Tulisan ini
telah terbit pada Jurnal El Hikam IAI Nurul Hakim.
Volume VII
Nomor 2 Tahun 2014. Hal. 217-240. ISSN: 1978-2152
Abstract
Develop each main
disciplines that social -science- is heavily influenced by the basic concept of
man. So even economic studies as a social science developed rests on his view
of man. This view of humans as economic actors, needs, including behavioral
economics and behavioral choice behavior in particular impetus to the
development of science and the impact the current economic system. Different
views of human thinking has spawned a variety of economic problems and proposed
solutions. One is the conception of economic thought prophetic. Although still
in the conceptual level, but it should be appreciated. Here the author will
elaborate on the concept of economic thought prophetic departing from the basic
social sciences offered prophetic Kuntowijoyo, which will begin the discussion
regarding the prophetic social sciences and Islamization of knowledge project,
the idea of a social science subject prophetic, prophetic toward economic
system, economic system or economic system of prophetic Islamic economics and
the study of prophetic approach.
Keywords; Economy, prophetic,
humanization, liberation, transcendence
A. Pendahuluan
Pengembangan
setiap disiplin ilmu -utamanya yang sosial
science- sangat dipengaruhi oleh konsep dasar tentang manusia.
Kajian-kajian ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi ataupun psikologi
selalu menjadikan manusia menjadi faktor utama. Karenanya konsep manusia akan
menjadi arahan utama dalam membangun seluruh konsep dan teori, disiplin dan
aliran ilmu yang bersangkutan. Begitu pun kajian ekonomi sebagai ilmu sosial
berkembang dengan berpijak terhadap pandangannya tentang manusia. Pandangan
tentang manusia sebagai pelaku ekonomi, kebutuhan, perilaku ekonomi termasuk
pilihan perilaku maupun dorongan perilaku yang secara khusus berpengaruh kepada
perkembangan ilmu dan sistem ekonomi dewasa ini. Perbedaan pandangan tentang
manusia telah melahirkan berbagai pemikiran tentang masalah ekonomi serta
solusi yang ditawarkan.
Kini, persoalan yang dihadapi umat
manusia adalah munculnya suatu pandangan yang
menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi nilai pada posisi yang dominan.
Pandangan hidup yang
berpijak pada ideologi materialisme inilah yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi
yang hedonistik, sekularistik dan
materialistik.[1] Dampak yang ditimbulkan dari cara pandang inilah yang kemudian membawa malapetaka
dan bencana dalam kehidupan sosial
masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan
lingkungan hidup, disparitas pendapatan dan kekayaan antar
golongan dalam masyarakat dan antar negara di dunia, lunturnya sikap
kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit sosial, timbulnya revolusi sosial yang anarkhis dan
sebagainya.[2]
Solusi dari
semua permasalahan sosial ekonomi pasti diinginkan oleh semua sistem ekonomi,
baik itu sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi sosialis, dan sistem ekonomi Islam.
Jalan masing-masing dari ketiga sistem itu tentu akan sangat berbeda satu
dengan yang lain, pertanyaan selanjutnya, sejauh manakah konsistensi dan
efektivitas dari masing-masing sistem ekonomi tersebut berjalan? Jika ia sistem
sosialis, seberapa efektivitaskah sistem ini menuju perekonomian yang
sejahtera? jika disatu sisi kita masih merasakan terkekangnya jiwa enterpreneuship?
Jika itu sistem kapitalis, seberapa besar konsistensi sistem ini
memperjuangkan sistem ekonomi berkeadilan jika disatu sisi kita melihat adanya
mekanisme yang menjembatani terbentuknya sistem konglomerasi dan monopoli dalam
segelintir orang yang bermodal? Sistem
ekonomi kapitalis telah gagal menyelesaikan persoalan kemanusiaan, sosial ekonomi. Memang kapitalis mampu mensejahterakan individu atau negara tertentu
secara materi. Namun perlu diingat kesejahteraan dan kemakmuran
tersebut dibangun di atas penderitaan orang atau negara lain.[3] Kapitalis tidak
mampu menyelesaikan ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi bahkan
sebaliknya ia menciptakan dan melanggengkan kesenjangan tersebut untuk
mempertahankan eksisitensinya.
Ruh sistem
ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil. Ciri khas
keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana
ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani
dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya
yang disebutkan di dalam kitab al-Qur’an. Sistem ekonomi Islam tidak menganiaya
masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem
kapitalis. Juga tidak menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang
dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara
keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui
batas dan tidak pula merugikan.[4]
Guna mencapai
keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya lingkungan yang baik dan sadar secara
moral yang dapat membantu reformasi unsur manusia di pasar berlandaskan sebuah
keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistem harga dan distribusi kekayaan
di dalam memaksimalkan efisiensi maupun keadilan pada penggunaan sumber daya
manusia dan sumber daya materi lainnya. Namun, sangat sulit, untuk
mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara moral kepada masyarakat,
dan keimanan saja tidak akan mampu menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga
negara juga harus memainkan peran komplementer.[5]
Negara harus
melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan dan inisiatif
sektor swasta, berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik, bersama
dengan insentif dan hukuman yang tepat, check
and balance untuk memperkuat basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah
lingkungan yang kondusif. Karena itu, telah dirasakan bahwa sistem ekonomi
kapitalis sekuler yang membedakan antara kesejahteraan material dengan masalah
ruhaniah banyak membawa masalah dalam distribusi kesejahteraan yang adil dan
seimbang di antara masyarakat.
Disinilah Islam melontarkan kritik
terhadap sistem ekonomi kapitalis yang bertanggung jawab
terhadap perubahan arah, pola dan struktur perekonomian dunia sekarang ini.
Perlu ada suatu kajian yang intensif
dalam memberikan alternatif pandangan, rumusan dan strategi pembangunan ekonomi yang lebih profetik dengan menggali inspirasi
nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, Hadis dan Sunnah, serta khasanah pemikiran para cendekiawan Muslim.
B. ISP dan Proyek Islamisasi Pengetahuan
Ilmu sosial, selama
ini telah terlanjur dikembangkan dengan satu asumsi yang sangat kuat
mempengaruhi perkembangannya, bahwa ilmu dan
agama adalah dua hal yang terpisah. Ilmu berada di satu wilayah, agama di
wilayah yang lain. Asumsi inilah yang hingga saat ini masih dengan begitu
fanatik dipegang oleh para ilmuwan sosial, terutama yang berhaluan positivis.
Walaupun tentu saja di sana-sini terdengar gugatan terhadapnya, yang tidak saja
berasal dari para ilmuwan sosial Muslim tapi juga dari para ilmuwan sosial
Barat yang menyadari arti penting integrasi agama dan ilmu sosial.
Tentu saja,
perkembangan peradaban modern dengan kapitalisme sebagai lokomotifnya kemudian memunculkan situasi perkembangan ilmu sosial semacam ini. Akibat
kemunculan peradaban modern yang diawali dengan konflik hebat antara ilmu
pengetahuan dan Gereja, ilmu sosial yang terlahir dari perhelatan ini kemudian
menolak agama sebagai bagian dari ilmu. Itu sebabnya, modernisme juga bisa kita
artikan defferentiation (pemisahan).[6]
Paradigma defferentiation inilah yang kemudian mewarnai perkembangan
ilmu sosial sampai hari ini. Setidaknya ada tiga
pengandaian dalam ilmu-ilmu sosial positivis.[7]
Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat
langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil
penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu
alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu
menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas
nilai.
Ketiga dasar
positivisme itu pun kemudian terbukti rapuh. Fenomena sosial tidak sama dengan
fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena
sosial adalah salah arah. Teori-teori yang tercipta juga tidak universal
sebagaimana klaim positivis, tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan
temporal di mana teori itu muncul. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu
sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap
nilai-nilai tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi
intelektual. Suatu ilmu sosial yang value free tidak pernah ada. Bahkan
David J. Gray menyatakan dengan sangat lugas, bahwa ilmu sosial yang bebas
nilai adalah “doktrin kemunafikan dan ketakbertanggungjawaban” (a doctrine
of hypocrisy and irresponsibility).[8]
Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial, baik Barat
maupun Timur, terhadap positivisme.
Klaim bebas nilai
menyebabkan ilmu-ilmu sosial hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren)
secara apa adanya tanpa melakukan pemihakan, atau memahami realitas (verstehen)
kemudian memaafkannya. Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa
kini. Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga,
dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi
kemungkinan perubahan ke masa depan.[9]
Karena itu teori yang mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga
memihak, memihak kemapanan. Salah satu perlawanan sengit terhadap logika
positivisme datang dari para penganut teori ktiris. Teori Kritis hendak
mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Karenanya,
di dalam teori kritis, terkandung muatan utopia tertentu yang menyebabkan
pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya tidak netral.
Dengan semangat inilah, Kuntowijoyo lalu melontarkan ide tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP
tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh
mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai
tujuannya. ISP tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami
realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita
yang diidamkan masyarakatnya. ISP kemudian
merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi
unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi,
liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari
misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imran, ayat 110.[10]
Kunto membaca ayat ini sebagai perintah untuk meperjuangkan humanisasi (amar
ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (beriman kepada
Tuhan). Tanpa melakukan kajian lebih jauh, tampaknya tak sulit menemukan
cita-cita profetik yang serupa dalam agama-agama lain. Namun ide ini bukannya
tidak menimbulkan kecurigaan, Kuntowijoyo dicurigai hendak
menjadikan ilmu kembali terpenjara dalam kekuasaan dogma-dogma agama seperti
yang pernah terjadi di masa lalu (Abad Pertengahan). Kekhawatiran seperti ini tentu saja sangat beralasan. Fakta menunjukkan
bahwa sebagian penganut ide integrasi agama dengan ilmu sosial cenderung
berpikir secara normatif. Cara berpikir seperti ini jelas tidak konstruktif,
bahkan akan mematikan perkembangan ilmu sosial itu sendiri. Ilmu sosial akan
muncul dengan wajahnya yang absolut.
Kita dapat
mengambil contoh ide islamisasi ilmu
sosial. Ide ini sejak awal membedakan secara tegas antara ilmu sosial sekuler
dan ilmu sosial Islam, seolah-olah ada ilmu sosial yang ahli surga dan ilmu
sosial lain yang penuh dosa. Kita tidak memungkiri bahwa ilmu sosial memang
berideologi atau kita boleh menyebutnya “beragama”. Teori Marxis misalnya,
“agamanya” adalah materialisme. Tapi dengan melakukan pembedaan antara ilmu
sosial Islam dengan ilmu sosial non-Islam atau sekuler akan berakibat pada
klaim kebenaran yang berlebihan dan menyebabkan sikap eksklusif yang tidak
berguna. Padahal kebenaran ilmu itu harus bersifat terbuka. Adanya kemungkinan Islamisasi
ilmu pengetahuan, menurut Mulyadi Kartanegara, dapat dilakukan jika kita mampu
menunjukkan adanya perbedaan teoritis yang fundamental antara teori ilmu (epistemology)
modern dan Islam.[11]
Bagi Kunto, ia tidak
lagi menggunakan istilah Islamisasi pengetahuan, namun lebih mendorong agar gerakan
intelektual umat melangkah lebih jauh, dan mengganti Islamisasi pengetahuan
menjadi pengilmuan Islam. Dari reaktif menjadi proaktif. Pengilmuan Islam
menurut Kunto adalah proses, sedangkan paradigma Islam adalah hasil, dan Islam
sebagai ilmu adalah proses dan hasil sekaligus.[12]
Dalam konteks yang berbeda, Kunto membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi
Islam dan Islamisasi ilmu.[13]
Pengilmuan Islam (yang dalam konteks ini disebut Kunto sebagai demistifikasi Islam)
adalah gerakan dari teks ke konteks, Islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks
ke teks, sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa
memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam perwujudan dari
keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur’an dan Sunnah).
Dalam beberapa
pembahasan Kunto, pengilmuan Islam terkadang sulit dibedakan dari Islamisasi
ilmu, dan tampaknya di tulisan-tulisan awalnya Kunto tak secara ketat
membedakan keduanya. Atau, penjelasan yang lebih memuaskan adalah bahwa Kunto
sesungguhnya telah mengubah posisinya mengenai gagasan Islamisasi ilmu, yang di
tahun 80-an dan 90-an merupakan gagasan yang amat populer di dunia Muslim.
Perubahan posisi Kuntowijoyo tampak cukup jelas dalam buku Islam Sebagai
Ilmu yang mengandung bab-bab yang ditulis pada 1991 hingga 2004. Sebagai
contoh, di bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi[14]
ia menyebutkan secara positif (dan eksplisit) upaya Islamisasi ilmu yang
dipahami sebagai upaya perumusan teori yang didasarkan pada paradigma al-Qur’an.[15]
Kunto juga tak bersepakat dengan Ziauddin Sardar[16]
yang mengkritik upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.[17]
Namun dalam tulisannya yang terbit pada 2002, ia menghadapkan pengilmuan Islam
sebagai alternatif bagi Islamisasi ilmu. Di pengantar buku itu, Kunto bahkan
secara tegas mengatakan, “… gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah
‘pengilmuan Islam'. Kita harus meninggalkan ‘Islamisasi pengetahuan'….”[18]
Di
tulisan-tulisan Kunto yang belakangan, tampak setidaknya ada dua pembedaan pengislaman
ilmu dengan pengilmuan Islam. Perbedaan pertama adalah dalam hal
metodologinya. Yang pertama tampaknya lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi
terhadap bangunan keilmuan yang sudah wujud, yang dipandang tak sesuai dengan
nilai-nilai Islam, dan ingin dikembalikan kepada Islam yang lebih dipahami
sebagai teks. Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka. Gerakan ini
dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular,
yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin
memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu kontemporer, namun mereka
tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekular.[19]
Berangkat dari keyakinan akan misi profetik agama (transendensi, emansipasi dan
humanisasi), yang diinginkannya adalah memastikan bahwa agama dapat memainkan
peran yang cukup besar dalam memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan
umat manusia. Salah satu kritik gerakan ini terhadap ilmu-ilmu sekular adalah
bahwa yang belakangan sedang terjangkiti krisis, dalam artian tak dapat
memecahkan persoalan.
Di sinilah
terletak perbedaan kedua dengan Islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam
sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja, salah satu tujuan utamanya
adalah mengkontekskan tek-teks agama, dengan kata lain, menghubungkan agama
dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah “membumikan Islam”.
Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara tentang ISP,
ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial ini bersifat transformatif. Jadi,
di satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu
sekular, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak
dinafikan, tapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang punya
keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi atau emansipasi,
liberasi, dan transendensi.[20]
Secara umum,
bagi Kunto, modal utama untuk memperbaiki ilmu-ilmu modern adalah agama. Agama
penting dilibatkan di sini justru karena keberpihakannya cukup jelas, yaitu
kepada kepentingan kemanusiaan. Namun, sekali lagi, ini mensyaratkan bahwa
agama lebih dulu diobjektifikasi, agar benar-benar bermanfaat untuk seluruh
umat manusia, tak hanya absah bagi pemeluknya. Dari pemaparan sejauh ini, perlu
diperhatikan bahwa meski Kuntowijoyo menyebut pengilmuan Islam sebagai
alternatif Islamisasi ilmu, gagasan ini tak bisa semata-mata ditempatkan dalam
rubrik “ilmu dan agama”. “Ilmu dan agama” biasanya berbicara tentang hubungan
ilmu dan agama (misalnya, pertanyaan mengenai apakah keduanya dalam konflik
atau harmoni? Bagaimana mengintegrasikan keduanya? Perlukah ilmu menjadikan
agama sebagai salah satu sumbernya?) Pengilmuan Islam sedikit banyak memang
berbicara tentang hubungan ilmu dan agama, tapi juga tentang bagaimana Islam
sebagai sebuah agama mesti dihayati muslim kontemporer. Untuk yang belakangan
ini, contoh-contoh terbaiknya justru berada dalam wilayah pembicaraan tentang
posisi muslim dalam ranah sosial-ekonomi Indonesia.
Pertama, melalui analisis tiga periode
yang diajukannya, pengilmuan Islam berusaha menjelaskan posisi umat Islam dalam
panggung sosial-ekonomi. Kedua, tak berhenti pada memberikan
penjelasan, pengilmuan Islam juga merupakan saran kemana umat Islam mesti
bergerak. Ketiga, secara lebih umum, pengilmuan Islam dapat dianggap
sebagai suatu teori sosial mengenai gerak sejarah umat Islam. Di sinilah
tampaknya kedua makna pengilmuan Islam bertemu yakni karakter ilmu sosial yang
digagas Kunto tak sekadar berhenti sebagai ilmu (yang fungsi utamanya adalah
menjelaskan fenomena/peristiwa), tapi punya ‘ambisi' melakukan transformasi.
Di pihak lain,
penolakan sebagian besar ilmuwan sosial-ekonomi terhadap ide untuk memasukkan agama sebagai bagian integral dalam ilmu
sosial-ekonomi sesungguhnya diam-diam bersifat normatif juga. Mereka ini yakin benar
bahwa satu-satunya kebenaran yang sah dalam ilmu sosial-ekonomi adalah kebenaran empiris, kebenaran yang berasal dari fakta-fakta yang
dapat terindera. Sikap seperti ini sama artinya dengan sikap normatif
eksklusif, menolak kemungkinan kebenaran lain. Karena itu menjadi penting bagi
kita untuk meredakan ketegangan di antara dua pihak yang saling
berhadap-hadapan ini. Di satu sisi kita ingin tetap membawa agama sebagai
bagian integral dari ilmu sosial, mengingat pentingnya hal ini bagi masa depan
kemanusiaan. Di sisi lain kita tidak ingin membawa-bawa pendekatan normatif
yang selama ini terbukti tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan
realitas.[21]
Kita tidak sepakat
dengan positivisme karena keinginannya mengabsolutkan kebenaran empiris dan
sifatnya yang kuantitatif. Kita juga tidak sepakat dengan ilmu sosial
interpretatif dalam semangatnya yang bebas nilai, memahami realitas lalu
membiarkannya apa adanya, tidak berpihak, walaupun kita setuju dengan sifat
interpretatifnya. Kita ingin ilmu sosial yang memiliki keberpihakan dengan
tujuan kemanusiaan sebagaimana teori kritis, sehingga ilmu sosial tidak hanya
mengabdi pada kepentingan status quo sosial di balik klaim bebas
nilainya. Tapi kita ingin sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu sosial kritis tidak
pernah berbicara tentang nilai-nilai agama sebagai bagian penting dari
kerja-kerja ilmiah theory building. Seolah-olah agama tidak dapat
memberikan kontribusi apapun dalam mengkonstruk bangunan teoritis ilmu sosial
yang bercorak emansipatoris.
Dari pemaparan di
atas, tampak bahwa ISP secara tegas menyebut landasan
nilainya yaitu berupa nilai-nilai Islam: humanisasi, liberasi, transendensi. Melalui pemihakan terhadap ilmu sosial yang perfeksionis, communitarian,
yaitu ilmu sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah obyek
penelitian, komunitas dan penolakan terhadap ilmu sosial empiris analitis yang
menghasilkan ilmu-ilmu yang nomologis[22]
ISP dengan demikian, tidak bermaksud mengkonstruksikan hukum-hukum yang
diasumsikan bersifat universal. Karenanya, ISP juga bersifat historis.
Inilah salah satu
perbedaan ide ISP dengan sebagian penganut ide Islamisasi ilmu sosial yang sering
didengungkan. Islamisasi ilmu sosial walaupun menolak klaim positivis dalam hal
netralitasnya, namun para penganjur Islamisasi ilmu sosial sering terjebak
dalam upaya untuk mengkonstruksi hukum-hukum sosial yang diakui universal. Para
penganut ide Islamisasi ilmu sosial meyakini ayat-ayat Tuhan yang dijadikan
landasan bagi konstruksi teori-teori sosial pasti benar dan bersifat universal,
karenanya teori yang dihasilkannya juga bersifat universal. Dalam pengertian
ini Islamisasi ilmu sosial sesungguhnya juga bersifat positivis. Sikap seperti
ini tentu saja kontradiktif. Di satu sisi para penganjur Islamisasi ilmu sosial
menolak klaim universal dari ilmu sosial barat (positivisme) beserta
motif-motif ideologisnya. Di sisi lain penolakan ini justru diikuti dengan
anjuran untuk merumuskan teori-teori sosial Islam yang bersifat universal.
Penolakan atas klaim universalitas teori-teori sosial positivis dinegasikan
sendiri oleh klaim universalitas teori sosial Islam.[23] Artinya baik ilmu sosial positivis maupun ide Islamisasi ilmu sosial,
melalui klaim universalitasnya, keduanya jatuh dalam sikap ideologis. Ini
berbeda dengan ISP. Ekonomi profetik meletakkan ayat-ayat Tuhan dalam konteks yang historis (berada
dalam pusaran ruang dan waktu) sehingga teori yang dihasilkan bersifat historis
juga.
Melalui humanisasi,
liberasi dan transendensi, ISP hendak menegaskan
posisinya, bahwa pengetahuan tidak terpisah dari kepentingan, teori tidak perlu
dipisahkan dari praksis. Kepentingan praksis ISP adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Ekonomi profetik, dengan
demikian sejak awal memang tidak hanya dimaksudkan untuk menjelaskan atau
memahami realitas sosial apa adanya, tapi lebih dari itu, ISP diusulkan untuk
kepentingan transformasi sosial menuju cita-cita profetis. Yang menjadikan
posisi paradigmatik ISP unik adalah bahwa ISP juga menjadikan transendensi sebagai bagian penting dari unsur
pembentuknya. Karena itu, nilai-nilai etik-relijiusitas menjadi penting sebagai bagian penting dari proses membangun ekonomi
dan peradaban manusia. Transendensi menjadi dasar dari
humanisasi dan liberasi, ini artinya proses-proses emansipatoris diletakkan dalam konteks transendensi.
C. Beberapa Gagasan Pokok ISP
Almarhum
Kuntowijoyo pernah membawakan kisah yang dikutipnya dari Bakdi Sumanto.
Alkisah, Pak Fulan bin al-Jawi, seorang pensiunan, duduk di kursi goyang sambil
memutar tasbihnya. Ia gelisah, “Apa yang kurang ya?” Pajak … sudah, zakat …
sudah, premi asuransi sudah, Takaful sudah…. Tiba-tiba ia teringat: Tuhan
menyuruhnya masuk Islam secara total. Padahal, mobil Kijangnya yang baru belum
masuk Islam. Ia pun mengambil gergaji dan jongkok di samping mobilnya. Ketika
ditanya istrinya, ia menjawab, “ternyata mobil kita belum masuk Islam. Maka
saya sedang menyunat, memotong ujung knalpotnya”[24]
Tak sembarangan
kiranya jika Kunto mengambil kisah ini untuk menggemakan peringatannya. Kisah
ini adalah satu sisi krusial dari beberapa persoalan besar yang ingin
dipecahkannya. Kunto ingin menemukan bagaimana janji Islam sebagai rahmat bagi
alam semesta dapat dijadikan kenyataan (rahmatan
lilalamin). Haruskah untuk itu Islam dijadikan ideologi? Atau paradigma
keilmuan? Haruskah hermeneutika diterapkan untuk memahami pesan al-Qur’an? Atau
strukturalisme? Kisah ini memang terkesan amat sinis, juga merupakan ilustrasi
amat kuat tentang bagaimana menjadikan Islam sebagai rahmat alam semesta dapat
dipahami sebagai gerakan “Islamisasi semua bidang kehidupan demi menjalankan Islam
kaafah” dalam wujudnya yang naif.
Sebagai seorang ilmuwan, Kuntowijoyo menggali pandangan-pandangan alternatif
yang berputar di sekitar beberapa konsep kunci: objektifikasi, pengilmuan Islam
(atau Islam sebagai ilmu), dan cita-cita profetik.
1. Pilar-Pilar Ilmu Ekonomi Profetik
Pilar-pilar Ilmu
ekonomi profetik yang dimaksudkan disini adalah pilar-pilar yang diderifasikan
dari rumusan Kunto dalam ISP. Kunto
merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang
sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya,
yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang
diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an
surat Ali Imran, ayat 110.
Unsur humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan
kebajikan. Dengan
demikian dalam ilmu ekonomi profetik, humanisasi
artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan,
kekerasan dan kebencian dari manusia[25] Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu
segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme
antroposentris, konsep humanisme Kunto berakar pada humanisme teosentris.
Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep
transendensi yang menjadi dasarnya. Humanisme
Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis
pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan
tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai
nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris
menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai
manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada
bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia.
Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup
dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi
dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi
penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya
yang semakin lama semakin tak terkendali.
Dengan rasio
sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan
eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji
rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap
alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya
telah ditulis dengan amat cerdas oleh Rene Descartes melalui “Cogito Ergo Sum”.
Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang
terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi
alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa
senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal.
Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses
humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.[26]
Kuntowijoyo lalu
mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk
mengangkat kembali martabat manusia.[27] Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi
tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan
peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi.
Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut
yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara),
agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).[28]
Dalam konsep Islam,
semua sistem kehidupan termasuk sistem ekonomi harus dibangun dengan sebuah
kebenaran, diambil dari sumber
yang benar, dikaji dengan benar dan diterapkan secara benar pula. Aqidah Islam
menuntut seorang muslim untuk berupaya mencari
kebenaran hakiki. Melalui metode rasional (metode aqliyah), seorang muslim akan menemukan tentang kebenaran adanya Allah Swt. Begitu pula ia akan mendapatkan bukti-bukti kebenaran bahwa Muhammad
adalah Rasulullah dan selanjutnya akan terbukti bahwa al-Qur’an adalah kalamullah. Sebagai kalamullah, akal manusia akan
mengatakan bahwa segala sesuatu yang tercantum dalam al-Qur’an pasti mengandung kebenaran mutlak.
Dengan gambaran
tegas humanisme teosentris Kuntowijoyo dan berbekal
informasi yang disampaikan dalam al-Qur’an, pandangan
manusia dapat diluruskan. Keterbatasan akal pikiran manusia kemudian dituntun
oleh kebenaran wahyu Allah. Allah menjelaskan berbagai potensi kehidupan
manusia berupa akal, kebutuhan jasmani dan naluri. Bingkai inilah yang
semestinya digunakan untuk dasar pengkajian tentang manusia. Jika demikian, perlukah untuk beralih dari pandangan Barat dan menjadikan
pandangan Islam tentang manusia sebagai landasan pengembangan ilmu sosial dan
ilmu ekonomi?
A. M. Saefuddin menilai bahwa pandangan ilmu ekonomi
tentang manusia sekarang ini sarat dengan kultur Barat sehingga perlu diganti
dengan homo Islamicus. Barat menetapkan manusia sebagai “homo economicus”[29]
(makhluk ekonomi), yang dalam hidupnya hanya memperhatikan kepada materi
belaka, tidak peduli soal moral maupun agama. Mereka hanya memperhatikan
keuntungan materi dengan prinsip “mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin
dengan biaya seminimal mungkin”. Ini merupakan pandangan yang materialistik
sekuleristik. Meski demikian, ada saja golongan yang keberatan terhadap gagasan
implementasi pandangan Islam mengenai manusia dalam penelitian sosial dengan
mengemukakan alasan bahwa pandangan yang diajarkan oleh agama atau budaya
tertentu merupakan value-judgement yang tidak berlaku universal.
Unsur kedua adalah
liberasi. Liberasi adalah pemaknaan kreatif dari nahi munkar. Liberasi dalam ilmu ekonomi profetik sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori
ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja ilmu
ekonomi profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana
komunisme. Liberasi ekonomi profetik adalah dalam
konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika
nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran
teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam ilmu ekonomi profetik dipahami dan
didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk
membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi
struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika Marxisme
dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif,
ilmu ekonomi profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada
nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan
menjadi ilmu yang obyektif-faktual.[30]
Bidikan liberasi
ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan
penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari
ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi
menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada
realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap
sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri
berpikir berdasarkan mitos. Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi,
yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang
membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai
makhluk yang merdeka dan mulia.
Unsur ketiga ilmu ekonomi profetik adalah transendensi. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi
diderivasikan dari tu’minuna bi Allah (beriman kepada Allah).
Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai
bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama
(nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral, dalam ilmu ekonomi profetik. Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya
gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia
antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri.
Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa
diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio
menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai
hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.
Di sinilah
transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan
mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang
sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan
maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai
transendental keTuhanan inilah yang akan
membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan. Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi
memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan.
Transendensi dalam ilmu ekonomi profetik di samping
berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga
berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat
diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada
kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari
kesadaran materialistik
menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi
tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.
2. Ketegangan Dialektis Antara Structure dan Superstructure
Surat Ali Imran
(3): 110 selain menjadi landasan Kuntowijoyo dalam merumuskan tiga unsur ISP juga menginspirasikan akan pentingnya kesadaran dalam proses-proses
sejarah. Nilai-nilai ilahiah (amar ma’ruf, nahi munkar) menjadi
tumpuan aktifisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam dari
etika materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstructure
(kesadaran) ditentukan oleh structure (basis material) bertentangan
dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran.[31] Dengan ini ilmu ekonomi profetik berniat
untuk menjadi paradigma baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan
kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran)
dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure.[32]
Feminisme menyatakan bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran.[33]
Ilmu ekonomi profetik membalikkan
rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis
material (structure). Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan begitu
banyak pengaruhnya dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora.
Dari sini, ada
juga sebagian kalangan yang menyebutnya sebagai Hegellianisme Relijius. Mereka
beranggapan bahwa pandangan Kuntowijoyo ini tidak jauh beda dengan paham
idealisme para penganut Hegel. Namun ada perbedaan mendasar yaitu bahwa dalam
idealisme Hegellian, kesadaran rasional (ruh absolut) merupakan motor penggerak
sejarah umat manusia, sedang dalam paradigma ilmu ekonomi profetik, kesadaran
yang menggerakkan sejarah adalah kesadaran yang didasarkan pada nilai-nilai
ilahiah.[34] Jika
demikian apakah ini berarti Kuntowijoyo menganut konsep determinisme? Ilmu ekonomi selama ini terombang-ambing di antara dua kutub ekstrem determinisme.
Marxisme-Sosialisme menganut determinisme materi dengan konsepnya bahwa structure menentukan
superstructure, sedangkan para pendukung
Weberian-Kapitalisme menganut determinisme kesadaran. Weber
meyakini bahwa kesadaran independen dari basis material, karenanya ide bisa
menggerakkan perubahan.[35] Sepintas kita melihat bahwa ilmu ekonomi
profetik dekat dengan konsep Weber ini. Tapi tampaknya
kesan ini keliru karena Kuntowijoyo sesungguhnya juga mengakui adanya kesadaran
material. Kesadaran material adalah kesadaran yang ditentukan oleh basis
materialnya.[36]
Pandangan
deterministis, baik determinisme material maupun determinisme kesadaran,
sama-sama ahistoris dan bersikap apriori terhadap realitas. Dalam logika
Marxis, structure itu bersifat obyektif, dalam arti independen dari
kehendak (subyektifitas, kesadaran) manusia. Karena itu kesadaran, kehendak,
dan subyektifitas manusia (superstructure) menjadi tidak bermakna karena
structure menentukan superstructure. Subyektifitas manusia
ditundukkan di bawah obyektifitas-obyektifitas material. Dalam kenyataannya,
tidak pernah ada sebuah penundukan yang berlangsung secara total. Obyektifitas
material memang seringkali sangat hegemonik, tapi subyektifitas tidak pernah
benar-benar mampu ditundukkan secara total. Selalu ada ruang-ruang
emansipatoris bagi subyektifitas kesadaran manusia untuk keluar dari hegemoni
materi. Sebaliknya, logika determinisme kesadaran akan menyatakan bahwa
subyektifitas, ide, dan kesadaran itulah yang akan menentukan structure (basis
material) karena superstructure menentukan structure. Pandangan
ini menafikan realitas bahwa terdapat orang-orang yang kesadarannya bersifat
sangat materialistis. Kesadaran material adalah kesadaran yang sangat kuat
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi materialnya. Karena itu, kedua bentuk
determinisme itu sama-sama bermasalah, karena realitas sesungguhnya bersifat
dialektis, tidak deterministik. Realitas sosial berjalan di atas ketegangan
dialektis antara structure dan superstructure, antara basis
material dan kesadaran, antara obyektifitas material dan subyektifitas
manusiawi.
Ilmu ekonomi profetik tidak boleh
terjebak dalam logika deterministik yang bersikap apriori terhadap realitas.
Artinya untuk menentukan apakah dimensi material ataukah kesadaran yang saat
itu lebih berperan, ilmu ekonomi profetik hendaknya mendasarkan diri pada pengamatan empiris atas realitas. Karena
realitas itu terlalu kompleks untuk dijelaskan melalui konsep deterministik.
Pandangan deterministik justru akan memaksa realitas untuk mengikuti teori,
sedang teori seharusnya berdasar realitas, bukan sebaliknya. Walaupun demikian, penting bagi ilmu ekonomi profetik untuk tetap
memiliki keberpihakan etis sehingga dapat tetap memainkan fungsi kritisnya
dalam menghadapi realitas. Dalam konteks inilah kita dapat menyetujui
pernyataan Kuntowijoyo bahwa kesadaran diletakkan di atas basis material,
karena Islam mengidealkan fungsi kritis kesadaran dalam proses transformasi
sosial.[37]
D. Menuju Sistem Ekonomi Profetik
Ekonomi profetik disini kita
maksudkan sebagai ekonomi dengan berparadigma ISP. Dengan demikian kita dapat
menggariskan beberapa hal. Pertama,
bahwa ekonomi profetik memiliki
tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan
transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi
arah, bidang atau lapangan penelitian. Kedua, secara epistemologis, ekonomi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu
realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang
memandang wahyu sebagai bagian dari mitos. Ketiga, secara metodologis ekonomi profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan
positivisme. Ekonomi profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim
bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Ekonomi
profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya
menjelaskan atau memahami realitas lalu memaafkannya. Ekonomi profetik tidak hanya memahami tapi juga punya cita-cita transformatif
(liberasi, humanisasi dan transendensi). Keempat, ekonomi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure)
menentukan basis material (structure).
Barangkali yang
menyebabkan ekonomi profetik menjadi
problematis dan kontroversial adalah posisi epistemologisnya yang juga mengakui
wahyu sebagai bagian sah dari sumber pengetahuan. Kontroversial, karena ilmu ekonomi modern sudah terlanjur mencampakkan wahyu dalam kategori mitos atau
metafisika yang tidak mempunyai dasar empiris. Problematis, karena ide ini
dapat saja serta merta dipahami oleh para penganutnya dalam perspektif
teologis-normatif, sehingga kita akan susah membedakan mana teologi, mana
empiris, mana normatif. Dalam konteks ini, ekonomi profetik memiliki
sebuah agenda besar yakni rekonstruksi
epistemologis.
Rekonstruksi
epistemologis tersebut harus mampu membongkar akar-akar pemisahan wahyu dari wilayah
ilmu pengetahuan dan selanjutnya membuktikan bahwa wahyu sesungguhnya dapat
secara sah menjadi bagian dari epistemologi ilmu ekonomi. Dalam hal ini,
tulisan Louay Safi,[38]
mampu membuktikan melalui penelaahan terhadap sifat-sifat wahyu, rasionalitas, dan
kualitas bukti yang diajukannya, bahwa penolakan terhadap wahyu sebagai sumber
pengetahuan sesungguhnya didasarkan pada alasan-alasan absurd dan artifisial,
dibuat-buat dan bahwa konflik wahyu versus ilmu pengetahuan bukanlah konflik
imperatif ataupun universal, tapi khas Barat. Karenanya, Safi menyatakan bahwa
berbagai upaya untuk mereproduksi konflik ini dalam kebudayaan muslim adalah
artifisial belaka dan didorong oleh keinginan irrasional untuk berjalan di atas
landasan kebudayaan lain. Disamping itu, rekonstruksi epistemologis juga harus mampu menyediakan dasar-dasar
metodologis untuk dapat membawa masuk wahyu ke dalam kancah ilmu ekonomi. Untuk keperluan ini, pendekatan teologis-normatif yang selama ini telah
begitu hegemonik di benak kita harus dirubah ke arah pendekatan
empiris-faktual.[39]
Orientasi teks harus diubah ke arah orientasi realitas. Gagasan Kuntowijoyo
tentang methodological objectivism atau obyektifikasi dapat dipahami
dalam konteks ini.
Yang agak
mengherankan dari pemikiran Kuntowijoyo adalah gagasannya tentang paradigma al-Qur’an untuk perumusan teori. Dalam banyak tulisan mengenai ISP, gagasan ini dapat dipandang sebagai
salah satu dasar dari ide ilmu ekonomi profetik. Yang kita
permasalahkan adalah posisi Kuntowijoyo dalam merumuskan gagasannya ini
tampaknya belum beranjak dari pendekatan teologis. Kuntowijoyo menyatakan, apa
yang disebutnya sebagai paradigma al-Qur’an itu tak lain adalah mengakui adanya struktur transendental sebagai
referensi untuk menafsirkan realitas. Maksudnya adalah pengakuan mengenai
adanya ide murni yang bersifat adimanusiawi atau bangunan ide transendental
yang bersifat otonom dan sempurna. Persis di sinilah gagasan ini menjadi
teologis karena masih mengasumsikan kesempurnaan ide dan sifatnya yang dari
Tuhan. Konsekuensinya adalah wahyu itu dalam ilmu ekonomi profetik diposisikan
lebih tinggi daripada realitas atau rasio. Dengan demikian ilmu ekonomi
profetik jatuh ke dalam sikap teologis atau dogmatis.[40]
Dalam teologi,
asal-muasal wahyu serta kesempurnaan ide Tuhan itu menjadi bagian yang sangat
penting bagi iman. Demikian juga perdebatan mengenai posisi wahyu terhadap
rasio menjadi bagian penting dari wacana teologis. Dalam ilmu ekonomi, ini semua tidak relevan. Ilmu ekonomi tidak mempermasalahkan dari mana wahyu itu berasal tapi apa yang dikatakan
wahyu itu tentang realitas. Klaim kesempurnaan ide transendental itu, walaupun
dalam teologi penting, dalam ilmu ekonomi tidak lagi relevan, karena apa yang kita sebut sebagai ide Tuhan itu
sesungguhnya telah melalui proses pemahaman yang sepenuhnya bersifat manusiawi.
Karena itu, ilmu ekonomi tidak berbicara tentang kebenaran ide Tuhan yang ada
di benak Tuhan itu sendiri tapi berbicara tentang penafsiran relatif manusia
atas ide Tuhan yang dapat saja direkonstruksi, direvisi, difalsifikasi atau
bahkan ditolak tanpa harus takut dianggap menolak Tuhan karena yang sedang kita
permasalahkan adalah penafsiran manusia yang sifatnya relatif. Ilmu sosial juga
tidak perlu menganut hierarkhi antara wahyu, realitas dan rasio. Karena itu ilmu ekonomi tidak
mempermasalahkan hierarkhi epistemologis tapi apa yang dinyatakan oleh wahyu,
realitas dan rasio.[41]
Ketiga sumber
pengetahuan ini (wahyu, realitas empiris dan rasio) dalam ekonomi
profetik harus diletakkan secara dialektis, karena itu
wahyu tidak dapat dilepaskan dari realitas. Wahyu yang lepas dari realitas
hanya akan menjadi ide abstrak yang tidak berhubungan dengan realitas
kemanusiaan. Wahyu haruslah senantiasa dipahami dalam relasinya dengan realitas
empiris. Karena keterkaitan yang tak terpisahkan dengan realitas maka
teori-teori ekonomi yang tercipta menjadi bersifat temporal. Ide-ide dalam kitab suci, secara
teologis, memang diyakini bersifat universal dan abadi, tapi sepanjang dalam
kaitannya dengan konteks sosio-ekonomis-historis
yang khusus maka makna yang terbentuk darinya menjadi temporal. Pemahaman
seperti ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa yang akan datang, tapi
dikaitkan dengan realitas kontemporer di mana ia muncul.[42] Memang kadang ia berhubungan dengan masa lalu melalui analisis-analisis
historis tapi dalam konteks ini masa lalu hanya penting dalam rangka
memperjelas realitas kekinian. Jika berbicara tentang masa depan, itupun
sebatas pada mempersiapkannya sebagai bentuk muatan utopis dalam teori ekonomi yang berfungsi kritis.
Dari sini lalu
muncul persoalan lain, dari manakah kita mesti memulai, dari realitas atau dari
ide? Para
ekonom positivistik meyakini dengan sepenuh hati bahwa kita
harus memulai dari realitas karena realitaslah yang merupakan sumber valid dari
aktivitas
ekonomi. Tapi benarkah kita dapat sepenuhnya berangkat dari
realitas? Karena
dalam kenyataannya, kita tidak bisa melakukan aktifitas
ilmiah dalam ruang hampa tanpa ide. Seorang peneliti tidak dapat masuk dalam
realitas dalam kondisi vacuum tanpa konsep apapun. Walaupun konsep itu
tidak dinyatakan secara eksplisit, tapi disadari atau tidak, otak manusia
adalah konstruksi dari berbagai macam ide yang membentuk cara berpikirnya.
Karena itu ide tidak bisa dilepaskan begitu saja. Jadi ide dan realitas adalah
dialektis. Realitas mempengaruhi ide, ide juga ikut berperan dalam mengkonstruk
realitas. Kita tidak perlu bersikukuh untuk berangkat dari realitas karena pada
dasarnya otak kita tidak pernah sepi dari ide. Ide dan realitas harus didialektikakan
dalam proses penelitian ekonomi.
1. Dari Mana Memulai?
Satu hal yang kemudian perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa
mengembangkan ilmu atau peradaban apapun di dalam kondisi vacuum. Artinya,
keinginan kita untuk mengembangkan sebuah alternatif pemikiran tidak bisa
dilakukan dengan jalan memencilkan diri dan memisahkan diri dari konstelasi
besar ide, gagasan dan peradaban dunia. Keinginan untuk mengembangkan ekonomi lepas dari paradigma-paradigma yang selama ini telah berkembang adalah
sebuah sikap yang ahistoris dan irrasional yang hanya akan menjadi
kontraproduktif. Baik kapitalisme maupun sosialisme adalah khazanah yang terlalu berharga untuk kita tinggalkan begitu saja.
Dalam konteks ini, Barat dan Timur, Islam dan di luar Islam, adalah kategori-kategori
yang tidak relevan.
Sikap paling bijak
adalah menjadikan gagasan-gagasan yang berkembang dalam ekonomi
modern sebagai sarana untuk memperkaya dan kemudian
mencari sintesis-sintesis alternatif yang lebih sesuai dengan konteks keIndonesiaan dengan seperangkat kekhasan sosial budayanya, sebagaimana yang dilakukan Kuntowijoyo selama ini. Bahkan, kita
juga dapat menjadikan beberapa gagasan dalam ilmu ekonomi yang berkembang sebagai pijakan awal dalam mengembangkan ekonomi profetik. Teori kritis misalnya, telah berbicara tentang banyak hal.
Misalnya saja, kita bisa belajar dari teori kritis bahwa untuk mengembangkan
ilmu ekonomi yang tidak membedakan antara teori dan praksis, antara ilmu dengan
kepentingan kemanusiaan, kita perlu merumuskan konsep praksis seperti apa yang
pas. Jika Marxisme mendasarkan praksisnya pada konsep kerja, teori kritis (generasi
kedua, Habermas) mendasarkannya pada konsep komunikasi, maka ekonomi profetik
sebagai ilmu sosial yang berorientasi praksis pun harus merumuskan konsep
praksisnya, apakah akan mengambil gagasan Habermas atau akan menawarkan sesuatu
yang lain? Transendensi misalnya, dapat kita jadikan sebagai salah satu
alternatif konsep praksis itu.
Singkatnya, kita
ingin menjadikan ekonomi profetik sebagai
bagian dari perkembangan paradigma ekonomi modern dan bukan lepas darinya, tentu saja dengan kekhasan alternatif dan
solusi yang hendak kita tawarkan. Untuk
itulah, kita perlu merumuskan agenda apa yang akan kita lakukan. Pada
prinsipnya ekonomi
profetik memiliki beberapa urutan agenda sebagaimana
terlihat pada bagan di bawah ini: Paradigma –>
Konstruk Teori –> Praxis –> Transformasi Ekonomi.
Jika kita mengacu
pada agenda
tersebut tampaknya konsep ekonomi profetik masih berkutat pada wilayah paradigma. Karena itu setidaknya ada tiga
agenda penting yang harus kita lakukan untuk mengembangkan ekonomi profetik yaitu teorisasi, praxis dan
transformasi sosial ekonomi. Kita perlu
menekankan teorisasi karena
selama ini, umat Islam ini miskin teori. Kita lebih banyak berkutat pada
masalah-masalah normatif-teologis. Akibatnya
kita tidak paham realitas karena kita tidak memiliki perangkat teoritis untuk
memahaminya. Konsepsi normatif-teologis seringkali
berbeda, bahkan tak jarang berseberangan dengan realitas. Itu sebabnya, umat Islam
kerap kebingungan ketika berhadapan dengan realitas yang ternyata tidak selalu
sesuai dengan apa yang dikonsepkan secara normatif.
Selanjutnya adalah praxis.
Untuk keperluan ini, kita memerlukan sebuah konsep praxis. Praxis adalah
konsep sentral bagi teori-teori yang mencari pertautannya dengan kehidupan
sosial karena pemahaman tentang praxis menentukan bagaimana suatu teori
dengan maksud praktis dilaksanakan.[43]
Ini adalah salah satu agenda besar yang harus dikaji lebih lanjut oleh ekonomi profetik. Ekonomi profetik untuk dapat
mewujudkan cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi perlu merumuskan
konsep praxis seperti apa yang hendak ia gunakan. Terakhir, sebagai konsekwensi teoritis ilmu ekonomi profetik, kita juga perlu transformasi sosial-ekonomi. Umat Islam selama
ini tidak memiliki kesadaran historis, sehingga selalu mengulang
persoalan-persoalan lama. Cara berpikir ideologis misalnya, sampai saat ini
masih kental di kalangan umat Islam, bahkan masih ada yang tenggelam dalam cara
berpikir mitis dan magis, padahal kita sudah sampai pada zaman ilmu (mengikuti
periodesasi sejarah Indonesia versi Kuntowijoyo: mitos, ideologi dan ilmu).
Untuk itu ilmu
ekonomi profetik harus terlibat aktif dalam aktifisme sejarah untuk
melakukan proses transformasi dan arah ekonomi Indonesia menuju tatanan masyarakat yang lebih humanis, liberatif dan
transenden.
Untuk keperluan
transformasi, ekonomi
profetik perlu merumuskan kelompok sasarannya. Pada
Marxisme, teorinya dialamatkan kepada kaum proletariat sebagai ‘jantung hati
revolusi’. Generasi pertama teori kritis mengalamatkan teorinya pada
cendekiawan dan mahasiswa karena mereka tak lagi menaruh harapan pada kaum
proletar. Habermas mengalamatkan teorinya pada rasio manusia yang berpihak.
Habermas memang tidak menunjuk suatu golongan tertentu dalam masyarakat sebagai
kelompok sasarannya, tapi rasio yang memihak itu akan menunjukkan siapa yang
harus dibebaskan.[44]
Ekonomi
profetik, juga perlu merumuskan
sasarannya. praksis, liberasi, humanisasi, dan transendensi memerlukan identifikasi sasaran
untuk dapat menjadi praktis. Konsep praxis dan kelompok sasaran ekonomi profetik adalah dua hal yang penting untuk dapat mewujudkan teori ekonomi profetik ke dalam kenyataan ekonomi.
2. Posisi Paradigmatik Ilmu Ekonomi
Profetik
Agak susah untuk
mendefinisikan posisi paradigmatik ekonomi profetik, karena ekonomi profetik sendiri sesungguhnya masih merupakan sebuah tawaran yang akan
dilihat kemungkinannya di masa depan. Dengan demikian bangunan ekonomi profetik itu sendiri
masih tampak sangat kabur. Meskipun demikian kiranya penting untuk mencoba
menentukan ke mana arah gerak dari ekonomi profetik ini di masa depan.
Jika kita mengikuti
pembagian Ritzer, ekonomi profetik tampaknya bergerak diantara dua kutub: kutub paradigma fakta sosial
dan kutub paradigma definisi sosial. Melalui pandangan dialektis antara structure
dan superstructure ekonomi profetik agaknya
sesuai dengan tiga prinsip dialektika masyarakat yang dikemukakan Peter L.
Berger yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.[45]
Berger
dalam konteks ini ingin menggambarkan proses yang melalui tindakan dan
interaksinya manusia menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang
dimiliki bersama, yang dialami secara faktual objektif dan penuh arti secara
subjektif. Realitas sosial yang dialami manusia sehari-hari, dengan demikian,
dikonstruksikan secara sosial (socially
constructed). Menurut Berger, masyarakat itu sendiri, dengan berbagai
institusinya, diciptakan dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan
interaksi manusia.[46]
Dengan
eksternalisasi, dimensi internal subyektif terus-menerus dicurahkan keluar
kedirian manusia dalam bentuk perilaku sosial untuk membentuk kebudayaan.
Kebudayan terbentuk ketika dimensi internal subyektif telah menjelma menjadi
faktisitas yang bersifat eksternal dan obyektif. Inilah yang disebut dengan
obyektivasi. Kesadaran (superstructure) adalah bagian dari dimensi
internal subyektif. Karena itu, melalui eksternalisasi, kesadaran ikut
menentukan kebudayaan dan menggerakkan perubahan. Dengan internalisasi, manusia
menyerap kembali dimensi eksternal obyektif yang ada di sekitarnya ke dalam
struktur kesadaran subyektifnya. Basis material (structure) adalah
bagian dari dimensi eksternal obyektif. Karena itu, melalui internalisasi,
basis material ikut menentukan kesadaran. Dengan demikian structure dan superstructure,
dalam proses-proses ekonomi,
berdialektika melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.
Dengan cara pandang ekonomi profetik mengakui bahwa makna subyektif atau kesadaran (paradigma definisi
sosial) dan fakta-fakta obyektif -termasuk
diantaranya basis material-(paradigma fakta
sosial), adalah dua hal yang menyebabkan munculnya realitas sebagaimana
diungkap Berger dan Thomas Luckmann.[47]
Dialektika antara kesadaran dan basis material ini menunjukkan bahwa ekonomi
profetik mengakui adanya fakta-fakta sosial ekonomi
yang bersifat eksternal dan koersif (paradigma fakta
sosial), sekaligus mengakui adanya makna-makna subyektif (kesadaran) yang
dibangun individu dalam proses-proses sosialnya (paradigma definisi sosial).
Ekonomi profetik juga dekat dengan paradigma teori kritis mazhab Frankfurt. Max
Horkheimer mencirikan teori kritis dengan pertama, teori kritis bersifat historis, artinya dikembangkan
berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Teori
kritis tidak bermaksud menentukan hukum-hukum universal yang berlaku di segala
masa dan tempat. Kedua, teori kritis bersifat kritis terhadap dirinya
sendiri. Teori kritis mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi,
kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri, bukan pada sikap netral. Ketiga,
teori kritis memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Keempat,
teori kritis itu merupakan teori dengan maksud praktis. Ketidaknetralan teori
kritis itu terletak pada pemihakannya pada praksis sejarah tertentu. Pemihakan
itu terdapat dalam tujuan teori kritis yaitu pembebasan manusia dari
perbudakan, membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka
dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subyek yang mengolah sendiri kenyataan
sosialnya. Dengan demikian, teori kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan
aktual dengan referensi pada tujuannya. Jadi teori kritis mengandung muatan
utopia tertentu sehingga tidak netral. Teori kritis adalah teori dengan maksud
praksis emansipatoris.
Melalui humanisasi,
liberasi dan transendensi, ekonomi profetik hendak menegaskan posisinya. Sebagaimana teori kritis, ekonomi profetik juga
dimaksudkan untuk kepentingan praksis emansipatoris. Dengan sendirinya, dapat
disimpulkan, ekonomi profetik berpendapat
bahwa pengetahuan tidak terpisah dari kepentingan, teori tidak perlu dipisahkan
dari praksis. Kepentingan praksis ekonomi profetik adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Ekonomi profetik
sejak awal memang tidak hanya dimaksudkan untuk menjelaskan atau memahami
realitas sosial-ekonomi apa adanya, tapi lebih dari itu, ekonomi profetik
diusulkan untuk kepentingan transformasi sosial-ekonomi menuju cita-cita
profetis. Yang menjadikan posisi paradigmatik ekonomi profetik menjadi
unik adalah bahwa ekonomi profetik juga menjadikan transendensi sebagai bagian penting dari unsur
pembentuknya. Karena itu, dalam ekonomi profetik, nilai-nilai etik-relijius menjadi
penting sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban manusia.
Transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi, ini artinya
proses-proses emansipatoris dalam ekonomi profetik diletakkan dalam konteks transendensi
E. Sistem Ekonomi Profetik atau Sistem
Ekonomi Islam
Sebagai sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga
saat ini masih dalam suatu proses pencarian body of science-nya.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka pencarian tersebut, salah satunya
adalah dengan mengkaji ulang sejarah perekonomian dan umat Islam masa lalu,
merekonstruksi pemikiran para tokoh (ekonomi) Islam dan kemudian memberikan
interpretasi-interpretasi kritis terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.
Proses interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi
Islam di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan
kontra terhadap terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen
teoritisnya maupun perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan
itu juga melahirkan berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam,
dari yang bersifat liberal hingga radikal.
Lazimnya sebuah pemikiran, ide dan gagasan Islamisasi
ekonomi ternyata tidak sepenuhnya di-amini semua pihak, bahkan tidak
sedikit pula yang menolak, terutama dari kalangan yang cenderung pada ide
sekularisasi, seperti misalnya Kuntowijoyo. Jika kita petakan, penolakan
terhadap ide Islamisasi ekonomi dikarenakan oleh beberapa alasan, antara lain:[48]
pertama, Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan (termasuk ilmu ekonomi)
selalu sarat dengan nuansa ideologis-keagamaan (Islam). Dalam hal ini terkesan
adanya pemaksaan untuk menurunkan prinsip-prinsip agama merasuk ke dalam ranah
ilmu pengetahuan. Di sini muncul problem "obyektifitas",
"empirik", "kritis" dan "sekular" yang menjadi
ciri khas ilmu berhadapan dengan "ketundukan", taken for granted, dan
"imani" yang menjadi syarat dalam agama.[49]
Jelas sekali bahwa bagi para penolak ide Islamisasi ekonomi, integrasi kedua
paradigma yang berbeda tersebut tidak dimungkinkan, bahkan cenderung
berseberangan. Kedua, pada dasarnya Islam adalah sebuah sistem norma
universal, di mana teks-teks keagamaan mempunyai cakupan menyeluruh tanpa
mengalami sekat-sekat budaya, waktu, geografis bahkan ilmu. Karena itu Islamisasi
ekonomi dinilai bertentangan dengan prinsip universal tersebut.
Ketiga, sudah menjadi
tradisi di kalangan pemikir ekonomi Islam bahwa aspek historis menjadi
pertimbangan penting ketika hendak membangun pondasi ilmu ekonomi Islam. Dalam
hal ini, praktek mu’amalah yang berlangsung pada era Islam klasik
(periode Nabi dan Sahabat) dijadikan rujukan untuk menunjukkan bahwa ekonomi Islam
sudah ada dan mempunyai landasan empirik sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi,
ini pula yang menjadi keberatan pihak yang menolak Islamisasi ekonomi.[50]
Sikap "retrospeksi" para "ekonom Islam" dinilai terlalu
berlebihan dan cenderung pada "romantisme sejarah" karena terlalu
mengidealkan sejarah masa lalu tetapi tidak diikuti upaya rekonstruksi yang
memadai. Terbukti bahwa sampai saat ini belum ditemukan tulisan yang secara
obyektif dan komprehensif memberikan gambaran utuh tentang sejarah ekonomi umat
Islam klasik. Selain itu, keberatan terhadap idealisasi sejarah ekonomi umat Islam
klasik juga dikarenakan adanya perbedaan konteks budaya, peradaban dan sistem
sosial-ekonomi ketika itu (praktek ekonomi Islam klasik dianggap sebagai
refleksi budaya dan sistem sosial-ekonomi masyarakat Arab pra Islam), dengan
budaya dan sistem sosial-ekonomi sekarang ini.
Sedangkan dalam konsep ekonomi profetik, Kuntowijoyo
merumuskannya melalui tiga pilar yakni humanisasi sebagai
ontologi, liberasi sebagai epistemologi dan transendensi sebagai aksiologi. Melalui
tiga pilar ilmu ekonomi profetik ini, kita dapat mengetahui bahwa suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagai
rukhul Islam atau the spirit of Islam sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imran, ayat 110. Ayat ini harus dibaca sebagai perintah untuk meperjuangkan
humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan
transendensi (beriman kepada Tuhan). Hal ini tampak sangat jelas merupakan
abstraksi pemahaman ajaran agama Islam Kunto secara menyeluruh dan mendalam.
Semangat ini juga mencerminkan cara hidup atau way of life kaum Muslimin yang telah diatur dengan aturan yang
telah baku, terutama dari al-Qur’an maupun Sunah.
Berangkat dari keprihatinannya atas gagasan Islamisasi
pengetahuan yang cenderung reaktif inilah, Kuntowijoyo menawarkan suatu
penyikapan baru perihal hubungan antara agama (Islam) dan ilmu. Dan meskipun
Kunto tidak menggunakan istilah Islamisasi pengetahuan, namun lebih mendorong
agar gerakan intelektual umat melangkah lebih jauh, dan mengganti Islamisasi
pengetahuan menjadi pengilmuan Islam. Dari reaktif menjadi proaktif.[51]
Ikhtiar keilmuan ini memiliki tiga sendi, yakni (1) pengilmuan Islam sebagai
proses keilmuan yang bergerak dari teks al-Qur’an menuju konteks sosial dan
ekologis manusia, (2) paradigma Islam adalah hasil keilmuan (yakni paradigma
baru tentang ilmu-ilmu integralistik, sebagai hasil penyatuan agama dan wahyu),
dan (3) Islam sebagai ilmu yang merupakan proses sekaligus sebagai hasil. Atas
gagasan yang dilontarkannya ini, Kuntowijoyo pun mengajak intelektual Islam
untuk mengganti Islamisasi pengetahuan menjadi pengilmuan Islam.
Dengan modal dasar rukhul Islam dan postulat dari al-Qur’an
maupun Sunah itulah kita selanjutnya membangun ilmu ekonomi profetik. Yang pada
akhirnya mengantarkan kita sampai pada kesimpulan bahwa perbedaan pengilmuan Islam
dengan Islamisasi ilmu -mengikuti Kunto- terletak dalam beberapa hal. Pertama,
pengilmuan Islam lebih terbuka terhadap ilmu-ilmu sekular. Kedua, Islamisasi
ilmu lebih bersifat reaktif dan normatif (mengembalikan konteks ke teks) dan
memberikan perhatian lebih rendah pada kondisi aktual empiris. Ketiga,
pengilmuan Islam (dalam wujudnya sebagai ISP) lebih menekankan pada
berkeinginan untuk memberikan arah etis bagi transformasi kondisi empiris itu.
F. Kajian Pendekatan Ilmu Ekonomi Profetik
Membaca tulisan-tulisan Kuntowijoyo, setidaknya
terdapat pandangan bahwa ekonomi profetik juga harus dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai oleh prinsip-prinsip etika relijius,
dan berorientasi pada ketiga pilar penyangganya, humanisasi, liberasi dan
transendensi. Dalam tataran paradigma seperti
ini, para ekonom pendukung ekonomi profetik belum satu kata, atau bahkan masih
menawarkan yang
akan dilihat kemungkinannya di masa depan. Mayoritas para pendukung ekonomi profetik sepakat
mengenai dasar pilar atau fondasi filosofis sistem ekonomi profetik ini, namun ketika dipertanyakan lebih lanjut: apa dan bagaimana ekonomi profetik itu? Di sinilah
terjadi perbedaan, sehingga ada yang menggolongkan ekonomi profetik juga merupakan
bagian integral dari sistem ekonomi Islam, karena ia dibangun atas dasar
filosofis dan paradigma sistem al-Qur’an dan Sunnah, atau nama lain ekonomi
Islam.
Bagi Kunto, penelitian-penelitian
sosial berdasarkan ilmu profetik hendaknya memiliki prioritas sendiri, yakni
guna memecahkan persoalan umat menghadapi masyarakat industri (masyarakat kota,
masyarakat global, masyarakat pengetahuan, masyarakat abstrak). Dalam format
penelitiannya dapat mengambil bentuk penelitian teoritis-analitis yakni dengan
menghadapkan al-Qur’an dengan realitas sosial, misalnya Islam dengan
industrialisasi ekonomi, Islam dan kelas sosial ekonomi, dan Islam dengan
industrialisasi budaya. Selanjutnya penelitain historis dan penelitian kasus
yang partisipatoris (participant
observation, grounded research, action research) dengan mengambil lokasi
kota, desa, jamaah, pabrik dan lainnya.[52]
Dan jika ditilik lebih jauh,
maka pendekatan sejarah inilah yang sangat
kental dalam berbagai tulisan Kuntowijoyo. Sebagai seorang sejarawan, Kunto sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa.
Kedalaman pengetahuan tentang sejarah mengajarkan kearifan itu. Bagi Kunto, belajar sejarah
adalah proses belajar kearifan. Dalam setiap tulisannya
(terutama buku) seperti Paradigma Islam
dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru,
Identitas Politik Umat Islam, Radikalisasi Petani, Pasar, Dinamika Internal Umat Islam Indonesia,
Demokrasi dan Budaya Birokrasi, Islam Dalam Pertunjukan Rakyat Jawa, Budaya dan Masyarakat, Selamat
Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat
Agraris Madura, Metodologi Sejarah, Wasripin Dan Satinah, Penjelasan Sejarah, Paradigma Islam:
Interpretasi Untuk Aksi , Identitas Politik Umat Islam menunjukkan hal tersebut.[53]
Di sisi lain, menurut sebagian
kalangan Kuntowijoyo juga berusaha melakukan -meminjam istilah Dawam Rahardjo- “pribumisasi ilmu-ilmu sosial” (indigenization of social sciences), dalam hal ini “pribumisasi ilmu ekonomi”. Gagasan ini merupakan strategi counter idea terhadap dominasi dan
hegemoni ilmu ekonomi mainstream yang telah lama “menghinggap” di kepala ilmuwan ekonomi Indonesia. Modus
kerjanya mencoba membongkar teori-teori yang mapan dan kemudian mencari sintesa
kreatif yang bercorak lokal dengan rumusan live
in dengan realitas konkret masyarakat. Namun ide
ini bukannya tidak menimbulkan kecurigaan, Kuntowijoyo dicurigai hendak menjadikan ilmu kembali
terpenjara dalam kekuasaan dogma-dogma agama seperti yang pernah terjadi di
masa lalu (Abad Pertengahan). Kekhawatiran
seperti ini tentu saja sangat beralasan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian
penganut ide integrasi agama dengan ilmu sosial cenderung berpikir secara normatif, idealistik, bahkan sering diwarnai corak apologis. Cara berpikir seperti ini jelas tidak
konstruktif, bahkan akan mematikan perkembangan ilmu sosial itu sendiri. Ilmu
sosial akan muncul dengan wajahnya yang absolut.[54]
Selain pendekatan sejarah,
Kuntowijoyo juga menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam melakukan pembacaan
terhadap masyarakat, menentukan variabel sosial dan proses kategorisasi
terhadap masyarakat tersebut. Artinya, perkembangan suatu masyarakat ditentukan
oleh kerangka ilmu sosial dan direfleksikan dalam bangunan sebuah teori.
Teori-teori modernisme, misalnya dalam rezim orde baru, berperan sebagai alat
analisa realitas sosial yang mempengaruhi mindset kita tentang tradisi,
perubahan sosial dan kondisi sosiologis masyarakat. Penggunaan ilmu sosial yang
dipaksakan terhadap basis material yang berbeda menyebabkan disorientasi
pengetahuan. Sehingga persoalan mendasar sebuah realitas sosial tidak ditemukan
karena kita hanya menjelaskan fenomena dengan kerangka teori yang bersifat
distortif. Dalam kedudukannya, ilmu
sosial memiliki variabel independen dan dependen. Dikatakan sebagai variabel
independen ketika ilmu sosial mempunyai kekuatan konstitutif dan dapat berperan
besar dalam rekayasa sosial untuk transformasi sosial. Sedangkan dalam
kedudukannya sebagai variabel dependen, ilmu sosial mempunyai kekuatan
reflektif dan dengan itu berperan untuk melakukan legitimasi sosial.
Dalam konteks Indonesia, upaya
untuk membuat ilmuan sosial yang berangkat dari akar tradisi dan realitas
historis masyarakat inilah yang dipikirkan Kuntowijoyo. Dalam
kaitannya dengan penyusunan pendekatan ilmu ekonomi profetik, yang bagi kita,
ide Kuntowijoyo ini memang masih kabur. Namun disini yang hendak ditegaskan
adalah perlunya memperhatikan wawasan yang jernih dari Kunto yakni menyangkut
bagimana ketiga pilar ISP dapat menerangkan mekanisme-mekanisme kegiatan
perekonomian, baik mikro maupun makro termasuk ke dalam bidang pengetahuan
rasional-universal yang bisa dimanfaatkan oleh kaum Muslim secara selektif dan
tunduk pada humanisasi, liberasi dan transendensi.[55]
Sementara itu, ekonomi profetik merupakan ilmu sosial dalam klasifikasi
epistemologi Islam, yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan oleh karenanya
mengandung pertimbangan-pertimbangan serta batasan-batasan ideologisnya sendiri
sesuai dengan tujuan-tujuan dan pilar-pilar yang inheren dalam usaha
pembangunan ekonomi profetik. Dengan demikian dalam ekonomi profetik, meski
dikembangkan suatu paradigma tersendiri yang berkenaan dengan pilar-pilar
profetik dan etos-etos keadilan ekonomi. Disinilah konsep Islam mengenai
kekhalifahan dan amar ma’ruh dan nahi munkar akan memberikan dorongan
untuk menempa faktor-faktor alam dan sosio kultural.[56]
G. Penutup
Kuntowijoyo
adalah suatu sosok multidimensional -seorang ilmuwan sosial, sejarawan,
sastrawan, juga ekonom- Dengan mengangkat gagasan pengilmuan, ia ingin
menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik,
melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari
etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan
mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari
agama. Dengan ini kita bisa memahami cita-cita Kunto untuk melakukan outreach
ke sebanyak mungkin orang, tanpa mengenal batasan-batasan identitas.
Perhatian utamanya adalah kemanusiaan, dan semua aktifitas, termasuk aktifitas
perekonomian dan beragama, mesti ditujukan untuk melayani kepentingan umat
manusia. Salah satu kisah Nabi Muhammad yang tampaknya menjadi favorit Kunto
dan kerap disampaikannya adalah kisah yang disampaikan penyair-filosof Muhammad
Iqbal mengenai penolakan Nabi untuk tetap tinggal di langit dalam peristiwa
Isra' Mi'raj. Ia ingin kembali ke bumi untuk melaksanakan cita-cita
profetiknya. Solidaritas kemanusiaan universal inilah kiranya yang menjadi
pesan utama dakwah Kunto, dan yang sulit ditolak bahkan oleh kaum
pasca-modernis yang mencurigai setiap klaim universalitas.[57]
Demikianlah yang dalam tulisan ini
tidak bermaksud untuk menjawab atau menyimpulkan, namun
hanya mencoba memberi gambaran awal tentang apa itu ekonomi
profetik menurut Kuntowijoyo, paling tidak dari sini kita dapat memahami -dalam
perspektif ekonomi- bahwa kita perlu mencoba
untuk keluar dari batasan-batasan paradigmatik yang telah tersedia dalam ekonomi untuk menciptakan alternatif-alternatif paradigmatik yang lebih sesuai
dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia. Ekonomi profetik
kiranya merupakan tawaran alternatif semacam itu. Dengan mencoba keluar dari
batasan paradigmatik yang sudah tersedia, kita dapat melihat keterbatasan
paradigma yang sudah ada sehingga mampu menawarkan sebuah alternatif. Tentu
saja ini perlu keberanian, bisa jadi dengan
resiko yang tidak ringan.
Daftar Pustaka
A. Dimyati. “Redefinisi
Keilmuan Ekonomi Islam Indonesia Studi
atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim”. Dalam Http://multiply.com/info/about/redefinisi-keilmuan-ekonomi-Islam-indonesia di akses pada 09 Desember 2009
Abdul Manan. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Adiwarman Karim, 2002. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia
Adiwarman Karim. 2002. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia.
A.
E.
Priyono. 1985. Islamisasi Ekonomi: Suatu
Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: PLP2M.
Akh Minhaji. tt. Strategies For Sosial research: The Methodological Imagination In
Islamic Studies. Bahan Kuliah untuk Penelitian Dalam Bidang Studi Islam. Yogyakarta: Suka Press.
David J. Gray, Value Free Sociology: A Doctrine of
Hypocrisy and Irresponsibility, dalam Morris L. Medley dan James E. Conyers
(Ed.), 1968. Sociology
for The Seventies. New York: John Wiley.
Erich Fromm. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
F. Budi Hardiman, 1990.
Kritik Ideologi, Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta:
Kanisius
F. Budi Hardiman. 2004. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai
Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
George Ritzer, 1985. Sosiologi: Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science), Terj. Alimandan. Jakarta: Rajawali Press
Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi
Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan
Rakyat, (13 Desember 1997).
http://id.wikipedia.org/wiki/kataegori:ilmu_sosial
di akses pada 02 Desember 2009
Husein
Sawit, Kata Pengantar pada buku Goenawan Moehammad, 2000. Metodologi
Ilmu Ekonomi Islam: Suatu
Pengantar. Yogyakarta:
UII-Press.
Husnul Muttaqin. “Menuju Sosiologi Profetik” diakses pada http://id.wordpress
pada 19 November 2009.
Imamudin Yuliadi, 2001. Ekonomi Islam: Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: LPPI-UMY.
Irfan Noor. “Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris: Kajian Filsafat Ilmu
Atas Pemikiran Peter L. Berger”. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Volume 7
Nomor 2 Juli 2008.
Ismail Raji Al Faruqi, MengIslamkan Ilmu-Ilmu Sosial’ dalam
Abubakar Bagader (ed.), 1985. Islamisasi
Ilmu-Ilmu Sosial (Islam And Sociological Perspective), Terj.
Muchtar Effendi
Harahap. Yogyakarta: PLP2M
John Parkins, 2007. Pengakuan Bandit Ekonomi Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia
dan Negara Dunia Ketiga. Terj. Wawan Eko Yulianto & Meda Satrio.
Jakarta: Ufuk Pree
Kuntowijoyo dalam makalahnya untuk Seminar
dan Lokarya IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 18-19 September 2002
Kuntowijoyo, 2004. Islam Sebagai Ilmu,
Jakarta: Teraju-Mizan
Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo, 1991. Paradigma. Islam:
Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial. Dalam
buku M. Amin Abdullah 2007. Re-Strukturisasi
Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. Yogyakarta: Suka Press.
Louay Safi, 2001. Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat.
Yogyakarta: Tiara Wacana
M. Aunul Abied Shah. 2001. Malak Hifni Nashif Bek, Sosok Kartini Lembah
Nil: Menggali Akar Feminisme di Dunia Islam dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung:
Mizan.
M. Dawam Rahardjo. 1999. Islam
dan Transformasi Sosial-Ekonomi.
Jakarta: LSAF
M. Umar Chafra. 2001. The Future Of Economic an Islamic Persfectif. Jakarta: SEBI
M. Yudi Haryono. Kuntowijoyo dan Ilmu Sosial Profetik. Dalam www.yudhieharyono.com
di akses pada 09 Desember 2009
M.B. Hendrie Anto, 2003. Pengantar Ekonomika
Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia.
Max Weber. Sekte-Sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam buku Taufik
Abdullah, (ed) 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta:
LP3ES dan Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI
Muhammad Iswadi. “Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model Pendekatan”. Mazahib Vol.
IV, No. 1, Juni 2007
Mulyadi Kartanegara, 2007. MengIslamkan
Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga.
Mulyadi Kartanegara. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar
Epistemologi Islam Bandung: Mizan
Peter Berger dan Thomas Luckmann,
1967. The
Sosial Construction of Reality, Garden City, NY.: Anchor Books
Peter L. Berger, 1991.
Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), Terj. Hartono, cet. 1. Jakarta: LP3S
Pritjof Chapra. 2002. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang
Saefuddin, A.M. 1987. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. Jakarta: Rajawali.
Syed Farid Alatas, “Agama dan Ilmu-ilmu Sosial”, dalam jurnal Ulumul Qur’an Nomor 2, Volume 5 Tahun 1994.
The International Forum On Globalization. 2003.
Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan.
Jakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Yusuf A. Hasan. “Ilmu Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke Depan”. Jurnal
Mukaddimah No. 6 Tahun 1998.
Zainal Abidin Bagir, “Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu Dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo”.
Makalah Dipresentasikan dalam Diskusi Sehari tentang Pemikiran Kuntowijoyo,
Diselenggarakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan Koordinasi
Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005.
Ziauddin Sardar. 2005. Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah.
Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Helmi Mustofa. Jakarta: Serambi.
[1] Muhammad Iswadi. “Ekonomi Islam:
Kajian Konsep dan Model Pendekatan”. Mazahib Vol. IV, No. 1, Juni 2007
[2] The International Forum On Globalization. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. (Jakarta: Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas. 2003), 25-32
[3] John Parkins, Pengakuan
Bandit Ekonomi Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia
Ketiga. Terj. Wawan Eko Yulianto & Meda Satrio (Jakarta; Ufuk Pree,
2007)
[4] Abdul Manan. Teori dan
Praktek Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1993)
[5] M. Umar Chafra. The Future Of
Economic an Islamic Persfectif. (Jakarta: SEBI. 2001)
[6] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung:
Mizan, 2001), 362
[7] F. Budi Hardiman. Filsafat
Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004), 204
[8] David J. Gray, Value Free Sociology: A Doctrine of
Hypocrisy and Irresponsibility, dalam Morris L. Medley dan James E. Conyers
(Ed.), Sociology for The Seventies,
(New York: John Wiley, 1968), 14.
[9] F. Budi Hardiman, Kritik
Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 58.
[10] Zainal Abidin Bagir, Pengilmuan
Islam dan Integrasi Ilmu Dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo. Makalah
Dipresentasikan dalam Diskusi Sehari tentang Pemikiran Kuntowijoyo,
Diselenggarakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan
Koordinasi Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005.
[11] Mulyadi Kartanegara, MengIslamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap
Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), 2. Lihat juga Mulyadi Kartanegara. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar
Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003)
[12] Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta:
Teraju-Mizan 2004)
[13] Ibid. 6-11
[14] Lihat Kuntowijoyo, Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung:
Mizan, 1991)
[15] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu…26
[16] Lihat Ziauddin Sardar. Kembali
ke Masa Depan Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah. Terj. R. Cecep
Lukman Yasin dan Helmi Mustofa (Jakarta: Serambin, 2005)
[17] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu…93
[18] Ibid. hal. 1
[19] Ibid. hal. 53
[20] Ibid. hal. 57
[21] Husnul Muttaqin. “Menuju
Sosiologi Profetik” diakses pada http://id.wordpress pada 19 November 2009.
[22] Kuntowijoyo, Muslim… 360-361
[23] Kita dapat menemukan
sikap-sikap seperti ini, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya kita temukan pada
tulisan Syed Farid Alatas, Agama dan
Ilmu-ilmu Sosial, dalam jurnal Ulumul Qur’an (Nomor 2, Volume 5 Tahun 1994), 47. Lihat juga Ismail Raji Al Faruqi, MengIslamkan Ilmu-Ilmu Sosial’ dalam Abubakar Bagader (ed.), Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial (Islam And
Sociological Perspective), Terj. Muchtar Effendi Harahap (Yogyakarta: PLP2M, 1985), 16-17. Lihat juga Louay Safi,
Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah
Refleksi Perbandingan Metode Penelitian
Islam dan Barat. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 11. Lihat juga Ziauddin
Sardar. Kembali ke Masa Depan. Syariat
Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah Terj. R. Cecep Lukman Yasin &
Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005)
[24] Diungkap Kuntowijoyo dalam makalahnya untuk Seminar dan Lokarya
IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 18-19 September 2002
[25] Kuntowijoyo, Muslim… 364-365
[26] Lihat Pritjof Chapra. Titik
Balik Peradaban. (Yogyakarta: Bentang. 2002)
[27] Menyangkut humanisme teosentris ini lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam… 228-230
[28] Kuntowijoyo, Muslim… 366-369.
[29] Lihat Saefuddin, A.M. Ekonomi
dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. (Jakarta: Rajawali, 1987)
[30] Lihat juga http://id.wikipedia.org/wiki/kataegori:ilmu_sosial
di akses pada 02 Desember 2009
[31] Kuntowijoyo, Muslim…. 358.
[32] Lihat Erich Fromm. Konsep
Manusia Menurut Marx. Terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001)
[33] M. Aunul Abied Shah. Malak
Hifni Nashif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar Feminisme di Dunia
Islam dalam buku Islam Garda Depan
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 151-165
[34] Hal tersebut misalnya diungkap oleh Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat, (13 Desember 1997).
[35] Lihat Max Weber. Sekte-Sekte
Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam buku Taufik Abdullah, (ed) Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor dan
LEKNAS-LIPI, 1982).
[36] Kuntowijoyo, Identitas….224
[37] Ibid
[38] Louay Safi, Ancangan
Metodologi Alternatif…214
[39] Akh Minhaji. Strategies For Sosial
research: The Methodological Imagination In Islamic Studies. Bahan Kuliah untuk
Penelitian Dalam Bidang Studi Islam
(Yogyakarta: Suka Press, tt), 55
[40] Husnul Muttaqin. Menuju
Sosiologi Profetik diakses pada http://id.wordpress pada 19 November 2009
[41] Ibid
[42] Ibid
[43] Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi….. 86
[44] Ibid. hal. 82-84
[45] Berger membahasnya secara panjang lebar dalam Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), Terj. Hartono, cet. 1 (Jakarta: LP3S, 1991), 4-23.
[46] Peter Berger dan Thomas
Luckmann, The Sosial Construction of
Reality, (Garden City, NY.: Anchor Books, 1967), 93. Lihat juga Irfan
Noor. “Realitas Agama dan Problem Studi
Ilmiah-Empiris: Kajian Filsafat Ilmu Atas Pemikiran Peter L. Berger”.
Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Volume 7 Nomor 2 Juli 2008, 148.
[47] George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science), Terj. Alimandan (Jakarta: Rajawali Press,
1985), 115.
[48] A. Dimyati. “Redefinisi Keilmuan Ekonomi Islam Indonesia Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim”. Dalam Http://multiply.com/info/about/redefinisi-keilmuan-ekonomi-Islam-indonesia di akses pada 09 Desember 2009
[49] Keterangan lebih lanjut misalnya
dapat dilihat pada
Adiwarman Karim. Ekonomi
Mikro Islami
(Jakarta: The International Institute of Islamic Thought
Indonesia, 2002), lihat juga Adiwarman Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002) dan lihat juga M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika
Mikro Islami (Yogyakarta: Ekonisia,
2003) disamping juga Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam: Sebuah
Pengantar (Yogyakarta: LPPI-UMY,
2001), terutama Bab II: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
[50] Pada
umumnya kritikan tersebut dikelompokkan oleh Arif, seperti yang dikutip
oleh M.Husein Sawit, menjadi tiga kelompok
besar. Pertama, aliran yang mengatakan Ekonomi Islam merupakan penyesuaian sistem
kapitalis atau disebut "the
Adjusted Capitalism School". Kedua, disebut dengan kelompok konvensional atau
"the Conventional School. Ketiga adalah kelompok perbedaan paham
atau "the Sectarian Diversity School"[50]
Ada juga pernyataan kritis yang sepintas nampak sederhana namun cukup mendasar: apakah
ekonomi Islam merupakan kapitalisme minus riba atau sosialisme plus Islam.
Lihat Husein Sawit, Kata Pengantar pada buku Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu
Ekonomi Islam: Suatu
Pengantar (Yogyakarta: UII-Press,
2000). xi
[51] Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta:
Teraju-Mizan 2004)
[52] Kuntowijoyo. Ilmu Sosial
Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial. Dalam buku M. Amin Abdullah Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies
Mazhab Yogyakarta. (Yogyakarta: Suka Press, 2007), 104
[53] M. Yudi Haryono. “Kuntowijoyo
dan Ilmu Sosial Profetik”. Dalam www.yudhieharyono.com di akses pada 09 Desember 2009
[54] Lihat M. Dawam Rahardjo. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999)
[55] Lihat misalnya Yusuf A. Hasan. “Ilmu
Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke Depan”. Jurnal Mukaddimah No. 6
Tahun 1998.
[56] AE. Priyono. Islamisasi
Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam.
(Yogyakarta: PLP2M, 1985), 5
[57] M. Yudi Haryono. “Kuntowijoyo
dan Ilmu Sosial Profetik”. Dalam www.yudhieharyono.com di akses pada 09 Desember 2009