Jumat, 11 Juni 2010

Konsep Syari’ah Lembaga Keuangan (Bagian II)

Pendahuluan

Indonesia saat ini tengah berusaha memulihkan sistem perekonomian untuk selanjutnya bangkit dari gejolak krisis ekonomi yang berkepanjangan, dari krisis moneter hingga krisis global. Salah satu solusi yang dilirik oleh pemerintah yakni dengan jalan mengembangkan sistem perekonomian syariah.

Langkah ini ternyata cukup teruji dan tangguh dalam menghadapi krisis-krisis ekonomi yang berkepanjangan, ini setidaknya disebabkan oleh sistem perekonomian yang digunakan tidak terpengaruh dengan tingkat suku bunga perbankan yang mendorong timbulnya inflasi (cost push inflation). Rencana jangka panjang pemerintah dalam mengembangkan perbankan dan perekonomian syariah di sambut dengan antusias oleh kalangan bisnis di Indonesia, terbukti dengan banyaknya bank-bank umum syariah, BPRS dan kantor-kantor cabang syariah dari bank-bank konvensional. Menjamurnya transaksi-transaksi syariah di Indonesia merupakan tolak ukur keberhasilan dari nilai-nilai Islam dalam manajemen terinstruktur secara baik dan profesioanl terutama transaksi-transaki perbankan syariah.

Di Indonesia, saat ini kita patut bersyukur bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi hasil. Selanjutnya perkembangan perbankan syariah mulai marak ditanah air setelah disahkannya UU No. 10 tahun 1998 yang sekaligus menghapus pasal 6 pada PP No.72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas dalam UU ini memperbolehkan bank umum yang melaksanakan kegiatan secara konvensional agar dapat pula melakukan kegiatan atau usaha berdasarkan prinsip syariah, dengan mendirikan kantor cabang atau di bawah kantor cabang baru dan dengan melalui peng-ubah-an kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Disamping itu dengan telah berlakunya UU No. 21 Tahun 2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya Pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional.1

Hasilnya, sebagian umat Islam di Indonesia mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk mendirikan lembaga-lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti: modal ventura, leasing, dan pegadaian.

Karena itu, untuk mengetahui konsep syariah lembaga keuangan, khususnya perbankan syariah maka agar pembahasan yang dilakukan dalam makalah ini bisa lebih terfokus, maka pemakalah akan memberikan batasan dalam menguraikan beberapa permasalahan yang akan dikaji yakni mengenai pengertian lembaga keuangan syariah (perbankan syariah), identifikasi transaksi terlarang, dan perbedaan antara bank konvensional dengan bank syariah. Selanjutnya pembahasan pada makalah ini akan ditutup dengan hidangan penutup.


Pengertian Perbankan Syariah

Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasioanal dan produknya dikembangkan berlandaskan pada al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokok-nya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan perinsip syariat Islam. Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam. Bank Syariah adalah (1). Bank yang beroperasi sesuai dengan perinsip-perinsip syariah Islam, (2). Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan hadis.2

Sebagaimana bank konvensional, bank syariah juga memiliki fungsi intermediasi. Perbedaan hanya terletak pada instrumen yang digunakan, jika bank konvensional menggunakan bunga, maka perbankan syariah menarik dan mengharamkan diri dari bunga dan sebagai alternatif lebih menekankan pada prinsip bagi untung dan sharing rugi. Disamping fungsi intermediasi, perbankan syariah juga melakukan fungsi ta’awwun (sosial).3

Sedangkan menurut UU No. 21 tahun 2008, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Sedangkan Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.


Identifikasi Transaksi Terlarang

Syariah adalah kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Sedangkan secara terminologi syariah berartiperaturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin, agar mematuhinya.4 Namun demikan fakta menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi manusia terus berkembang, karena itulah para ulama merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariat yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibdah dan hukum asal muamalah.

Hukum asal ibadah menyatakan bahwa segala sesuatunya dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjukknya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itu, masalah-masalah ibadah telah diatur dengan rinci tata caranya, sehingga tidak dibolehkan lagi melakukan penambahan dan/atau perubahan (bid’ah). Singkatnya, tidak ada kreatifitas dalam masalah-masalah ibadah. Sedangkan hukum asal muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian terdapat lapangan yang luas dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang (haram),kemudian menghindarinya. Selain yang haram, dapat dilakukan kreatifitas (ijtihad) dan terus-menerus mengakomodasikannya dalam berbagai bidang yang terjadi di masyarakat.5

Terkait dengan transaksi, mka hal ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul yang sebelumnya belum dikenal dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalal al-Qur’an dan Hadis yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit. Penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena faktor-faktor: (1) haram zatnya (haram li-dzatuhi); (2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan (3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya.

Transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram zatnya adalah transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang. Misalnya minuman keras, bangkai (selain bangkai ikan dan belalang), daging babi dan lainnya. Jadi transaksi minuman keras adalah haram, meskipun akad jual-belinya sah.

Sedangkan transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram selain zatnya yakni karena transaksi tersebut melanggar prinsip ”an taraddin minkum” yakni tadlis dan prinsip ”la tazhlimuna wa la tuzlamun” yakni ikhtikar, bai’ najasy, gharar dan riba. Transaksi yang melanggar kedua prinsip tersebut yakni:


  1. Tadlis

Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus memiliki informasi yang sama (complate information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada satu pihak yang tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain hal inilah yang disebut sebagai tadlis. Tadlis ini dapat terjadi pada empat hal yakni: kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.

Contoh tadlis dalam kuantitas adalah pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya. Dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya. Tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga produk di atas harga pasar. Sedangkan bentuk tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah petani buah yang menjual buah diluar musimnya padahal si petani mengetahui bahwa ia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya.6


  1. Rekayasan Pasar dalam Supply (ikhtikar)

Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar biasanya dilakukan dengan menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli). Karena itulah ada yang menyamakan ikhtikar ini dengan monopoli dan penimbunan, padahal tidak selalu seorang monopolis melakukan ikhtikar. Demikian pula tidak setiap penimbunan adalah ikhtikar, misalnya BULOG yang melakukan penimbunan beras bertujuan untuk menjaga kestabilan harga dan pasokan.7

Ikhtikar terjadi jiak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar; (b) menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan; (c) mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen a dan b dilakukan.8


  1. Rekayasa Pasar dalam Demand (bai’ najasy)

Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila seorang produsen/pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini terjadi, misalnya dalam bursa saham, bursa valas dan lain-lain. Cara ayng ditempuh dapat bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, hingga benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentimen pasar untuk ramai-ramai membeli saham atau mata uang tertentu. Jika harga telah naik hingga level yang diinginkan, maka pelaku akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali saham atau mata uang yang sudah dibeli, sehingga ia akan mendapatkan untung besar. Rekayasa pasar inilah yang dikenal dengan bai’ najasy.9


  1. Taghrir (gharar)

Dalam ilmu fiqih gharar adalah suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak ada kepastian, baik ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan dalam akad tersebut.10 Taghrir atau disebut juga gharar adalah situasi dimana terjadi incomplate information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi.

Dalam tadlis yang terjadi adalah pihak A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B. Sedangkan dalam taghrir, baik pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan. Gharar terjadi jika kita mengubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain).

Sebagaimana dalam tadlis, maka gharar dapat juga terjadi dalam empat hal yakni: kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Dalam dalam kuantitas terjadi dalam kasus ijon. Dalam hal ini terjadi ketidakpastian mengenai berapa kuantitas buah yang dijual. Contoh gharar dalam kualitas adalah peternak yang menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya. Dalam hal ini terjadi ketidakpastian dalam hal kualitas objek transaksi, karena tidak ada jaminan anak hewan tersebut akan lahir dengans ehat tanpa cacat dan dengan spesifikasi kualitas tertentu. Gharar dalam harga terjadi bila harga yang tidak disepakati dengan jelas. Sedangkan contoh gharar dalam waktu penyerahan adalah bila seseorang menjual barangnya yang hilang, dalam kasus ini terjadi ketidakpastian mengenai waktu penyerahan, karena si penjual dan pembeli sama-sama tidak mengetahui kapan barang tersebut akan ditemukan kembali.11


  1. Riba

Dalam perkembangan kontemporer dewasa ini, para ulama memetakan riba ke dalam beberapa klasifikasi untuk lebih mudah mengidentifikasinya, yakni: riba fadl, riba nasiah dan riba atau jahiliyah.12


  1. Riba Fadl

Riba fadl sering disebut riba buyu’ yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mitslin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semacam ini mengandung gharar, yakni ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihaklain.13

Dalam konteks perbankan riba fadl sering terjadi dalam transaksi jual beli valas (valuta asing) yang tidak dilakukan secara tunai (spot).


  1. Riba Nasiah

Riba nasiah sering juga disebut riba duyun yakni riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal inimengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.

Riba nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi untung (al ghunmu) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman). Untung dan hasil usaha muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam setiap bisnis selalu dihadapkan kepada dua pilihan, yakni kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang belum pasti inilah yang terjadi dalam riba nasiah,14 yakni terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat tidakpasti (uncertain) menjadi pasti (certain).

Dalam mekanisme bunga yang dipraktekkan oleh perbankan konvensional selalu terintegrasi dengan masalah waktu, yang dikenal dengan time value of money dimana uang yang diinvestasikan pada saat ini harus menghasilkan dan bertambah pada waktu yang akan datang dari waktu sebelumnya. Teori tersebut tentu tidak tepat, karena dalam investasi dihadapkan pada probability risk and return.15 Dalam perbankan konvensional, riba nasiah ini dapat ditemui dalampembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro dan lainnya. Dengan demikian mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidakpasti, karena itulah diharamkan.


  1. Riba Jahiliyah

Riba jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman dari waktu yang telah ditetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena melanggar kaidah ”Kullu Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Member pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi, transaksi yang dari awal diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi trnasaksi yang bermotif bisnis. Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.


Dari ketiga jenis riba ini, dapat diidentifikasi bahwa praktek bunga yang ada dalam perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, riba nasiah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabuangan, deposito dan giro. Sedangkan riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.

Dari klasifikasi riba di atas terdapat beberapa alternative ikhtiar yang diharapkan dapat mengantisipasi umat Islam, khususnya para praktisi bisnis tidak terjerumus pada riba. Dan sejumlah sintesa anti riba berikut mencoba mengungkap tipe riba serta faktor penyebabnya dan akad-akad yang dapat diterapkan sebagai antisipasi.

  1. Riba Fadl (riba buyu’). Disebabkan oleh Gharar (uncertain to both parties). Cara mengatasinya adalah Kedua belah pihak harus memastikan faktor berikut: (1) kuantitas (2) kualitas (3) harga, dan (4) waktu penyerahan.

  2. Riba Nasi’ah (riba duyun). Disebabkan oleh Al ghunmu bi la ghurmi, al kharaj bi la dhaman (return tanpa resiko, pendapatan tanpa biaya). Cara mengatasinya adalah kedua belah pihak membuat kontrak yang merinci hak dan kewajiban masing-masing untuk menjamin tidak adanya pihak manapun yang mendapatkan return tanpa menanggung resiko, atau menikmati pendapatan tanpa menanggung biaya.

  3. Riba Jahiliyah. Penyebabanya adalah Kullu qardin jarra manfa’ah fahuwa riba (memberi pinjaman sukarela secara komersil, karena setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Cara mengatasinya adalah angan mengambil manfaat apapun dari akad/transaksi kebaikan (tabarru’). Kalaupun ingin mengambil manfaat maka gunakan akad bisnis (tijarah) bukan akad kebaikan (tabarru’).16


  1. Risywah (Suap)

Risywah berasal dari bahasa Arab yang berarti sogokan, bujukan, suap atau kadang disebut uang pelicin. Suap ini merupakan penyakit sosial yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat, meskipun diketahui bahwa hal ini tidak dibenarkan oleh ajaran islam.

Larangan risywah antara lain karena dua alasan yakni: (1) dari segi pelaksanaannya, pemberian dan penerimaan suap tidak mengandung unsur ikhlas karena dilakukan dnegan alasan-alasan tertentu yang tidak dibenarkan. Penyuap menghendaki agar keinginannya dipenuhi, sedangkan penerima suap secara diam-diam atau terang-terangan menunjukkan niatnya untuk meluluskan keinginan menyuap, atau paling tidak, tidak mampu lagi menerapkan amar ma’ruf nahyi munkar karena terikat pemberian dari penyuap; (2) dari segi tujuannya, pemberian suap dilakukan untuk tujuan yang melanggar aturan agama, sebab membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Yang dikehendaki dalam suap adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama. Islam mengajarkan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Syarak melarang risywah sebagaimana melarang pengambilan sesuatu dengan cara yang bathil.17


Selanjutnya faktor yang lain yang menyebabkan keharaman dalam bertransaksi adalah disebabkan karena ketidakabsahan atau kurang lengkapnya akad. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkapa akdnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut ini, yakni: (1) rukun dan syarat tidak terpenuhi; (2) terjadi ta’alluq; dan (3) terjadi ”two in one


  1. Rukun dan syarat tidak terpenuhi;

Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi, misalnya ada penjual dan ada pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli maka jual beli tidak akan ada. Pada umumnya, rukun dalammuamalah dalam bidang ekonomi ada tiga yakni:18 pelaku, objek dan ijab-kabul.

Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jual beli), penyewa-pemberi sewa (dalam akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah (dalam akad upah-mengupah), dan lain-lain. Tanpa pelaku maka transaksi dipastikan tidak ada.

Objek transaksi dari semua akad di atas dapat berupa barang atau jasa. Dalam akad jual beli motor, maka objek transaksinya adalah motor, demikian dalam akad-akad yang lain. Ijab-kabul atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan akad atau bertransaksi. Tanpa ijab-kabul mustahilpula transaksi akan terjadi.

Terkait dengan kesepakatan ini, maka akad dapat menjadi batal jika terdapat kesalahan/kekeliruan objek, adanya paksaan (ikrah) dan adanya penipuan (tadlis). Dan jika ketiga rukun tersebut di atas terpenuhi, maka transaksi yang dilakukan sah. Namun jika rukun tersebut di atas tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih) maka transaksi menjadi batal.

Selain rukun, faktor yang harus ada agar akad menjadi sah/lengkap adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Misalnya orang yang bertransaksi harus cakap hukum (mukallaf). Menurut Mazhab Hanafi jika rukun sudah terpebuhi, namun syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidaklengkap dan transaksi tersebut menjadi rusak (fasid).

Syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampuradukkan. Dilain pihak, keberadaan syarat tidak boleh menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, menggugurkan rukun, bertentangan dengan rukun dan mencegah berlakunya rukun.


  1. Terjadi ta’alluq;

Ta’alluq terjadi jika kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua.

Misalnya A menjual barang X seharga Rp. 100 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang X tersebut kepada A secara tunai Rp. 90 juta. Transaksi ini haram, karena terdapat persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali menjual barang tersebut kepada A. Dalam kasus ini, disyaratkan bahwa akad pertama berlaku efektif bila akad kedua dilakukan. Penerapan syarat ini mencegah terpenuhinya rukun.19


  1. Terjadi ”two in one

Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan atau akad mana yang berlaku.

Two in one terjadi jika semua dari ketiga faktor berikut terpenuhi, yakni: objek sama, pelaku sama da jangka waktu sama.

Jika satu saja dari faktor di atas tidak terpenuhi, maka two in one tidak terjadi, dengan demikian akad menjadi sah. Contoh dari two in one adalah transaksi sewa-beli. Dalam transaksi ini, terjadi gharar dalam akad, karena ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku. Akad beli atau akad sewa. Karena itulah akad sewa-beli ini diharamkan.20


Uraian di atas setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai identifikasi transaksi yang dilarang dalam lembaga keuangan Islam, dan gambaran bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya memperkenalkan praktek keuangan syariah dalam hal ini perbankan berdasarkan prinsip syariah.


Penutup

Sebagai penutup uraian-uraian terdahulu dari tulisan ini, perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut: pertama, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah yakni prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Kedua, para ulama merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariat yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibdah dan hukum asal muamalah. Hukum asal ibadah menyatakan bahwa segala sesuatunya dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjukknya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itu, masalah-masalah ibadah telah diatur dengan rinci tata caranya, sehingga tidak dibolehkan lagi melakukan penambahan dan/atau perubahan (bid’ah). Sedangkan hukum asal muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian terdapat lapangan yang luas dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang (haram), kemudian menghindarinya. Selain yang haram, dapat dilakukan kreatifitas (ijtihad) dan terus-menerus mengakomodasikannya dalam berbagai bidang yang terjadi di masyarakat.

Ketiga, penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena: (1) haram zatnya (haram li-dzatuhi); (2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan (3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya. Transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram zatnya adalah transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang. Sedangkan transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram selain zatnya yakni karena transaksi tersebut melanggar prinsip ”an taraddin minkum” yakni tadlis dan prinsip ”la tazhlimuna wa la tuzlamun” yakni ikhtikar, bai’ najasy, gharar dan riba.

Keempat, faktor lain yang menyebabkan keharaman dalam bertransaksi adalah disebabkan karena ketidakabsahan atau kurang lengkapnya akad. Yang diakibatkan oleh tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor: (1) rukun dan syarat tidak terpenuhi; (2) terjadi ta’alluq; dan (3) terjadi ”two in one.


Kepustakaan

Muhamad. 2005. Manajemen Dana Bank Syariah. Yogyakarta: EKONISIA.

Nasrun Haroen. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Muhamad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Adiwarman A. Karim. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Edy Suandi Hamid Makalah. Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangannya, disampaikan Dalam Studium Generale Program Pasca Sarjana FIAI MSI UII di Yogyakarta, 13 September 2008

Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. 2008. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah. Bandung: Kafa Publishing.

Ibrahim Warde 2009. Islamic Finance Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global. Terj. Andriyadi Ramli. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gemala Dewi, 2005. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Peransuransian Syariah Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Badan Penerbit FH UI





1 Edy Suandi Hamid. Makalah. Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangannya, disampaikan Dalam Studium Generale Program Pasca Sarjana FIAI MSI UII di Yogyakarta, 13 September 2008

2 Muhamad. Manajemen Dana Bank Syariah, (Yogyakarta: EKONISIA, 2005), hal. 1

3 Hal ini misalnya seperti yang diungkapkan oleh Solihin Hasan (pejabat bank Islam Jeddah) dan Mohamad Ariff (Universitas Malaya) mengemukakan bahwa kegiatan bank Islam meliputi semua kegiatan bank konvensional namun tidak pada transaksi berdasarkan bunga dan bank syariah boleh melayani masyarakat non muslim ataupun dimiliki dan dikelola oleh mereka yang non muslim. Lihat Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hal. 3

4 Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 6-7

5 Ibid. hal. 9

6 Ibid. hal. 29

7 Lihat juga Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 164-165

8 Adiwarman A. Karim. Bank…hal. 30

9 Ibid.

10 Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah (Bandung: Kafa Publishing, 2008), hal. 245

11 Adiwarman A. Karim. Bank…hal. 31-32. Lihat juga Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. Ensiklopedi…hal. 245-246

12 Ibid. hal. 32. Lihat juga Muhamad. Manajemen Bank Syariah. (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005)

13 Adiwarman A. Karim. Bank…hal. 33.

14 Lihat Q.S. al-Hasyr ayat 18 dan Q.S. Luqman ayat 34 “dan seseorang itu tidak mengetahui apa yang dihasilkannya esok”

15 Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. Ensiklopedi…hal. 564-565

16 Adiwarman Karim. Bank...hal. 38

17 Lihat Q.S. al-Baqarah ayat 188 yang artinya “dan janganlah sebagaian kamu memakan harta sebagaian yang lain diantara kamu dengan jalan b\yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagaian harta itu dengan (jalan berbuat) dosa,padahal kamu mengetahui”

18 Selain rukun yang umum yang tiga di atas, ada lagi rukun khusus untuk akad-akad tertentu. Misalnya dalam akad syirkah, tiga rukun umum tersebut ditambah dengan nisbah. Demikian pula dengan akad lainnya

19 Adiwarman A. Karim. Bank…hal. 40

20 Ibid. hal. 41

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id