuangan di Indonesia. Di samping
itu, faktor rasionalitas bisnis pun turut membesarkan ekonomi syariah. Bagi
kelompok masyarakat yang tidak cukup dapat menerima sistem keuangan syariah
berdasarkan ikatan emosi (personal attachment) terhadap Islam, faktor
keuntungan menjadi pendorong mereka untuk terjun ke bisnis syariah.
Implikasi Bagi
Perkembagan Ekonomi Nasional
Setidaknya ada 3 hal
yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasional. Pertama,
ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman
terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh
lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil.
Kedua, ekonomi syariah
lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri
ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur Tengah. Adanya berbagai peluang
investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara
petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus
berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran
mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly,
seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya.
Ketiga, gerakan ekonomi
syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia.
Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan
menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba,
spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
Industri Perbankan
dan Pembangunan Ekonomi Daerah
Persoalan yang
seringkali dikeluhkan oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit atau pembiayaan
dari Bank. Ada banyak alasan mengapa bank “agak pelit” menyalurkan kredit
seperti prinsip kehati-hatian (prudential) yang harus dipegang oleh bank
sehingga para pebisnis dibagi menjadi dua, bankable dan non-bankable.
Celakanya, sebagian besar UMKM masuk kategori yang kedua ini.
Di samping persoalan
itu, Bank Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank
Indonesia) yang menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk
menyimpan dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Penetapan tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia
perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha.
Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan
sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang
dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke
Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di
setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak
mengharapkan kredit yang murah dan mudah, dana-dana perbankan yang terhimpun di
daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang
bersangkutan.
Bank-bank yang lebih
banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah
menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek
ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat didanai, padahal yang benar
bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan dana-dana yang dihimpun
dengan dibelikan SBI. Hingga tidak heran, dana-dana pembangunan daerah yang
seharusnya digunakan untuk pengembangan ekonomi daerah ikut ditanam di SBI
karena ketidakkreatifan pemerintah daerah dan para bankernya mencari dan
merangsang potensi-potensi ekonomi di daerahnya.
Jelas kiranya dari
analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga
pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development.
Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan
pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada
deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan
rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan
ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang
mendukung upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan.
Perbankan Syariah
Sebagai Alternatif
Sebagaimana jamak
diketahui, keuangan syariah adalah yang tidak mengenal rezim bunga. Sebagai
gantinya, ekonomi Islam menawarkan kerjasama yang saling menguntungkan antara
pemilik modal (shahibul mal) dengan pengusaha (mudharib) melalui
skema mudharabah atau musyarakah. Di samping itu, kelahiran ekonomi syariah
antara lain ditujukan untuk menggerakkan ekonomi umat yang sebagian besar
berada di kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, perbankan syariah
sebagai bentuk implementasi konsep ekonomi syariah juga mempunyai spirit yang
sama yaitu keberpihakan kepada sektor riil terutama usaha menengah ke bawah.
Mengingat bank
syariah adalah bank tanpa bunga, maka ia tidak dapat mengharapkan bunga SBI
sebagaimana bank-bank konvensional lainnya. Demikian juga, dana nganggur (idle
fund) di bank-bank syariah tidak dapat diinvestasikan pada
instrumen-insturmen keuangan berbasis bunga lainnya. Oleh karena itu, bank
syariah harus berpikir keras untuk menyalurkan dana yang dipegangnya ke sektor
non-bunga yang berbasis bagi hasil, margin, atau fee.
Kinerja perbankan
syariah selama ini menunjukkan tersalurnya dana yang dihimpun dari masyarakat
ke usaha yang membutuhkan dana. Data yang dirilis Bank Indonesia selalu
menunjukkan bahwa rasio pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah terhadap
dana pihak ketiga (DPK) atau FDR selalu berkisar di angka 100 persen bahkan
lebih. Hal ini berarti, fungsi intermediasi yang dijalankan perbankan syariah
berjalan dengan baik. Persoalannya, dana yang dihimpun oleh industri keuangan
syariah masih sangat sedikit dibanding dengan total asset perbankan nasional.
Hingga saat ini rasio asset perbankan syariah terhadap perbankan total asset
perbankan nasioal belum berhasil menembus angka 2 persen. Artinya, meskipun
FDRnya tinggi namun karena angkanya masih sangat kecil, maka pengaruhnya
terhadap ekonomi nasional belum begitu terasa, meski banyak bukti di lapangan
yang membuat kita sedikit bernafas lega.
Semangat kelahiran
industri keuangan syariah di samping untuk memenuhi dahaga masyarakat terhadap
produk keuangan syariah, juga untuk ikut mengurangi tingkat kemiskinan di
masyarakat dengan mengangkat taraf ekonomi rakyat ke arah yang lebih baik. Oleh
karena itu lah, di dalam keuangan syariah di kenal lembaga keuangan mikro
syariah (BMT) yang merupakan ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan
pebisnis dan wirausaha kecil. Bank-bank syariah yang tidak dapat menyentuh
level bisnis terendah ini karena berbagai peraturan yang harus ditaati dapat
bermitra dengan BMT-BMT dan BPRS yang telah ada dalam penyaluran pembiayaan dan
penghimpunan dana masyarakat.
Pengembangan Bank
Syariah di Indonesia jelas bertujuan menerapkan perbankan etik yaitu tidak
sekedar menjual jasa atau produk perbankan dengan mengenakan bunga, tetapi
”bekerjasama dengan klien” untuk memperbaiki kesejahteraan atau meningkatkan
kehidupan ekonomi klien. Di Indonesia Bank-bank desa seperti BKK di Jawa Tengah
atau Lumbung Piteh Nagari di Sumatera Barat, yang dibentuk dari bawah besama
klien, adalah Bank-bank etik yang dimaksud. Namun sayangnya sejak liberalisasi
perbankan 1983, 1988, dan 1992, Bank-bank yang demikian telah ”dimatikan” atau
“dikerdilkan”. Pengalaman krisis perbankan 1997/1998 yang sampai kini belum
teratasi telah memberikan pelajaran pahit, mudah-mudahan berharga, bagi dunia
perbankan Indonesia. Pelajaran berharga itu adalah tidak lagi mengembangkan
sistem perbankan kapitalistik yang mendahulukan kepentingan bisnis pemilik
Bank, bukan kepetingan klien dan masyarakat luas.
Implikasi Ekonomi
Syariah terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah
Industri keuangan
syariah di tanah air mendekati usia 22 tahun. Sudah banyak hal yang dilakukan
oleh masyarakat ekonomi syariah Indonesia untuk mengembangkan sistem ekonomi
alternatif ini yang diyakini lebih adil dan mensejahterakan. Lembaga-lembaga
pendukung pun semakin berkembang termasuk lembaga-lembaga pendidikan ekonomi
syariah yang sudah ada hampir di semua provinsi. Lembaga-lembaga keuangan syariah
pun juga sudah hampir merata di seluruh nusantara. Tinggal sekarang
mengembangkan industri keuangan syariah dan lembaga-lembaga pendukungnya
berikut peraturan perundang-undangan yang memberikan rambu-rambu bagi pelaku
ekonomi syariah.
Jika demikian halnya,
bagaimana pengaruh ekonomi syariah terhadap pembangunan ekonomi daerah? Untuk
menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam. Yang
dapat kita kemukakan di sini adalah beberapa indikator yang dapat menunjukkan
adanya peranan ekonomi syariah terhadap pembangunan daerah.
Indikator pertama
yaitu semakin banyaknya bank-bank syariah nasional yang membuka cabang di
daerah-daerah. Pembukaan kantor-kantor cabang ini tentu membawa implikasi bagi
pembangunan ekonomi setempat karena adanya aktivitas intermediasi yang
dilakukan perbankan syariah yaitu menyalurkan dana dari pihak yang surplus ke
pada pihak yang shortage.
Di samping bank-bank
syariah nasional, baik bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS),
bank-bank pembangunan daerah juga ramai-ramai membuka unit usaha syariahnya.
Saat ini sudah ada 13 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang membuka UUS dan akan
disusul oleh BPD-BPD lainnya. Perkembangan ini diharapkan akan meningkatkan
geliat pembangunan ekonomi daerah melalui sistem keuangan syariah.
Hal selanjutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga
keuangan mikro dan kecil syariah seperti BMT, Koperasi Syariah, dan BPRS yang
juga hampir merata sebarannya di seluruh tanah air. Tentu sudah banyak
perananan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah ini dan sudah
banyak pula pengaruhnya bagi perbaikan ekonomi daerah.
Lembaga-lembaga ini
rajin melalukan sosialisasi ekonomi syariah kepada masyarakat. Ekonomi syariah
adalah suatu konsep ekonomi yang mengajarkan kewirausahaan dan investasi yang
etis kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dididik untuk menjadi
entreprenur-entreprenur sejati yang berjuang mengangkat taraf hidupnya dan
masyarakat lainnya ke arah yang lebih baik.
Yang kurang sekarang
adalah dukungan dari pemerintah terhadap ekonomi syariah itu sendiri. Ekonomi
syariah masih dipandang sebelah mata dan tidak dijadkan sebagai hal yang utama.
Padahal sudah banyak bukti yang menunjukkan peranan ekonomi syariah dalam mengangkat
ekonomi rakyat. Untuk itu, kita membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi dari
pemerintah bagi pengembangan ekonomi syariah di tanah air.
Mungkin kita perlu
belajar banyak dari pemerintah Malaysia yang memberikan dukungan yang besar
bagi ekonomi syariah di sana. Sehingga tidak heran, kita masih jauh tertinggal
dari negeri jiran itu dalam bidang keuangan syariah.
Penutup
Salah satu kunci
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah
dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian,
diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi
masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih
bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan itu,
Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara
optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah
terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme
aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah
dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar,
sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi,
dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian daerah, serta
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian
global.
Ekonomi
syariah telah membuktikan sumbangannya bagi pengembangan ekonomi daerah. Meski
masih relatif kecil namun bukan tidak berharga sama sekali. Ekonomi syariah
telah mengajarkan pentingnya kemandirian, kerja keras, semangat
entrepreneurship, good governance, dan penerapan nilai-nilai syariah dalam
berekonomi. Semua hal ini diperlukan bagi tercapainya cita-cita Proklamasi 1945
untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, yang bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.