Pendahuluan
Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidup, manusia kagum atas apa yang dilihatnya dan didengarnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama. Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam al-Qur’an.
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan pikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang sering disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan. Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Secara historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat mencolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah.
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), sebagaimana dikutip Louis mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Namun dalam kenyataan sejarahnya Filsafat Ilmu (The Philosophy of Science) sering diidentikkan dengan istilah Filsafat Ilmu Pengetahuan. Masalahnya terletak pada salah kaprah dalam bahasa Indonesia. Seperti akan disinggung dalam pembahasan berikut, salah kaprah ini menjadi salah satu faktor mengapa filsafat ilmu sering disamakan dengan filsafat pengetahuan, meskipun keduanya sangat terkait erat. Dalam dunia akademis, kita mengenal juga istilah filsafat pengetahuan. Jadi ada tiga ungkapan yakni filsafat ilmu, filsafat ilmu pengetahuan, dan filsafat pengetahuan. Filsafat Ilmu adalah padanan dari istilah bahasa Inggris Philosophy of Science, sedangkan Filsafat Pengetahuan adalah padanan dari bahasa Inggris epistemology. Kata epistemologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu atau teori). Kata lain untuk epistemologi ialah gnoseologi (dari bahasa Yunani gnose yang berarti pengetahuan, dan logos yakni ilmu atau teori). Sedangkan Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah salah kaprah terjemahan Philosophy of Science.
Faktor Pendorong Timbulnya Filsafat dan Ilmu
Filsafat bukan monopoli segelintir orang. Bukan pula monopoli bangsa-bangsa tertentu. Bukan juga monopoli zaman tertentu. Semua manusia, segala suku bangsa, yang hidup di zaman apa saja, dapat berfilsafat. Mengapa? Sebab filsafat bertolak dari kejadian yang dialami setiap saat. Ketika orang bertanya, mulailah ia berfilsafat.
Suatu peristiwa atau kejadian pada dasarnya tidak pernah lepas dari peristiwa lain yang mendahuluinya. Demikian juga dengan timbul dan berkembangnya filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin, filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma (kekaguman), dan aporia (masalah).
Dengan akal budi, kemampuan manusia dalam bersuara dapat berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga manusia disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal budi pula, manusia dapat berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all men by nature desire to know).
Pada diri manusia melekat kehausan intelektual (intellectual curiosity), yang menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan.Bertanya adalah berpikir dan berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan. Manusia menyangsikan apa yang dilihat inderanya. Ia bertanya jangan-jangan apa yang dilihat itu suatu tipuan. Dengan kata lain, manusia menginginkan kepastian. Berdasarkan sikap skeptis inilah manusia didorong untuk menemukan jawaban yang pasti. Di sini, kesangsian merupakan metode untuk mencapai kepastian dan kebenaran. Harus dicatat bahwa rasa tak pasti, bimbang, dan skeptis yang dimaksud di sini bukan merupakan gangguan psikologis, tapi justru merupakan proses mental dalam mencapai kebenaran. Filsuf yang mengawali filsafat dengan sikap ragu-ragu adalah, antara lain, Agustinus (354-430) dan Rene Descartes (1596-1650).
Manusia juga merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya saja kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
Dalam sebuah bagian terkenal dialog Theatetos, Plato menampilkan Socrates yang menghubungkan filsafat dengan rasa heran. Seperti dalam Simposium, Plato menempatkan filsafat di antara para dewa dan manusia. Utusan para dewa dikaitkannya dengan rasa heran. Rasa heran itu malah dibarengi rasa pening. Mengapa? Karena peristiwaperistiwa biasa merupakan belenggu yang harus dipatahkan dan dilewati guna mempertanyakan makna benda-benda. Rasa heran itulah yang mematahkan belenggu rasa biasa tersebut. Sebab itu seakan orang menjadi pusing.
Aristoteles mengatakan, manusia berbeda dengan hewan dalam hal pengalaman yang menghasilkan keterampilan tehnis dalam menangani barang-barang. Dalam pikirannya ia menelusuri kembali gejala-gejala yang diamatinya. Ia bertanya-tanya tentang makna dan sebab segala sesuatu. Rasa heran merupakan perangsang bagi filsafat. Dan kemampuan untuk mengadakan renungan filsafat mengangkat derajat manusia.
Faktor lain yang juga mendorong timbulnya filsafat dan ilmu adalah adalah masalah yang dihadapi manusia (aporia) berupa kesadaran akan keterbatasan yang dimiliki. Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the mother of science).
Pengalamannya juga menunjukkari betapa manusia itu tak berdaya. Ini dialami, misalnya, ketika berhadapan dengan tebing terjal, atau gunung api yang sedang memuntahkan lava. Atau tatkala menyaksikan gelombang pasang yang mengancam kehidupan nelayan. Atau longsor yang memakan korban jiwa
Pada tataran lain, manusia merasa begitu bahagia hidup bersama orang yang dicintai. Tetapi ketika menghadapi kematian orang yang dicintai itu, manusia merasa dirinya begitu rapuh. Lalu ia bertanya tentang apa itu kematian? Apa yang terjadi sesudah kematian? Apakah perpisahan dengan kekasihnya itu untuk selama-lamanya? Atau setiap kali manusia menghadapi penderitaan atau kegagalan, selalu ia didorong untuk bertanya: mengapa menderita? Mengapa gagal? Mengapa orang-orang lain seakan-akan tidak pernah mengenal penderitaan dan air mata?. Mengapa penipu, maling, atau orang jahat hidup berkecukupan dan bahagia? Mengapa orang-orang baik dan dermawan justru menderita? Dia lalu berkesimpulan bahwa harus ada kebahagiaan sesudah hidup fana ini yang akan dinikmati orang-orang yang hidupnya baik di dunia. Kalau kebahagiaan di dunia hanya sementara, harus ada kebahagiaan yang tidak berkesudahan.
Obyek Material dan Formal Filsafat Ilmu
Obyek filsafat ilmu dibedakan atas obyek material dan obyek formal. Yang dimaksudkan dengan obyek material filsafat ilmu (dan juga ilmu-ilmu lain) ialah sesuatu atau obyek yang diselidiki, dipelajari, dan diamati. Atau segala sesuatu yang ada, yang meliputi: ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Sedangkan obyek formal filsafat ilmu (dan ilmu-ilmu lain) ialah sudut pandang (angle) dalam penyelidikan atau pengamatan. Atau hakikat dari segala sesuatu yang ada.
Sebuah ilmu dibedakan dari ilmu lain karena obyek formalnya. Dengan perkataan lain, dari sudut obyek material, beberapa ilmu mempunyai kesamaan, tapi berdasarkan obyek formal, ilmu-ilmu itu berbeda. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini.
Objek Material Filsafat
Obyek material Filsafat Ilmu ialah pengetahuan ilmiah (scientc knowledge) atau ilmu. Obyek material filsafat ilmu sama dengan obyek material beberapa ilmu lain seperti sejarah ilmu, psikologi ilmu, atau sosiologi ilmu. Semuanya mempelajari ilmu-ilmu. Misalnya, psikologi ilmu adalah cabang psikologi yang memberikan penjelasan tentang proses-proses psikologis yang menunjang ilmu. Hasil penelitian bidang ini dapat merumuskan pentingnya faktor psikologis pada kreativitas proses penyusunan hipotesis ilmiah. Demikian juga unsur psikologis dalam persepsi, khususnya persepsi pada observasi ilmiah.
Obyek Formal Filsafat
Obyek formal Filsafat Ilmu ialah asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu. Dalam kaitan dengan ini, C.A. van Peursen menyebutkan adanya dua kecenderungan dalam filsafat ilmu, yakni tendensi metafisik dan metodologik. Pada tendensi metafisik, filsafat ilmu misalnya bertanya apakah ruang yang digunakan ilmu ukur itu merupakan suatu yang sungguh-sungguh ada sebagai ruang mutlak atau hanya skematisasi yang dipaksakan pada gejala-gejala oleh pengamatan manusia? Filsafat ilmu juga mempertanyakan bagaimana peranan hukum sebab-akibat dalam realitas alam. Juga diselidiki misalnya: bagaimana sifat pengetahuan yang mendasari ilmu? Apakah gejala historis dapat ditampilkan dalam suatu ilmu berdasarkan alsan-alasan obyektif? Menyangkut tendensi metodologik, filsafat ilmu memusatkan perhatian pada data relevan dan konstruksi argumentasi sahih. Pertanyaan yang diajukan misalnya: apa itu verifikasi (tasdik) dan falsifikasi? Apa peran sebuah hipotesis? Adakah penalaran induktif dan deduktif?
Dewasa ini, corak dan ragam ilmu pengetahuan sangat banyak. Corak dan ragam yang berbeda-beda ini timbul karena adanya perbedaan cara pandang dalam memahami obyek ilmu pengetahuan.
Obyek ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Inti pembahasan atau pokok persoalan dan sasaran material dalam ilmu pengetahuan sering disebut sebagai obyek material ilmu pengetahuan. Sedangkan cara pandang atau pendekatan-pendekatan terhadap obyek material ilmu pengetahuan biasa disebut sebagai obyek formal.
Dari berbeda-bedanya obyek ilmu pengetahuan ini, timbullah ragam dan corak ilmu pengetahuan. Dengan mengetahui obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui bidang keilmuan apakah yang dimungkinkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan yang kita miliki.
Filsafat Ilmu dan Filsafat Pengetahuan
Seperti disinggung di atas, sebagian kalangan akademis kita menggunakan istilah Filsafat Ilmu, sedangkan sebagian lain lebih suka memakai Filsafat Ilmu Pengetahuan. Kelompok yang menggunakan istilah Filsafat Ilmu menganggap istilah ini lebih tepat karena merupakan terjemahan dari istilah Inggris Philosophy of Science. Padahan kata science dalam bahasa Indonesia adalah ilmu, bukan ilmu pengetahuan. Menerjemahkan science dengan ilmu pengetahuan adalah salah kaprah. Sedangkan kelompok yang menggunakan istilah Filsafat Ilmu Pengetahuan mengatakan istilah filsafat ilmu pengetahuan tidak salah. Prokontra itu bukan isapan jempol, tapi benar-benar ada. Buktinya, kita menemukan buku-buku dengan kedua judul di atas. Situasi ini tentu saja memprihatinkan karena terjadi di lingkup disiplin filsafat. Ini jelas sangat membingungkan para pemula di bidang studi filsafat.
Pernah, prokontra ini menjadi polemik di kalangan akademisi. Nampaknya, polemik itu berakhir begitu saja, karena kini kita masih menemukan buku-buku dengan kedua judul di atas. Kita kutip pendapat Jujun S. Suriasumantri, seorang ilmuwan yang sejak awal mempertahankan istilah Filsafat Ilmu. Dia berpendapat bahwa istilah yang lebih tepat, dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, ialah filsafat ilmu. Menurut dia, penggunaan istilah filsafat ilmu pengetahuan tidak tepat, sebab pengetahuan adalah genus, sedangkan ilmu adalah species. Oleh sebab itu keduanya tak dapat disejajarkan. Sedangkan ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan.
Epistemologi sendiri berarti teori pengetahuan (dari bahasa Yunani: episteme = pengetahuan; logos = teori. Dad akar kata ini muncul istilah epistemology dalam bahasa Inggris). Jadi, epistemologi pada dasarnya berarti teori tentang pengetahuan. Kalau begitu, apa beds filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan?
Karena ilmu dan pengetahuan tidak sama (pengetahuan merupakan genus, ilmu adalah species), maka filsafat ilmu tidak sama persis dengan filsafat pengetahuan. Bahwa kedua istilah itu disamakan dalam pemakaian di kalangan akademis, itu soal lain. Verhaak menjelaskan sebagai berikut: filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan adalah episteme sesuai pandangan Aristoteles. Filsafat pengetahuan memeriksa sebab-musabah itu bertolak dan gejala pengetahuan dalam hidup sehari-hari, antara lain kebenaran, kepastian, obyektivitas, abstraksi, intuisi, asal usul dan tujuan pengetahuan. Filsafat ilmu juga mempelajari semuanya itu, namun karena sudah meneliti dan membicarakan sebab musabah pertama tadi, filsafat ilmu dalam hal ini tidak menambah sesuatu yang baru.
C.A. van Peursen, memulai bab I dalam bukunya dengan subjudul menantang: Filsafat Ilmu, Apakah Memang Ada? Ia kemudian menjawab bahwa memang ada filsafat ilmu. Menurut van Peursen, filsafat ilmu adalah renungan mengenai apakah ilmu itu, yakni tentang struktur dan fungsi ilmu. Menurut dia, filsafat ilmu mempunyai dua tendensi, yakni tendensi metafisik, dan tendensi metodologik. Tendensi metafisik mempelajari dasar-dasar ilmu, sedangkan tendensi kedua menyelidiki metodologi ilmu. Disini dipelajari cara kerja dan susunan ilmu.
Dari pandangan-pandangan di atas menjadi jelas bahwa filsafat ilmu memang tidak sama begitu saja dengan filsafat pengetahuan, analog dengan perbedaan antara ilmu dan pengetahuan. Menurut van Peursen, filsafat ilmu merupakan perpanjangan dan ilmu tentang pengetahuan, atau penerapan teori pengetahuan pada pengetahuan ilmiah. Filsafat pengetahuan atau teori pengetahuan menelaah struktur dan kesahihan pengetahuan insana, yang mencakup antara lain kegiatan mengamati, mengingat, menyangka, dan bernalar. Jadi, bidang yang lebih luas dari pengetahuan ilmiah. Dalam arti lebih sempit, filsafat ilmu mencakup penerapan pendapat-pendapat, baik klasik maupun modern, tentang teori pengetahuan pada ilmu.
Jadi, filsafat ilmu sebetulnya merupakan salah satu penyelidikan atau refleksi lanjutan (second reflection). Posisinya sama dengan refleksi lanjutan lain seperti sejarah ilmu, psikologi ilmu, atau sosiologi ilmu (tentu saja ada perbedaannya!) Kita tahu bahwa para ilmuwan (di bidangnya masing-masing) melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek dan masalah-masalah khusus di bidangnya. Yang dilakukan filsafat ilmu ialah melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah itu. Disini perhatian tidak lagi terkonsentrasi pada obyek-obyek penyelidikan ilmiah tersebut tapi dialihkan kepada proses penyelidikannya itu sendiri. Jelas, segi-segi yang menonjol dan latar belakang seluruh kegiatan tampil kedepan. Maka akan lebih jelas terlihat saling kaitan antara obyek-obyek dan metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dan tujuan penyelidikan ilmiah, antara pendekatan alamiah dan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah.
Dan penjelasan-penjelasan tadi kita dapat menyimpulkan bahwa filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan atau teori pengetahuan (epistemologi) itu berbeda. Filsafat ilmu merupakan perpanjangan dari teori pengetahuan. Hanya saja, seperti dikatakan Verhaak, karena baik filsafat ilmu maupun filsafat pengetahuan (dalam konsep Aristoteles) merupakan episteme (yang berarti manusia tidak hanya tahu tentang sesuatu, tapi tahu mengapa sesuatu itu) yakni pengetahuan sampai ke sebab musababnya, maka filsafat ilmu tidak dapat menambah suatu yang baru lagi.
Hubungan yang sangat erat antara filsafat ilmu dan epistemologi dapat dilihat dan penjelasan Beerling. Menurut Beerling, dua lapangan penyelidikan filsafat ilmu adalah pertama, sifat pengetahuan ilmiah, dan kedua, cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah. Pada bidang penyelidikan yang pertama, filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan/epistemologi, yang secara umum menyelidiki syaratsyarat dan bentuk-bentuk pengetahuan manusia. Pada bidang penyelidikan kedua, filsafat ilmu berhubungan erat dengan logika dan metodologi. Tidak heran, kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan pengertiannya dengan metodologi.
Jelas disini, cakupan penyelidikan filsafat ilmu lebih luas dibanding filsafat pengetahuan, karena is juga menyelidiki metodologi bagaimana pengetahuan ilmiah itu diperoleh. Tapi, karena itu pula filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan, seringkali disamakan (tanpa disadari), sampai-sampai epistemologi disinonimkan dengan filsafat ilmu.
Dan berikut ini akan dijelaskan beberapa definisi menyangkut epistemologi. Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, definisi ini diberikan untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang apa itu filsafat ilmu.
Epistemologi berasal dari kata bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Jadi, epistemologi ialah teori pengetahuan. Kata gnoseologi (nama lain dan epistemologi) berasal dari bahasa Yunani gnosis = tahu/pengetahuan dan logos = ilmu.
Berdasarkan asal usul kata di atas, dikemukakan sejumlah definisi tentang epistemologi. Definisi apa saja yang diberikan, selalu mengandung unsur-unsur dasar tersebut. Secara sederhana filsafat ilmu dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari hakikat ilmu. Beerling dkk, mendefinisikan filsafat ilmu sebagai penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Rupanya yang lebih padat dan lengkap adalah definisi yang diberikan oleh Runnes, sebagaimana dikutip Rizal. Runnes mengatakan bahwa epistemologi adalah "cabang filsafat yang menyelidiki asal-usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan (the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge).
Agar filsafat ilmu betul-betul dibedakan dari ilmu, Beerling dkk, menulis sebagai berikut: "...Filsafat Ilmu tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam kenyataannya, melainkan mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat mengatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah."
The Liang Gie, memberikan sebuah daftar definisi filsafat ilmu sekedar untuk memperkaya pemahaman. Tapi, toh akhir-akhirnya apa yang menjadi pusat perhatian filsafat ilmu ialah asal-usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Hanya saja setiap filsuf memberikan tekanan terhadap unsur-unsur tertentu dalam definisinya. Alfred Cyril Ewing, misalnya, berkata: "istilah filsafat ilmu biasanya diterapkan pada cabang logika yang membahas dalam suatu cara khusus metode-metode dari berbagai macam ilmu". Di sini Ewing menekankan unsur metode. Sebaliknya, A.R. Lacey, menekankan unsur metodenya ilmu. Berdasarkan obyek formalnya, filsafat ilmu (philosophy of science) punya nama lain, seperti teori ilmu (theory of science), adi-ilmu (meta science), metodologi (methodology), dan ilmu tentang ilmu (science of science atau scientia scientiarum). Rudolf Carnap mendefinisikan epistemologi sebagai science of science yang tugasnya ialah melakukan analisis dan deskripsi tentang ilmu dari berbagai sudut pandang, termasuk logika, metodologi, sosiologi, dan sejarah ilmu.
Secara sederhana, jika kita mengikuti pendapat Berling di atas, dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional.
Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
Permasalahan diseputar Sumber Pengetahuan
Terdapat dua cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar, yakni: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu yang paling otoritatif adalah al-Qur’an dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggi-tingginya pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi.
Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science). Masalah lainnya adalah munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke pinggir.
Masalah lainnya yang muncul adalah menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya seperti metode intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai pengalaman legitimate dan riil dari manusia.
Tujuan Filsafat Ilmu
Apakah filsafat ilmu itu bermanfaat? Sebagai cabang filsafat, pertanyaan ini tentu terkait dengan pertanyaan: apakah filsafat itu bermanfaat? Bahwa berfilsafat itu berarti masuk dunia yang abstrak, tidak seorang pun yang membantah. Tetapi, bukan hanya faktor-faktor itu menentukan bermanfaat tidaknya filsafat atau filsafat ilmu. Disini bukan tempat untuk berdebat tentang apakah filsafat ilmu itu bermanfaat atau tidak. Kita andaikan bahwa ilmu ini memang bermanfaat (salah satu petunjuknya ialah bahwa filsafat ilmu menjadi mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi, termasuk MSI UII. Sebab, jika tidak berguna maka tidak akan diajarkan dan wajib diikuti oleh mahasiswa). Disamping itu, di negara-negara maju filsafat ilmu sudah sangat maju dan dianggap sebagai salah satu cabang ilmu yang penting demi kemajuan ilmu itu sendiri. Kecenderungan ini menjalar ke Indonesia. Beberapa tahun terakhir, filsafat ilmu sudah menjadi mata kuliah wajib di berbagai perguruan tinggi. Ini juga merupakan indikasi bahwa cabang filsafat ini dianggap bermanfaat, paling kurang di mata para perencana pendidikan dan kebudayaan pemerintah.
Memang, ada kesan bahwa sebagian masyarakat menganggap filsafat kurang penting. Paling tidak, mereka berpendapat bahwa filsafat tidak praktis. Maksudnya, filsafat tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis sehari-hari. Kehidupan di zaman ini memang menuntut spesialisasi dan keahlian. Maka filsafat yang membangga-banggakan diri sebagai ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara menyeluruh tersisih, atau -katakanlah -dibangkucadangkan. Bahwa filsafat itu tidak terlalu dituntut untuk memasuki pasar tenaga kerja modern (dibandingkan misalnya dengan ilmu komputer, psikologi, ekonomi Islam, manajemen, akuntansi, dan hukum), tidak kita sangkal. Jarang kita temukan persyaratan untuk suatu lowongan kerja (yang dimuat di koran atau majalah) mencantumkan ijazah filsafat sebagai persyaratan. Ini ada kaitannya dengan semangat utilitaris yang menjadi ciri kehidupan modern. Orang mencari pertama-tama yang berguna dan praktis bagi kehidupan.
Archie J. Bahm, dalam tulisannya berjudul Philosophy and Interdisciplinary Research (dalam Spectrum, bunga rampai untuk menghormati Sutan Takdir Alisjahbana pada ulang tahun ke-70 pada halaman 47-56) mengidentifikasi sembilan faktor yang menyebabkan dilalaikannya filsafat akademis. Kesembilan faktor tersebut adalah proliferation, obsolescence, specialization, indifferentiation, sectarianization, personalization, reductionism, complexification, dan incompetencification.
Proliferation yakni meningkatnya secara mencolok jumlah filsuf dan aliran-aliran filsafat menyebabkan semakin sulit, bahkan mustahil, menguasai semua ajaran filsafat. Filsafat cenderung tidak komprehensif, karena hanya sekedar memenuhi kebutuhan praktis. Minat terhadap filsafat juga berkurang karena meningkatnya kompetisi yang disebabkan bertambahnya jumlah ilmu-ilmu dan cabang-cabang ilmu baru.
Obsolescence yakni terkait dengan banyaknya pemikiran filosofis tua yang masih harus dipelajari untuk memahami pemikiran-pemikiran kontemporer. Namun kecenderungan ini mengakibatkan pengajaran filsafat yang ketinggalan zaman masih banyak dilakukan. Pada gilirannya ini menyebabkan tidak ada rangsangan untuk menemukan pemikiran filosofis baru yang relevan dengan keadaan zaman.
Specialization terkait dengan spesialisasi ilmu-ilmu menyebabkan filsafat makin ditinggalkan. Proses itu berawal pada pemisahan ilmu-ilmu dari filsafat. Indifferentization merupakan sikap acuh tak acuh masyarakat terhadap profesi filsuf. Masyarakat nampaknya tidak merasa membutuhkan filsuf untuk urusan kegiatan profesionalnya. Akibatnya, filsuf-filsuf dan pengajar filsafat itu sendiri juga cenderung sibuk dengan urusan-urusan yang diminatinya.
Sectarianization terkait dengan jabatan-jabatan struktural di perguruan tinggi, khususnya fakultas filsafat, dipegang oleh orang-orang yang menganut aliran filsafat tertentu. Akibatnya, hanya aliran-aliran tertentu yang berkembang. Personalization menyangkut apa yang diajarkan di bangku kuliah adalah pandangan pribadi pengajar yang bersangkutan. Ini berkaitan dengan sikap indiferen masyarakat terhadap profesi filsuf dan filsafat yang mengakibatkan filsuf cenderung untuk berfilsafat sendiri.
Reductionism terkait dengan cara pikir filsafat yang komprehensif direduksi kepada pemikiran pribadi. Orang cenderung menarik kesimpulan sendiri-sendiri. Contoh, empirisme yang memungkinkan orang menarik kesimpulan berdasarkan pengalaman empirisnya sendiri. Atau skeptisisme yang membuat orang untuk tidak mengambil kesimpulan apapun terhadap dunia riil.
Complexification yakni berupa kemajuan ilmu-ilmu lain menyebabkan diri pribadi (self), masyarakat dan alam raya semakin kompleks. Hal ini menyebabkan permenungan atas dunia dan realitas juga menjadi semakin rumit. Incompetencification, karena dunia semakin kompleks, maka manusia juga semakin tidak mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang semakin kompleks tersebut.
Meredupnya pamor ilmu filsafat, ditengah-tengah perkembangan pesat dan kejayaan ilmu-ilmu positif, mempunyai dampak negatif yang dirumuskan Bahm sebagai disorientasi (disorientation), demoralisasi (demoralization), ketakmampuan bertindak (incapacitation), bencana (crucifixion), dan rekonstruksi (reconstruction).
Disorientasi disebabkan karena kita tidak memiliki gambaran utuh tentang hakekat, tujuan hidup, pribadi, masyarakat, dan masyarakat manusia, maka kita kehilangan orientasi. Ini menyebabkan negara-negara dan kelompok-kelompok menghayati doktrin-doktrin sektarian sehingga menyulitkan kerja sama yang lebih luas.
Demoralisasi menyangkut kekaburan pengertian tentang konsep moral, misalnya, menghasilkan pemahaman yang salah terhadap berbagai bidang kehidupan seperti tentang tugas, pekerjaan, atau kebebasan. Salah satu akibatnya adalah meningkatnya angka kriminalitas dan ekses-ekses sosial lainnya.
Ketakmampuan bertindak (incapacitation) terkait dengan tidak adanya visi bersama di kalangan para pemimpin bangsa atau kelompok mempersulit usaha ke arah perdamaian dunia dan penegakan perdamaian, keadilan, survival, atau standar hidup minimal.
Krisis semakin parah (crucifixation) yang diakibatkan krisis demi krisis yang terjadi tanpa ditangani secara mendasar akan menghasilkan krisis yang lebih parah. Dan Rekonstruksi dimana upaya rekonstruksi akan menjadi lebih mahal.
Namun demikian dalam persfektif manfaat, manfaat belajar Filsafat Ilmu, setidaknya dapat dilihat berdasarkan tiga pertimbangan, yakni pertimbangan strategis, kebudayaan, dan pendidikan. Ilmu merupakan kekuatan yang membentuk kebudayaan, menggerakkan sejarah, dan mengubah dunia. Sejarah menunjukkan bahwa evolusi peradaban manusia selalu digerakkan oleh ilmu. Segala aspek kehidupan umat manusia mengalami perubahan total setelah terjadinya revolusi ilmu di abad pertengahan. Teknologi, yang merupakan penerapan ilmu, dewasa ini telah mengubah seluruh aspek kehidupan modem. Alvin Toffler, dalam buku Powershifi, menyebutkan tiga jenis kekuasaan di zaman ini, yakni kekerasan, teknologi, dan uang. Dan ketiganya, teknologi memiliki kekuasaan paling besar. Kemajuan ilmu dan teknologi merupakan unsur pendorong kemajuan peradaban manusia. Berkat ilmu dan teknologi, manusia mampu mengontrol alam untuk kepentingan manusia. Teknologi merupakan perpanjangan tangan manusia yang melengkapi apa yang kurang pada manusia.
Sebaliknya, kita juga menyadari keterbataan-keterbatasan teknologi. Tidak jarang terjadi, teknologi mendatangkan malapetaka bagi manusia. Teknologi nuklir yang digunakan untuk kepentingan bangsa manusia (misalnya sebagai sumber tenaga penggerak dalam transportasi, penerangan, dan lain-lain) seringkali kali mendatangkan bencana. Contoh, teknologi nuklir dapat digunakan dalam perang antarbangsa yang mengakibatkan penghancuran massal. Manusia, berkat teknologi, mampu mengadakan penelitian dan membuat obat-obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, tetapi salah pemakaian obat-obat itu juga justru mendatangkan kesengsaraan dan masalah baru. Kemajuan teknologi biomedis memungkinkan manusia menciptakan fotokopi manusia (cloning), tapi prestasi ini serentak memunculkan persoalan etis yang sulit dipecahkan.
Krisis epistemologi seringkali memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk, seperti dogmatisme totaliter, skeptisisme radikal, dan relativisme mutlak. Semuanya berkaitan pula dengan berbagai krisis kemasyarakatan. Krisis epistemologi tidak jarang menimbulkan berbagai pertentangan, rasa saling curiga, dan permusuhan di antara manusia.
Jadi, ilmu membuktikan diri sebagai kekuatan yang sering disalahgunakan sehingga mendatangkan kesengsaraan umat manusia. Untuk mencegah hal tersebut, kita perlu mempelajari secara mendalam hakikat, sifat, dan struktur ilmu sehingga ilmu dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan dan hakikatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita perlu mempelajari filsafat ilmu.
Dari aspek kebudayaan, Pengetahuan merupakan salah satu unsur kebudayaan, bersama unsur-unsur lain seperti teknologi, ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, seni, dan religi. Dengan ilmu, manusia membudayakan diri, membudayakan alam, membudayakan masyarakat. Perkembangan kebudayaan selalu berjalan beriringan dengan perkembangan ilmu. Revolusi ilmu di Eropa merupakan dinamisator kelahiran kebudayaan modern. Proses itu sendiri telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti keagamaan, moral, hukum, politik, kemasyarakatan, ideologi, dan lain-lain. Jadi, epistemologi merupakan penggerak kebudayaan modern.
Sejalan dengan itu, muncul krisis-krisis sebagai ekor panjang dari perkembangan masyarakat yang digerakkan oleh perkembangan ilmu. Ada krisis pangan, krisis energi, krisis ekonomi, krisis perdamaian, krisis lingkungan hidup. Dan manusia mendambakan lahirnya suatu tatanan baru yang lebih manusiawi. Salah satu hal penting yang harus dilakukan ialah mempelajari epistemologi. Dengan mempelajari epistemologi, kita dapat menghindarkan din dari hal-hal negatif yang dalam sejarah lebih kelihatan di masyarakat.
Dalam aspek pendidikan, hubungan antara filsafat ilmu dan pendidikan sangat erat. Seperti dikatakan di atas, ilmu ikut membentuk pertumbuhan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Keduanya selalu berjalan seiring. Usaha pendidikan selalu berkaitan dengan ilmu. Bahkan, dalam pendidikan, ilmu memperoleh porsi yang sangat besar. Salah satu pokok utama dalam kaitan dengan pendidikan di sekolah ialah kurikulum. Dan kurikulum tidak dapat dipisahkan dari ilmu (materi, komposisi, metodologi, silabus, dan sistem evaluasinya). Mereka yang terlibat dalam perencanaan kurikulum dan pendidikan pada umumnya perlu mengetahui hakikat dan pertumbuhan ilmu itu sendiri.
Pendidikan merupakan kunci kemajuan. Tengok saja, pendidikan sangat ditekankan di negara-negara maju. Kemiskinan dan kebodohan dapat diberantas tuntas dengan pendidikan. Dengan pendidikan dibangun juga sikap yang tepat terhadap ilmu. Dan itu dilakukan dengan mempelajari epistemology.
Implikasi Mempelajari Filsafat Ilmu
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa peran filsafat dewasa ini sebetulnya sangat besar. Sebagai contoh, berbagai negara menghadapi ekses negatif karena ledakan penduduk dunia dan keadaan lingkungan yang semakin mencemaskan. Tapi ini terjadi justru karena negara-negara tidak mempunyai filosofi kependudukan dan manajemen pengelolaan lingkungan hidup yang jelas. Oleh sebab itu, bahwa pamor filsafat kelihatannya menurun, sehingga membawa dampak negatif seperti disebutkan di atas, itu merupakan bukti bahwa filsafat dan belajar filsafat ilmu dewasa ini tetap dan akan tetap penting. Kita dapat menyebutkan beberapa implikasi mempelajari filsafat ilmu yakni: pertama, filsafat memungkinkan orang berpikir secara komprehensif, memberi peran yang wajar kepada konsep, mendasar/radikal, konsisten/runtut, koheren/ logis, sistematis, bebas, dan bertanggungjawab, sebagaimana cirri berfikir filsafat itu sendiri
Kedua, filsafat memperluas pandangan melampaui disiplin ilmu tertentu. Filsafat ilmu membantu seseorang untuk menempatkan bidang ilmunya dalam perspektif lebih luas dan mendasar. Tanpa filsafat, ilmuwan cenderung untuk berpandangan sempit. "Fisikawan yang mempelajari seekor gajah hanya dengan mikroskop, akan memperoleh sedikit sekali pengetahuan tentang binatang itu," kata Henri Poincare (1854-1912), seorang ahli matematika dan filsafat Prancis.
Ketiga, filsafat memberikan pendasaran rasional tentang hakekat eksistensi, pengetahuan, nilai-nilai, dan masyarakat. Filsafat memberikan pendasaran mendasar tentang hakekat ilmu (epistemologi), menjadi orang berpikir lurus (logika), memberikan kritik terhadap ilmu-ilmu, memberikan keterangan tentang dasar terdalam realitas, memberikan argumentasi rasional bagi konsep-konsep teologi (teologi metafisik), membahas secara mendalam tentang manusia (antropologi filsafat), memberikan penjelasan mendasar tentang hakikat dan tujuan jagad raya (kosmologi), membimbing manusia dalam kegiatannya sebagai manusia (etika), memberikan dasar apresiasi bagi keindahan (estetika), dan mendorong orang untuk mengukur segalanya berdasarkan persepektif sejarah (sejarah filsafat).
Dan bagi orang beragama, filsafat ilmu memberikan pendasaran rasional bagi kepercayaannya. Hasilnya, iman orang akan menjadi semakin kokoh karena kepercayaannya mendapat dasar rasional dan dipertanggungjawabkan. Disamping itu, filsafat dibutuhkan untuk memecahkan masalah-masalah etis yang disebabkan oleh perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Misalnya, di bidang kedokteran,- teknologi, penjelajahan ruang angkasa, dan sebagainya.
Keempat, filsafat merupakan kritik ideologi. Ideologi adalah teori menyeluruh tentang makna hidup dan/atau nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup dan/atau bertindak. Ciri khas ideologi adalah bahwa tuntutannya bersifat mutlak. Ideologi menuntut bahwa suatu tidak boleh dipertanyakan. Sedangkan filsafat menuntut pertanggungjawaban, "Filsafat menggonggong, mengganggu dan menggigit."
Kepustakaan
Archi J Bahm. 1980. What is Science? New Mexico: al-Buquerque.
Beerling, dkk. 1998. Pengantar Filsafat Ilmu. Terj. Soedjono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana
Jujun S. Suriasumantri, 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Kuntowijoyo 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia Yogyakarta: Shalahuddin Press.
Paham Ginting dan Syafrizal Helmi Situmorang. 2008. Filsafat Ilmu dan Metode Riset. Medan: USU Press.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.