Apakah
dimalam-malam terakhir ini listrik dirumah atau digubuk atau di istana anda
mati? Sama, dikampung saya juga mati. Matinya listrik di malam-malam terakhir
ini yang secara bergilir membuat orang banyak yang ngomel, marah, jengkel dan
terkadang melupakan bahwa ia kreatif, mahluk yang inovatif, ditambah jika malam
itu ada PR bagi para pelajar, tugas kantor, kerja lembur bagi usaha kecil apalagi
operasi tumor misalnya, upacara kematian, selamatan haji, hingga upacara
sunatan dan malam zaffaf bagi para pengantin. Apakah ini dampak dari
telah diumumkannya kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) oleh PLN (Perusahaan
Listrik Negara)?
Ngomel juga
disertai sumpah serapah, dasar PLN! Dan seterusnya. Akhirnya dengan keadaan ini
mari kita berdiskusi saja, gratis, tidak bayar, di depan beranda rumah tentang
iuran uang listrik yang tiap bulannya kita bayarkan, kok tidak ada diskon?,
tidak ada potongan?, tentang sutet milik PLN yang disesali oleh penduduk,
tentang orang mati yang kesetrum karena mencuri listrik dan tentang lain-lain
diseputar kelistrikan atau korelasinya dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM).
Begitu listrik
mati, tetangga-tetangga saya banyak juga yang mengomel, tidak sedikit yang
mengelus dada dan banyak lainnya yang hanya diam. Menunggu listrik menyala, anak-anak
kost pada cemberut, malah ada yang teriak-teriak segala. Keliatan sekali
jikalau kita sangat tergantung kalau tidak ketergantungan pada yang namanya
listrik pada alat yang kita buat sendiri, yang diciptakan sendiri oleh manusia.
Kita lupa padahal ada minyak tanah yang dengan itu kita dapat membuat
penerangan, buat lampu, dari botol kraktingdaeng atau dari kaleng susu dan
lainnya.
Menyebut hal
itu salah seorang tetangga saya bertanya. Waktu zaman raja Selaparang dulu, ada
minyak tanah tidak ya? Selanjutnya diskusi makin menjadi hangat, soalnya sambil
menunggu listrik menyala teman-teman dan para tetangga ikut duduk-duduk
diserambi depan rumah. Untung tidak ada Pak Ahmad JD yang ahli sejarah itu,
yang mendengar diskusi malam itu yang saya rasa akan menjawabnya dengan sangat
persis. Kira-kira apa kata pak Ahmad JD tentang hal ini?
Kita tahu
orang-orang bahkan para pangeran dan raja-raja dari berbagai kerajaan datang
untuk melamar Putri Mandalika, atau saat Arya Banjar Getas diutus untuk
meminang seorang putri idaman raja, kira-kira mereka menggunakan minyak tanah
tidak ya? Tetapi yang jelas saat itu listrik belum ada jawab seorang rekan.
Kita juga
akrab dengan sumpah Palapa Maha Patih Gadjah Mada, kecemburuan sosial Rangga
Lawe atau ulah Raden Wijaya yang menjebak pasukan Cina itu, atau sejarah perang
Bubut antara Bali dan Lombok, tetapi diantara itu semua banyak juga yang kita
tidak ketahui persis, misalnya bagaimana pakaian prajurit selaparang waktu itu,
warna topinya bagaimana, apakah mereka menjahit pakaiannya sendiri atau malah
di obras di Hadi Taylor kata tetangga yang berlagak jenaka dan yang terakhir
ini jelas tidak mungkin.
Yang jelas
dari sejarah Selaparang kita hanya mengetahui tentang hal-hal yang menyangkut
kekuasaan, dari buku-buku sejarah juga melulu tentang pergeseran dan perebutan
kekuasaan. Jarang bahkan tidak pernah diulas tentang motif pakaian yang mereka
gunakan, sandal dan topi yang digunakan bagaimana, semua berisi kekuasaan. Kita
isi jiwa anak-anak SD-SMP-SMA dengan melulu ambisi kekuasaan.
Kita mengerti
Putri Mandalika karna parasnya ayu lantas mengorbankan diri agar tidak terjadi
peperangan, untuk perdamaian, perebutan kekuasaan, yang kuat yang berhak
memiliki, yang kuat yang berhak berkuasa. Tapi kita juga kurang paham bahwa
bisa jadi sang putri berjiwa Kartini, bisa jadi sama seperti Marsinah, bahkan
Margareth Teacher ala Inggris itu.
Lepas dari itu
semua kita terkadang jarang berfikir bahwa patih Gadjah Mada melakukan itu
tanpa menggunakan motor, tidak juga mobil, tidak ada minyak tanah, bensin
bahkan listrik, tanpa pistol, tanpa peluru, tanpa satelit, tidak juga ada
handphone, apalagi internet. Waktu itu apa iya di kerajaan Selaparang ada
pabrik bola lampu? Atau pabrik pengolahan minyak tanah?
Karena alasan
ketergantungan, saat ini kita merasakan listrik mati seperti orang kebakaran
jenggot, seperti tidak makan tiga hari, kita lupa bahwa jika tidak ada rotan
maka akarpun jadi? Jangan gara-gara listrik mati kearifan kita terganggu,
tujuan besar kita gagal, ikan tidak dapat, air keruh dan daun tunjung pun layu.
Kalau motor mogok atau pecah bannya kita hampir-hampir malas naik sepeda apatah
lagi jalan kaki, malu, gengsi. Mentalitas kita memang begitu, kalau baju robek
malu pakai, buat lap saja, kita juga sekarang sudah tidak kuat lagi
berlama-lama jalan diatas krikil, atau diaspal tanpa sandal, kecuali untuk
alasan kesehatan karena rematik atau saran dokter misalnya.
Ini bukan
menggurui tapi memang kenyataannya demikian mentalitas kita telah berubah, kita
lupa pepatah bijak orang tua kita : Piliq
buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng tunjung tilah,
saya rasa begitu.
Ada hal lain,
kadang saya berfikir, siapakah kita? Dengan keadaan saat ini? Seorang warga
Negara atau seorang Konsumen? Seorang warga Negara, dalam gambaran yang ideal
tentang civitas akan menerima keadaan dimana PLN sebagai Milik Negara
misalnya, ketika menaikkan TDL, tentunya dengan meningkatkan mutu pelayanan,
agar Republik ini terang pikir saya, sebagaimana iklan PLN yang di TV itu.
Tapi
masalahnya, di Indonesia, kata Goenawan Mohamad (2001) sering kali, kita
sebagai warga Negara akhirnya sama dengan kita sebagai konsumen: kita tidak
berdaya untuk menolak dan memilih. Juga ketika kita diperlakukan dengan tidak
sepatutnya oleh mereka yang punya monopoli kekuasaan dan monopoli usaha.
Orang-orang Indonesia tidak menyadari bahwa inilah penindasan yang paling
meluas yang sekarang terjadi--penindasan yang tidak pakai bedil atau bui,
tetapi efeknya mungkin lebih melumpuhkan. Rekan diskusi lain memberi sebuah
diagnosa: inilah penindasan yang menjepit kita dari sebuah kombinasi yang aneh
dari sistem ekonomi antara sosialisme dan kapitalisme.
Dari
sosialisme kita mendapatkan bayangan tentang pasar sebagai sesuatu yang
mencemaskan. Persainganpun harus diatur. Negara harus campur tangan. Tapi,
sementara itu, kita sahkan motif mencari laba yang besar dan akumulasi modal
yang tanpa batas--dengan kemungkinan bahwa yang tidak mampu akan terjepit. Kita
tengah merayakan kapitalisme, juga tengah menginstitusikan semangat
mementingkan diri sendiri, sebagai produsen atau sebagai konsumen, sementara
juga kita bertopang kepada birokrasi yang merasa tidak perlu melaporkan
kerjanya kepada publik!
Kapitalisme
dan sosialisme bertaut ala Indonesia, ketika seorang pejabat Negara begitu saja
memberikan monopoli kepada bisnis anak segaris turunannya, ketika seorang yang
punya wewenang mengeluarkan izin usaha kemudian ikut dalam dunia usaha itu--dan
tak seorangpun berani menggugat ini.
Lalu, seorang
konsumen, seharusnya punya hak untuk bertanya dan mengetahui data dari barang
atau jasa yang dibelinya. Seorang warga Negara seharusnya punya hak untuk
bertanya dan mengetahui seluk beluk perusahaan milik Republik –yang di
Indonesia celakanya, selalu dikatakan sebagai “Perusahaan Milik Negara” atau
“Perusahaan Milik Daerah” dalam berbagai bentuk badan usaha, terlebih yang PT
(Perseroan Terbatas) dan dengan demikian memberikan tekanan kepada para
pengatur dan tidak kepada res republica.
Akhirnya
lampu menyala, malam yang tadinya gelap sekarang agak sedikit terang walau ada
juga disudut sana agak remang-remang, akhirnya akankah kita akan kembali
ketabiat semula? Ah saya juga tak tahu karena kita dari dulu memang selalu saja
begitu.