Sabtu, 05 Juni 2010

Konsep Syariah Lembaga Keuangan

Pendahuluan
Ratusan tahun sudah ekonomi dunia di dominasi oleh sistem bunga। Hampir semua perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain sehingga terus-menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman di bawah dominasi perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidakmampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Didunia, diantara negara maju dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang di dalam negara berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.

Dalam kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi tidak melihat sistem bunga sebagai biang keladinya। Karena luput dari pengamatan, Pemerintah di negara manapun direpotkan dengan ulah sistem bunga yang -build in concept-nya memang bersifat kapitalistik dan diskriminalistik. Karena ketidak sadaran akan besarnya kelemahan sistem bunga, Pemerintah di negara-negara tersebut menjadi sibuk menambalnya dengan berbagai kebijaksanaan dan peraturan yang memaksa para pelaku ekonomi yang di untungkan sistem bunga agar menaruh kepedulian pada pelaku ekonomi yang dirugikan sistem bunga. Tetapi para pelaku ekonomi yang diuntungkan sistem bunga dan telah menjadi konglomerat itu kebanyakan lebih merasakannya sebagai paksaan daripada kewajiban, sebaliknya para penyandang gelar ekonomi lemah korban sistem bunga lebih merasakannya sebagai belas kasihan dari pada hak dan pemasaran tapi sayangnya sistem bunga yang berlaku secara otomatis menjaga jarak tetap diantara keduanya.

Namun di Indonesia, kita patut bersyukur bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi hasil.

Hasilnya, sebagian umat Islam di Indonesia mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk mendirikan lembaga-lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti: modal ventura, leasing, dan pegadaian.

Dari uraian di atas, agar pembahasan yang dilakukan dalam makalah ini bisa lebih terfokus, maka pemakalah akan memberikan batasan dalam menguraikan beberapa permasalahan yang akan dikaji yakni mengenai konsep lembaga keuangan syariah (lembaga keuangan bank atau perbankan syariah), riba dan cikal bakal lahirnya perbankan syariah, Interpretasi gerakan neo-revivalis tentang riba dan bunga bank, sejarah perkembangan lembaga keuangan syariah, operasionalisasi lembaga keuangan syariah, perbedaan bank konvensional dengan bank syariah, bank syariah dan sektor riil dan kritik terhadap perbankan syariah. Selanjutnya pembahasan pada makalah ini akan dilanjutkan dengan bagimana menangkap “gambaran besar” keuangan Islam dalam suatu pendekatan, lalu makalah akan ditutup dengan hidangan penutup.

Konsep Lembaga Keuangan Syariah
Munculnya instrumen perekonomian dalam bentuk perbankan syariah menimbulkan beberapa polemik dalam khazanah pemikiran umat Islam, khususnya intelektual muslim kontemporer। Polemik tersebut timbul dikarenakan masih simpangsiurnya ketetapan yang pasti mengenai hukum bunga bank konvensional, apakah ia termasuk riba sebagaimana yang dituduhkan oleh para teoritisi perbankan syariah yang di gawangi oleh cendikiawan-cendikiawan muslim yang tergabung dalam gerakan neo-rivivalis. Ataukah bukan riba seperti yang coba dijelaskan secara kritis oleh cendikiawan-cendikiawan muslim lain, yang tergabung dalam gerakan modernis. Karena itu, meski diakui juga bahwa eksistensi perbankan syariah yang saat ini eksis dan berkembang tidak lepas dari kontribusi ide-ide dan usaha nyata dari kedua gerakan tersebut. Khususnya gerakan neo-revivalis sebagai pencetus awal pendirian perbankan syariah.

Banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya bank-bank syariah yang muncul antara tahun 1960-an dan 1970-an. Diantaranya yang paling dominan adalah: (1) upaya neo-revivalis dalam memahami hukum tentang bunga sebagai riba, (2) adanya kekayaan negara-negara muslim akan minyak yang melimpah, (3) penerimaan terhadap interpretasi tradisional tentang riba untuk dipraktekkan oleh beberapa negara muslim sebagai bentuk kebijaksanaannya.

Dari ketiga faktor tersebut, faktor yang disebutkan pertama merupakan faktor kunci dari terlaksananya ide pendirian bank syariah, sebab gerakan neo-revivalis pada saat itu (tahun 1960-an) begitu gencar mengkampanyekan keharaman bunga bank konvensional, dengan argumen bahwa setiap kelebihan dari pokok pinjaman, baik itu sedikit maupun berlipat ganda adalah riba. Dan umat Islam diwajibkan untuk meninggalkannya.

Pandangan dari para neo-revivalis tentang bunga bank ini tentu saja berbeda dengan pandangan para modernis. Para modernis berpandangan bahwa permasalahan hukum bunga bank tidak bisa secara tergesa-gesa dihukumi haram karena disamakan dengan riba, melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan maslah tersebut secara tekstual. Menurut mereka banyak aspek yang harus dijadikan pertimbangan sebelum menentukan apakah bunga bank itu sama dengan riba atau tidak.

Sebagian besar dari para modernis berpendapat bahwa bunga bank tidak identik dengan riba, sebab dalam bunga bank masih terdapat beberapa unsur yang tidak terdapat dalam riba. Syahrur salah seorang dari modernis mengatakan bahwa bunga bank tidak haram karena tidak berlipat ganda (‘ad’afab mudha’afatan), sementara itu Fazlur Rahman berpendapat bahwa unsur yang paling penting yang harus diperhatikan dalam membahas masalah riba adalah unsur keadilan.

Sedangkan Abdullah Saeed secara lebih luas menjelaskan argumen-argumen tentang kebolehan bunga bank, dan bahkan secara implisit baik mengkritik beberapa jenis transaksi yang dipraktekkan oleh perbankan syariah, yang menurut Abdullah, pada dasarnya sama saja dengan praktek perbungaan yang diterapkan oleh perbankan konvensional.

Riba dan Cikal Bakal Lahirnya Perbankan Syariah
Sebagaimana bank konvensional, bank syariah juga memiliki fungsi intermediasi। Perbedaan hanya terletak pada instrumen yang digunakan, jika bank konvensional menggunakan bunga, maka perbankan syariah menarik dan mengharamkan diri dari bunga dan sebagai alternatif lebih menekankan pada prinsip bagi untung dan sharing rugi. Disamping fungsi intermediasi, perbankan syariah juga melakukan fungsi ta’awwun (sosial).

Konsep teoritis bank tanpa bunga muncul pertama kali pada 1940-an, namun belum dapat diwujudkan, selain karena kondisi yang belum memungkinkan, juga belum ada pemikiran tentang bank Islam yang meyakinkan। Beberapa pemikir yang menyampaikan gagasan mengenai perbankan berdasarkan bagi hasil yakni Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Selanjutnya uraian yang lebih rinci ditulis oleh Mawdudi pada 1950 (1961). Tulisan-tulisan Muhammad Hamidullah yang ditulis pada 1944, 1955, 1957, dan 1962 juga dikatagorikan sebagai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam.

Pada awal mulanya, pembentukan bank Islam memang diragukan meskipun pada 1975 Dubai Islamic Bank resmi berdiri, begitu juga Pilgrim’s Management Funds pada 1962 dan setelah keputusan-keputusan konfrensi negara-negara Islam se-dunia pada April 1968 di Kuala Lumpur menyangkut bank Islam, maka bank Islam mulai marak। Keraguan mendirikan bank Islam setidaknya disebabkan oleh: pertama, banyak yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang tidak mungkin dan karena itu tidak lazim. Kedua, pertanyaan menyangkut bagaimana perbankan Islam itu akan membiayai operasinya. Namun pada akhirnya para pendukung pendirian perbankan Islam dapat memastikan bahwa usaha yang dilakukan membuahkan hasil.

Riba sebagai cikal bakal pendirian bank Islam, ternayata tidak lepas dari polemik dan perbedaan menyangkut ruang lingkup munculnya riba yang terdapat dalam al-Qur’an dan penjelasan Rasulullah saw। Selanjutnya, kita akan melihat, setidaknya terdapat tiga aliran pandangan menyangkut riba dan larangan mengenai bunga bank yakni pandangan pragmatis, pandangan konservatif dan pandangan sosio-ekonomis.

Pandangan pragmatis beranggapan bahwa yang dilarang adalah usury yang berlaku selama sebelum era Islam, namun tidak melarang bunga dalam sistem keuangan modern। Pendapat ini didasarkan pada Q.S. Ali Imran ayat 130 yang melarang penggandaan pinjaman melalui proses yang usurious. Dengan demikian menurut pandangan ini transaksi-transaksi yang berdasarkan bunga dianggap sah. Selanjutnya menurut pandangan ini bahwa di dalam hadis tidak terdapat suatu bukti yang kuat bahwa yang dilarang oleh Islam adalah termasuk juga bunga menurut sistem keuangan modern, laporan mengenai riba di dalam hadis dianggap ambivalen dan tidak konsisten, dengan demikian menurut pragmatisme pembebanan bunga adalah suatu kebutuhan untuk pembangunan ekonomi negara-negara muslim. Bunga dimaksudkan untuk menggalakkan tabungan dan mengerahkan modal untuk membiayai investasi-investasi yang produktif, karenanya penghapusan bunga akan menghambat pembangunan, bahkan menurut pandangan ini, penghapusan bunga justru akan bertentangan dengan semangat dan tujuan-tujuan Islam.

Pandangan berikutnya dalam perspektif konservatif। Berlawanan dengan pandangan pragmatis, pandangan konservatif berpendapat bahwa riba harus diartikan, baik sebagai bunga maupun usury. Menurut pandangan ini, penafsiran yang demikian ini didukung oleh al-Qur’an dan hadis. Pendukung pandangan ini misalnya M. Umer Chapra yang berpendapat bunga bank adalah riba nasi’ah yang diharamkan.

Pandangan ketiga yakni pandangan sosio-ekonomis। Pendapat yang terpenting dalam perspektif ini adalah yang mengemukakan bahwa bunga memiliki kecendrungan pengumpulan kekayaan ditangan segelintir orang. Dengan demikian pemasok dana yang berbunga itu, seharusnya tidak tergantung pada ketidakpastian yang dihadapi oleh penerima pinjaman. Pengalihan resiko dari satu pihak kepada pihak lain merupakan pelanggaran hukum. Perjanjian yang demikian tidak adil dan dapat menimbulkan rasa mementingkan diri yang bertentangan dengan semangat Islam yakni mengenai persaudaraan.

Pendapat lain mengenai larangan terhadap bunga adalah bahwa dalam kerangka ekonomi Islam, modal bukan merupakan suatu faktor produksi yang terpisah, melainkan merupakan bagian dari faktor produksi yang lain, yakni perusahaan। Hal ini berarti bahwa, mengambil keuntungan dari penyediaan modal tanpa adanya keterlibatan pribadi terhadap resiko oleh pemilik dana tidak diinginkan oleh Islam. Lebih lanjut, menurut Islam, semua di dunia ini tergantung kepada hukum alam mengenai penyusutan. Semua uang harus susut setelah berjalannya waktu.

Dari beberapa pandangan yang telah diuraikan di atas selanjutnya kita akan menengok pembahasan mengenai interpretasi riba dan pendapat-pendapat berbeda dari para cendikiawan yang tergabung dalam dua gerakan kebangkitan kembali Islam yakni gerakan neo-revivalis dan gerakan modernis, meskipun ketiga pandangan yang telah disebutkan di atas juga terkait erat dengan kedua gerakan ini, namun hal tersebut lebih dimaksudkan untuk memetakan perspektif menyangkut apakah bunga bank itu sama dengan riba. Berikut uraian mengenai kedua gerakan tersebut.

Interpretasi Gerakan Neo-Revivalis Tentang Riba dan Bunga Bank
Berbicara mengenai gerakan neo-revivalis, tidak dapat dilepaskan dari dua gerakan yang menjadi penopang utama gerakan ini। Dua gerakan tersebut ialah Ikhwanul Muslimin di Mesir yang didirikan oleh Hasan Al Banna (w.1949) dan Jamiat al-Islami yang dipimpin oleh Abu ‘Ala al-Maududi.

Kedua gerakan ini memiliki pemahaman yang sama akan haramnya bunga bank karena sama dengan riba। Landasan umum yang mereka pegang adalah bahwa setiap bentuk tambahan dari harta pinjaman pokok, baik banyak maupun sedikit adalah riba dan haram hukumnya untuk mengambilnya. Hal ini, menurut mereka telah ditegaskan dengan sangat jelas oleh al-Qur’an yang tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 278-279.

Dan hampir semua tokoh gerakan ini, memiliki cara pandang dan argumen yang sama dalam permasalahan tidak dibolehkannya bunga bank karena sama saja dengan riba. Diantara para tokoh gerakan neo-revivalis yang paling gencar menyuarakan hal ini adalah Maududi, Sayyid Qutb, Chapra, Muhammad Uzair, Siddiqi, Nabhani dan lain-lain.
Dalam memperkuat pandangannya itu, gerakan neo-revivalis memberikan beberapa argumen yang secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: (1) Dalam Islam, uang hanya berlaku sebagai alat tukar, bukan komoditi। Sebab tidak ada landasan hukum dalam Islam yang membolehkan eksploitasi terhadap uang, kecuali dalam transaksi-transaksi yang dibenarkan Islam. (2) Riba merupakan pendapatan yang diperoleh secara dzalim. Hal ini telah dilarang oleh semua agama samawi, begitu juga dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa riba menyebabkan kedzaliman (ketidakadilan). (3) Riba akan membuat orang malas dan akan membunuh motivasi untuk bekerja. Dengan riba seseorang akan mendapat keuntungan tanpa harus berbuat apapun. Dan ini sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam. (4) Bunga bank haram secara mutlak, sebab telah memenuhi unsur-unsur riba, dimana didalamnya terdapat suatu penambahan dari pokok pinjaman, adanya penetapan suatu penambahan yang tetap dan ditentukan di awal, adanya unsur time value of money, dan eksploitasi kreditor terhadap debitor. (5) Bunga bank lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya, kemudharatan dalam hal ini berkaitan dengan kesengsaraan secara ekonomi bagi pihak yang melakukan peminjaman dengan bunga.

Dari pemaparan di atas, dapat kita lihat bahwa argumen-argumen yang disampaikan kebanyakan bersifat apologetik। Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang melatarbelakangi. Diantaranya adalah argumen-argumen di atas lebih menekankan pada aspek penafsiran secara harfiah terhadap ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai riba. Selain itu argumen-argumen tersebut juga digunakan sebagai landasan untuk menyerang teori-teori barat tentang pembenaran terhadap bunga. Seperti teori abstinence, teori agio, teori liquiditas dan lain-lain.

Namun, terdapat pula beberapa argumen yang lebih ilmiah dari beberapa tokoh neo-revivalis, seperti Yusuf Qardhawi (2001) menyatakan bahwa, sesungguhnya hikmah eksplisit dan tampak jelas dari pengharaman riba adalah mewujudkan persamaan yang adil antara pemilik harta (modal) dengan usaha, serta memikul resiko, secara berani dan penuh rasa tanggung jawab। Inilah yang dimaksud dengan pengertian “Keadilan Islam”. Sedangkan menurut M. Umer Chapra, riba atau bunga bukan saja menjadi salah satu sumber ketidakadilan tetapi juga menimbulkan mis-alokasi sumber-sumber daya, pertumbuhan yang tidak menentu, ketidakstabilan dan berbagai persoalan lainnya. Faktor ketidakadilan menjadi alasan utama pelarangan konsep riba, karena hanya menguntungkan si pemberi pinjaman tanpa mempertimbangkan resiko ketidakpastian yang harus dipikul oleh pelaku bisnis.

Pembahasan tema ini tidak bermaksud untuk memperpanjang perdebatan dari kedua gerakan pemikiran tersebut, karena masing-masing pihak telah bersikukuh terhadap pandangan dan pendapatnya masing-masing। Selain itu dalam makalah ini pemakalah tidak akan mengulas secara panjang lebar menyangkut riba ini karena pada pertemuan sebelumnya Bapak Dosen Pengampu telah memberi penjelasan menyangkut hal ini, dan pemakalah mempersilahkan para pembaca untuk merujuk beberapa karya menyangkut riba ini.

Selanjutnya untuk kepentingan pembahasan dalam makalah ini, pemakalah akan bersepakat bahwa Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan perbankan yang operasioanal dan produknya dikembangkan berlandaskan pada al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokok-nya memberikan pembiayaan dan jasa-jasalainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan perinsip syariat Islam. Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan bank yang beroperasi dengan perinsip syariah Islam. Dengan demikian bank syariah adalah: (1) Bank yang beroperasi sesuai dengan perinsip-perinsip syariah Islam, (2). Bank yang tata cara beroperasi nya mengacu pada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan hadist.

Sejarah Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
Meskipun terdapat sebagian ekonom muslim yang meletakkan dasar sejarah perkembangan lembaga keuangan syariah (perbankan syariah) semenjak zaman Nabi SAW yakni dengan telah diletakkannya prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang harus dijadikan pedoman dalam aktivitas perdagangan dan perekonomian, dan dilanjutkan pada masa sahabat, Bani Umayyah dan Bani Abbasiah, namun dengan tidak mengingkari kenyataan tersbut, pada pembahasan makalah ini kita sedikit hanya akan menelusuri perkembangan perbankan syariah di dunia internasional dan di Indonesia.

a. Perkembangan Perbankan Syariah di Dunia Internasional
Gagasan mengenai bank syariah telah muncul sejak lama, ditandai dengan banyaknya pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaan bank Islam, misalnya Anwar Qureshi (1946), Naeim Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952), awal abad ke 20 merupakan masa kebangkitan dunia Islam। Kondisi ini membawa pada kesadaran baru untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai syariah dalam kehidupan nyata.

Perintisan penerapan sistem profit andloss sharing, sebagai inti bisnis lembaga keuangan syariah tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya mengelola dana jamaahhaji secara nonkonvensional di pakistan dan Malaysia। Rintisan berikutnya yang merupakan tonggak sejarah perkembangan perbankan syariah adalah Islamic Rural Bank didaerah Mit Ghamr yang didirikan oleh Dr. Ahmed el-Najar yang permodalannya di bantu oleh Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo, Mesir, walaupun pada akhirnya operasional di ambil alih oleh National Bank of Egyt dan Central Bank of Egypt.

Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional, muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia, pada bulan April 1969, yang diikuti 19 negara peserta। Konfrensi tersebut menghasilkan beberapa hal, antara lain: (1) Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit/banyak haram hukumnya; (2) Di usulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dan sistem riba dalam waktu secepat mungkin; (3) Sementara waktu menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi, namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.

Kemudian tonggak sejarah lainnya bagi perkembangan bank Islam yaitu dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB)। Pendiriannya diawali dengan sidang menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konfrensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan pada bulan Desember 1970, dimana Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan bank syariah Internasional.

Setelah melalui persetujuan negara-negara OKI lainnya dan tahapan-tahapan tertentu, maka pada tahun 1975 berdirilah IDB yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri, akhir periode 1970 an dan awal dekade 1980-an, lembaga-lembaga keuangan syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-Negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, dan Turki.
Bank-bank syariah dalam bentuknya yang sekarang untuk pertama kalinya didirikan di Dubai dengan nama Dubai Islamic Bank pada tahun 1973 oleh sekelompok pengusaha muslim dan beberapa negara। Dalam jangka waktu 10 tahun sejak pendirian bank tersebut telah muncul lebih dari 50 bank yang bebas bunga. Di luar negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bank-bank tersebut telah didirikan pula di Denmark, Luxembourg, Switzerland, dan United Kingdom.

Sekalipun baru tahun 1970-an perbankan syariah dalam bentuknya sekarang ini muncul, tetapi praktik-praktik dasarnya dan asas-asasnya berasal jauh dari sebelum itu, yaitu abad ke-7 atau 1400 tahun yang lalu, karena falsafah dan asas-asasnya telah digariskan di dalam al-Qur’an dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana ternyata dalam hadist-hadist beliau।

Asas-asas tersebut kemudian diperaktikkan dan berkembang ditahun-tahun permulaan Islam. Pedagang-pedagang muslim telah tersebar diberbagai bagian dunia, seperti Spanyol, Meditarranean, dan negara-negara Balkan. Para pemodal dan pengusaha Eropa kemudian telah mengambil dan menerapkan beberapa asas tersebut.

b. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Umat Islam Indonesia telah lama mendambakan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan syariat Islam. K.H. Mas Mansur, Ketua pengurus besar Muhammadiyah periode 1937-1944 telah menguraikan pendapatnya tentang penggunaan jasa bank konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mepunyai bank sendiri yang bebas riba. Kemudian disusul dengan ide untuk mendirikan bank syariah di Indonesia yang sebenarnya telah muncul sejak pertengahan tahun 1970-अन

Wacana ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar Internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK)। Dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ide ini terhambat karena tidak sejalan dengan UU pokok perbankan yang berlaku, yaitu UU No. 14 tahun 1967 dan konsep bank syariah dari segi politis juga di anggap berkonotasi ideologis, merupakan bagian atau berkaitan dengan konsep negara Islam, oleh karena itu tidak dikehendaki pemerintah.

Pelaksanaan keinginan untuk menerapkan prinsip syariah dibidang lembaga keuangan di tanah air dimulai dengan berdirinya lembaga keuangan Baitut-Tamwil Jasa Keahlian Teknosa pada tanggal 30 desember 1980 dengan akta perubahan tertanggal 21 Desember 1982, kemudian di Jakarta didirikan Baitut-Tamwil kedua dengan nama koperasi simpan-pinjam Ridho Gusti yang didirikan tanggal 25 September 1988।

Setelah dikeluarkan PAKTO (paket kebijaksanaan pemerintah bulan Oktober) tahun 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank perkereditan rakyat syariah di beberapa daerah di Indonesia, yang pertama kali mendapatkan izin usaha adalah Bank Perkereditan Rakyat Syariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991, serta BPRS Amanah Rabaniyah pada tanggal 10 November 1991 di Aceh, yang kemudian mendorong didirikannya Bank Umum Syariah (BUS) pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 Mei 1992।

Undang-undang No। 7 tahun 1992 tentang perbankan, dimana perbankan Bagi Hasil diakui. Dalam Undang-undang tersebut pada pasal 13 ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha Bank Perkereditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah (PP) No. 72 tahun 1992. tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil dan di undangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran Negara Republik Indonesia No. 119 Tahun 1992.

Selanjutnya perkembangan perbankan syariah mulai marak ditanah air setelah disahkannya UU No. 10 tahun 1998 yang sekaligus menghapus pasal 6 pada PP No.72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas dalam UU ini memperbolehkan bank umum yang melaksanakan kegiatan secara konvensional agar dapat pula melakukan kegiatan atau usaha berdasarkan prinsip syariah, dengan mendirikan kantor cabang atau di bawah kantor cabang baru dan dengan melalui peng-ubah-an kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Disamping itu dengan telah berlakunya UU No. 21 Tahun 2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya Pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional.

Operasionalisasi Lembaga Keuangan Syariah
Operasionalisasi lembaga keuangan syariah dapat dilakukan berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, meliputi: (1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi; dan (2) Kegiatan usaha Unit Usaha Syariah (UUS). Kegiatan usaha bank umum syariah meliputi:
a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;
e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;
h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan
i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

Sedangkan kegiatan usaha UUS meliputi
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan
e. sarana elektronik;
f. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan
g. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

Jika kita sederhanakan, maka operasionalisasi lembaga keuangan syariah tersebut di atas, dapat kita golongkan ke dalam:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
o giro berdasarkan prinsip wadi’ah
o tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah
o deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
o bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah.

b. Melakukan penyaluran dana melalui:
o transaksi jual beli berdasarkan prinsip murabahah, istishna, ijarah, salam, dan jual beli lainnya.
o pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, dan bagi hasil lainnya.
o pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip hiwalah, rahn, qardh, membeli, menjual dan/ atau menjamin atas risiko sendiri surat‐surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip jual‐beli atau hiwalah.
o membeli surat ‐surat berharga pemerintah dan/ atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas dasar prinsip syariah.

c. Memberikan jasa‐jasa:
o memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah.
o menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antarpihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah.
o menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat ‐surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah.
o melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.
o melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip ujr.
o memberikan fasilitas letter of credit (LC) berdasarkan prinsip wakalah, murabahah, mudharabah, musyarakah, dan wadi’ah, serta memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah.
o melakukan kegiatan usaha kartu debet berdasarkan prinsip ujr.
melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah. .

d. Melakukan kegiatan lain seperti:
o melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan prinsip sharf.
o melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah dan/atau mudharabah pada bank atau perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
o melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah dan atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya.
o bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang‐undangan dana pensiun yang berlaku.
o Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah atau dana sosiallainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).

e. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional. Dalam hal bank akan melakukan kegiatan usaha yang belum difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional, bank wajib meminta persetujuan Dewan Syariah Nasional sebelum melaksanakan kegiatan usaha tersebut. Bank syariah termasuk kantor cabang, atau kantor di bawah kantor cabang bank dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional dan juga tidak diperkenankan untuk mengubah kegiatan usaha menjadi bank konvensional.

Perbedaan Bank Konvensional dengan Bank Syariah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya। Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk‐produk yang dikembangkan oleh bank syariah, di mana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Pada dasarnya, semua jenis transaksi perniagaan melalui bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest yang dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju.

Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi। Cara titipan dan investasi berbeda dengan deposito pada bank konvensional di mana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja nasabah membutuhkan, bank syariah harus dapat memenuhinya. Akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Jika hasil usaha semakin tinggi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya.

Selain itu, bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya। Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana‐dana sosial (zakat, infak, sedekah).

Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip‐prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing‐masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi.

Bank Syariah Dan Sektor Riil
Sampai hari ini dunia perbankan masih digugat oleh berbagai pihak karena belum dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai penggerak roda perekonomian secara optimal sebagaimana diharapkan atau yang lebih dikenal sebagai fungsi intermediasi। Hal ini tergambar dari rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga masih berkisar pada angka dibawah 40 %, jauh di bawah standar yang ditetapkan Bank Indonesia untuk ukuran tingkat kesehatan bank. Padahal salah satu tujuan Rekapitalisasi perbankan adalah untuk menjadikan bank-bank sehat setidaknya dari ukuran kecukupan modal sehingga kembali dapat beroperasi sebagai katalis pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan memulihkan kondisi sosial ekonomi secara bertahap dan terarah.

Salah satu penyebab krisis ekonomi yang berkepanjangan dan bahkan menjadi krisis multidimensi adalah tidak kokohnya landasan etika bisnis yang dibangun di masa lalu bahkan bisa dibilang hampir dikatakan terjadi erosi moral di berbagai lapisan atau strata sosial baik formal maupun informal। Kasus KKN menjadi perbincangan umum dan bahkan seolah menjadi suatu yang sudah sangat sulit dihilangkan, bahkan untuk sekedar dikurangi.

Upaya pemulihan sektor perbankan seringkali terlihat berhadapan dengan kondisi yang memang sudah sangat parah sehingga penyelesaian bank yang bermasalah khususnya terhadap pemilik lama menghadapi berbagai kendala teknis maupun non-teknis khususnya perbenturan kepentingan yang luar biasa besar dan sarat dengan muatan politis। Di sisi lain bank-bank yang sudah direkap atau yang tidak direkap dapat berjalan sebagai bank secara ”artifisial” artinya fungsi bank sebagaimana dikehendaki oleh UU Perbankan belum dapat berjalan secara optimal karena bank-bank dengan berbagai alasan masih lebih suka menyimpan dananya di SBI dengan suku bunga yang memang secara sengaja dibuat attractive dengan alasan klasik dalam rangka pengendalian moneter khususnya tingkat inflasi.

Kontroversi antara sektor moneter dan sektor riel dalam penentuan kebijakan makro ekonomi tidak akan pernah terselesaikan selama ketakutan akan kenaikan jumlah uang yang beredar akibat dibukanya secara lebar-lebar kran kredit dari perbankan dianggap hanya akan menaikkan tingkat inflasi tanpa pernah diperhitungkan di sisi lain toh pemerintah suka atau tidak suka harus menaikkan berbagai tarif dan harga barang-barang publik seperti BBM, listrik, dan lain-lain dalam rangka menekan defisit APBN yang pada gilirannya akan menjadi “cost push inflation”। Artinya perlu dikaji secara mendalam kegigihan otoritas moneter mempertahankan tingkat suku bunga yang tinggi, apa benar secara praktis menjadi solusi terbaik.

Dalam hal ini sebenarnya yang belum disadari atau mungkin dilupakan banyak pihak khususnya pengambil kebijakan ekonomi adalah adanya Bank Syariah yang beroperasi dengan tujuan utama menggerakkan perekonomian secara produktif dan akan sungguh-sungguh menjalankan fungsi sebagai intermediasi, karena secara syariah tugas bank selaku mudharib (pengelola dana) harus menginvestasikan pada sektor ekonomi secara riil untuk kemudian berbagi hasil dengan pemilik dana (shahibul maal) sesuai dengan nisbah yang disepakati। Hal ini terbukti meskipun market share Bank Syariah masih sangat kecil, namun rasio pembiayaan dengan dana pihak ketiga lebih dari 100 % yang berarti sungguh-sungguh menjalankan fungsi intermediasinya.

Masih kecilnya market share tersebut disebabkan antara lain bank syariah mempunyai keterbatasan dana baik dari segi permodalan maupun jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun karena alasan-alasan: (a) pemahaman masyarakat terhadap bank syariah masih rendah; (b) keterbatasan jaringan dan jenis pelayanan yang dimiliki; (c) kurangnya dukungan yang nyata dari kekuatan umat Islam itu sendiri khususnya dari kalangan ulama dan organisasi Islam; (d) kurangnya dukungan dari pemerintah dalam hal pendanaan baik dalam bentuk permodalan maupun dalam bentuk penempatan sebagaimana sering dikeluhkan atau tepatnya dicemburukan oleh para pengelola bank syariah.

Namun demikian meskipun terdapat kendala seperti tersebut di atas setidaknya untuk saat sekarang tanpa harus terlalu berharap banyak dari pemerintah mestinya bank syariah dapat mengambil inisiatif sendiri dengan cara-cara yang sesungguhnya menjadi ciri yang menonjol dari keberadaan bank syariah melalui produknya yang dinamakan mudharabah muqayyaddah, yaitu yang secara teknis dapat digambarkan sebagai berikut:
a) Bank syariah melakukan studi atas proyek-proyek yang secara ekonomis dapat dipertanggungjawabkan kelayakannya dan membuat studi kelayakan secara proyek per proyek dan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan asosiasi pengusaha dan atau lembaga pemerintah.
b) Atas dasar studi kelayakan yang telah dimiliki tersebut maka ditawarkan kepada penyandang dana potensial untuk melakukan investasi secara langsung pada proyek tersebut dengan konsep pembiayaan mudharabah muqayyaddah, artinya bahwa investasi harus digunakan untuk tujuan seperti yang diusulkan dalam studi kelayakan atau proposal dan kemudian berbagi hasil dan bank syariah akan mendapatkan fee selaku arranger/pengatur dan atau ikut mendapat porsi bagi hasil.
c) Bank syariah untuk dan atas nama investor berhak untuk melakukan monitoring dan pengawasan atas kelancaran proyek tersebut dan kemudian melaporkan kepada penyandang dana / investor, sehingga Bank syariah berfungsi sebagai manajer investasi seperti halnya Reksa Dana.
d) Penetapan siklus bagi hasil disesuaikan dengan karakteristik dan siklus bisnis proyek yang didanai sehingga tidak harus secara apriori ditetapkan bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan.
e) Dalam perkembangan selanjutnya Bank syariah dapat mengambil prakarsa untuk mensekuritisasi pembiayaan tersebut sehingga menjadi likuid sepanjang pasar sekundernya sudah tersedia.

Untuk menghindari Bank Syariah menjadi kurang sehat karena memiliki portofolio baru dengan kolektibiliti yang kurang baik maka sebaiknya Bank Syariah hanya bertindak sebagai pengelola dan atau manjer investasi sehingga akan dicatat sebagai off balance sheet dalam neraca Bank Syariah.

Diharapkan dengan terobosan tersebut dapat membantu menggerakkan sektor riil kembali serta akan memberikan kepercayaan baru dari dunia usaha bagi yang benar-benar ingin menyelesaikan hutangnya tanpa suatu beban tetap (baca: bunga) yang sudah ditetapkan di muka dalam situasi yang masih diliputi ketidakpastian.

Disadari atau tidak, selama ini perbankan syariah sedang mencari bentuk ideal, baik bagi deposan, kreditur (Bank Syari'ah) maupun debitur. Kondisi ini semestinya mendapat dukungan sungguh-sungguh semua pihak, terutama umat Islam mayoritas di Indonesia, untuk tetap menjaga agar kontaminasi efek "polarisasi antar agama" yang semakin hari semakin meruncing tidak berakibat buruk bagi kelangsungan hidup Bank Syari'ah itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan upaya radikalisasi pada ranah perbaikan mutu (quality improvement needs) di semua sisi manajemen dan operasionalisasi perbankan syari'ah. Di sinilah peran Public Relation (PR) dari perbankan syariah dibutuhkan. Sehingga muncul pemahaman yang benar tentang perbankan syariah.

Kritik Perbankan Syariah
a. Kritik Terhadap Konsep Riba
Berbeda dengan para tokoh gerakan neo-revivalis dalam pandangan dan argumen-argumen terhadap konsep riba dan bunga bank, tokoh-tokoh gerakan modernis lebih beragam dalam menyampaikan pandangan, mengkritisi ataupun menolak anggapan bahwa bunga bank sama saja dengan riba. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai teori, hasil penelitian dan pengkajian yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Dalam memahami perbedaan ini, sejauh penelusuran penulis terhadap kepustakaan atau literatur-literatur yang ada, perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Kelompok bagian pertama adalah kelompok para modernis yang memandang permasalahan riba tidak hanya bisa diinterpretasikan secara harfiah saja sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, tetapi juga harus memperhatikan aspek moral sebagai landasan utama pelarangan riba.

Kelompok kedua adalah para modernis yang beranggapan bahwa konteks pelarangan riba harus dilihat dari riba sebagai bunga pinjaman yang berlipat ganda atau berlebih lebihan. Dan kelompok ketiga adalah para modernis yang melakukan counter attack dengan cara mengkritisi dan mempertanyakan kembali apakah benar semua transaksi dalam bank syariah itu bebas riba seperti yang mereka (gerakan neo-revivalis) katakan selama ini? Dengan menggunakan data dan fakta empiris hasil dari penelitian dan kajian yang dilakukan secara ilmiah. Meski demikian, pada dasarnya semua tokoh modernis mendasarkan argumen mereka kepada prinsip kemaslahatan ummat, bukan pada teks seperti yang dilakukan oleh para tokoh gerakan neo-revivalis.

Para modernis seperti Fazlur Rahman, Muhammad Asad dan Said al-Najjar dapat dimasukkan kedalam bagian kelompok yang pertama. Dalam pandangannya terhadap permasalahan bunga bank dan riba, mereka menekankan perhatiannya kepada aspek moral sebagai alasan pelarangan riba, dan mengesampingkan aspek legal-formal dari larangan riba, sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum Islam. Argumentasi mereka adalah sebab dilarangnya riba karena menimbulkan ketidakadilan, sebagaimana di dalam al qur’an disebutkan “la tadzhlimuna wa la tuddzhlamun”.

Lebih jauh Fazlur Rahman dengan sedikit menyindir berkata menyatakan bahwa jika mayoritas kaum Muslimin yang bermaksud baik dengan sangat bijaksana tetap berpegang teguh pada keimanan, dengan menyatakan bahwa al-Qur’an melarang seluruh bunga bank. Maka menurut Rahman akan sangat sedih rasanya pemahaman yang mereka dapatkan dengan cara mengabaikan bentuk riba yang bagaimanakah yang menurut sejarah dilarang, mengapa al-Qur’an mencelanya sebagai perbuatan keji dan kejam, mengapa menganggapnya sebagi tindakan eksploitatif serta melarangnya, dan apa sebenarnya fungsi bunga bank pada saat ini.

Para modernis dalam menanggapai berbagai macam bentuk bunga (interest) yang dipraktekkan dalam system perbankan konvensional berusaha membedakan pandangannya antara membolehkan bunga bank secara sah menurut ketentuan hukum dan menolaknya. Penolakan terhadap bunga bank umumnya berdasarkan pada pemahaman dari adanya unsur ketidakadilan.

M. Syahrur dan Abdullah Yusuf Ali adalah para modernis yang dapat kita masukkan ke dalam kelompok kedua. Hal ini disebabkan oleh pandangan mereka yang menyatakan bahwa bunga bank, selama tidak berlipat ganda adalah boleh, sebab belum memenuhi unsur riba. Pandangan Syahrur ini berdasarkan pada teorinya tentang “batas maksimum positif tidak boleh dilewati dan batas minimum negative boleh dilewati” teori ini berimplikasi pada pendapatnya bahwa dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar yaitu riba, dan batas minimal berupa zakat yang dapat dilampaui dengan berbagai macam sedekah. Mengingat bahwa dua batas ini berupa satu garis di daerah positif dan satu garis di daerah negatif, titik tengah diantara keduanya berada pada posisi netral atau dilambangkan dengan angka nol. Pada tataran aplikasi, batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan batas minimal negative berupa zakat dan shadaqah.

Sementara Abdullah Yusuf Ali menjelaskan, bahwa seharusnya larangan ini (terhadap riba) mencakup segala macam bentuk pengambilan keuntungan yang dilakukan secara berlebih-lebihan dari seluruh jenis komoditi, kecuali melarang prinjaman kredit ekonomi yang merupakan produk perbankan meodern.

b. Kritik Terhadap Praktek Perbankan Syariah
Kelompok ketiga dari gerakan modernis yang melakukan kritisi terhadap praktek perbankan syariah, setidaknya bisa disebutkan dua nama yaitu Abdullah Saeed dan Syed Nawaf Haider Naqvi. Abdullaj Saeed mengkritisi akad-akad yang terdapat di dalam perbankan syariah. Sasaran tembak utamanya adalah akad jual beli murabahah, yang menurutnya murabahah adalah penjualan dengan pengembalian yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi kemudian sikap tidak menyukai resiko dari bank-bank Islam memastikan perubahan kontrak untuk menjadi mekanisme keuangan bebas resiko.

Keuangan murabahah dan harga kredit yang lebih tinggi di dalamnya, jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu uang (time value of money) dalam pembiayaan tersebut. Lalu apakah ini tidak sama saja dengan bunga diperbankan konvensional? Sebab perbedaannya hanya terdapat pada nama dan mendapatkan legalitas dari hukum Islam (fiqh). Hebatnya lagi, sebagian besar dari bank-bank Islam umumnya menggunakan murabahah sebagai metode pembiayaan utama, yang mencakup hampir 75% dari assetnya.

Dan dari pengamatan atau penelitian beberapa ilmuwan Muslim, bank syariah dalam penyelenggaraan kegiatan usahanya ternyata bukannya meniadakan bunga dan membagi resiko, tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanana bunga. Namun dengan istilah lain dan menghindarkan resiko yang dilakukan dengan cara yang licik. Kritik dan pernyataan pedas misalnya datang dari Khurshid Ahmad terhadap penyelenggaraan murabahah dan bai’muajjal. Disamping itu, validitas perjanjian transaksi mudharabah sebagai dasar bagi kegiatan perbankan syariah, telah pula dipertanyakan oleh beberapa ilmuwan Muslim. Mereka tidak setuju apabila mudharabah digunakan sebagai dasar bagi kegiatan perbankan syariah dengan alasan bahwa perjanjian mudharabah yang telah dikembangkan di abad pertengahan tidak boleh digunakan untuk keadaan masyarakat industri, sekarang yang kompleks, mudharabah selanjutnya dipakai oleh para kapitalis untuk mengeksploitasi para penabung kecil untuk memperoleh keuntungan tanpa membahayakan keuangan mereka sendiri dan justru mudharabah akan lebih menghidupkan pasar uang berdasarkan bunga.

Selanjutnya Naqvi menjelaskan bahwa reformasi (perbankan) Islam bukan hanya masalah pergantian sistem bunga dengan sejumlah instrumen keuangan dengan tingkat keuntungan tidak tetap, atau dengan instrumen finansial yang melibatkan ditanggungnya resiko dan ketidakpastian. Karena hal tersebut hanya perubahan yang bersifat kosmetik dan formalistik yang tidak merefleksikan reformasi (perbankan) Islam, bahkan jika hal itu dibolehkan secara legal. Menggantikan bunga dengan laba menurut Naqvi juga tidak harus reformasi Islam, karena hal itu mungkin sekedar menggantikan kapitalisme berbasis bunga dengan kapitalisme berbasis laba.

Dari statemen-statemen tersebut, dapat dijelaskan bahwa praktek bank-bank Islam menunjukkan bahwa mereka tidak mampu menghapus bunga dari transaksi mereka, yang dipraktekkan dengan berbagai samaran dan nama. Oleh karena itu barangkali waktunya untuk melihat secara realistis terhadap riba. Dalam perbankan tidak cukup memiliki label Islami, sebagai bank Islam atau perbankan syariah. Pertama dan utama lembaga ini, apakah disebut Islam atau sebaliknya, perlu lebih manusiawi, yang memungkinkan masyarakat untuk mempunyai akses dana berdasarkan kemanusiaan dan biaya yang sesuai.

Dilain pihak, apakah ekonomi Islam yang secara praksis ini, telah menyentuh masalah ke-Indonesia-an? Perlu diketahui, bahwa ekonomi kapitalis saat ini lebih konsern pada masalah dan rasio-rasio makro ekonomi, sedangkan masalah mikro tidak tersentuh langsung (hanya menjadi dampak makro ekonomi). Sedangkan ekonomi sosialis sendiri sepertinya berjalan di tempat, terbukti dengan makin tereduksinya Pasal 33 UUD 1945. Keinginan Pasal 33 UUD 1945 untuk menjadi jalan tengah kapitalisme dan sosialisme, yaitu ekonomi kerakyatan serta lebih dari itu ingin mewujudkan negara ber-Ketuhanan. Tetapi kenyataannya, bagaimana ekonomi kita sekarang, menjadi ekonomi kerakyatan “semu” atau menjadi subordinat Neoliberalisme. Kemungkinan besar disinilah ekonomi Islam menunjukkan bahwa saat ini ia tengah melangkah menuju kapitalisme religius.

Menangkap “Gambaran Besar” Keuangan Islam Dalam Suatu Pendekatan
Sebenarnya maksud kajian dalam makalah ini adalah tidak untuk mendukung atau menolak sebuah versi kajian syariah tertentu sehubungan dengan konsep perbankan dan keuangan. Namun, mencoba menghadirkan bagaimana dan mengapa pada berbagai tempat dan masa yang berbeda, interpretasi-interpretasi dan praktek-praktek perbankan dan keuangan menjadi berbeda dengan apa yang diharapkan. Pertanyaan yang mungkin timbul adalah apakah dengan pemahaman yang selama ini -karena perbankan dan keuangan syariah timbul dari cikal bakal penafsiran yang berbeda menyangkut riba, telah benar-benar mengalami sukses, seperti tangga puncak harapan? Hal ini terkadang di jawab dalam perspektif “tergantung” yang tentu saja sebuah respon yang sangat mengecewakan untuk sebuah kajian kritis-informatif dan membangun.

Ibrahim Warde mengidentifikasi hal ini sebagai akibat bahwa seluruh studi-studi terhadap keuangan Islam dikarakterisasikan oleh reduksionisme teologis, keuangan dan legalistik. Selain itu, kebanyakan studi-studi tersebut mempunyai orientasi studi kasus yang kuat, terfokus pada satu negara, terkadang pada satu lembaga keuangan, untuk menggambarkan kesimpulan-kesimpulan yang luas. Menurut Warde hal ini memberikan pandangan-pandangan yang dangkal terhadap perbedaan dan kompleksitas fenomena keuangan Islam, termasuk menghalangi kita untuk menangkap ‘gambaran besar’ keuangan Islam. Disinilah warde selanjutnya menawarkan berbagai pendekatan-pendekatan empiris, historis komparatif dan interdisipliner untuk mendeskripsikan secara jelas topik-topik yang multidimensi tanpa terjebak pada perspektif-perspektif monolostik, abstrak dan dogmatis.

Ambil contoh Thaha yang dalam membangun konsepnya beranjak dari pemahaman akan realitas dan teks. Meskipun katagorisasi ayat-ayat al-Qur’an menjadi Makiyah dan Madaniyah Thaha mengacu pada sasaran untuk mengetahu pesan-pesan ayat. Namun setelah melakukan telaah mendalam Thaha kemudian menyatakan bahwa al-Qur’an memuat dua katagori pesan yakni pesan dalam tataran iman dan pesan dalam tataran Islam. Menurut Thaha manusia pada saat ini tidak memiliki kemampuan untuk membedakan secara cermat antara Islam dan Iman. Mereka berkeyakinan bahwa iman lebih besar daripada Islam dan terperangkap dalam kekeliruan ini karena mereka tidak mampu merasakan kondisi waktu itu. Hal itu lantaran waktu ketika pemahaman tersebut benar, telah berlalu, sementara waktu ketika pemahaman terhadap agama mengalami perkembangan, telah menjelang, waktu telah mengalami pergeseran dari tataran iman ke tataran Islam.

Apa yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa keberagaman dalam keuangan Islam, sifat dinamisnya, dan interaksinya dengan lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu penekanannya adalah pada konteks historis, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan (culture). Banyak contoh-contoh mengenai seberapa jauh keuangan Islam tertanam dalam kerangka budaya, institusi dan pemahaman keagamaan. Contoh paling dekat adalah Indonesia yang dikatakan sebagai negara Pancasila, dimana institusi-institusi dan masyarakatnya dibangun berdasarkan interpretasi atas Pancasila, disamping interpretasi Islam atas mazhab syafi’iyah. Namun tereduksi sedemikian rupa oleh ide Islamisasi.

Disamping penekanan pada konteks, pendekatan sejarah dalam memahami keuangan Islam juga tidak kalah pentingnya, namun juga sangat dibutuhkan guna memahami secara terus menerus perubahan sifat hubungan antara berbagai aspek kehidupan dengan Islam guna menghadapi situasi dan kondisi yang baru pula. Demikian juga untuk memahami konsekuensi-konsekuensi pergantian era, baik dalam sistem politik dan ekonomi dan dari pertumbuhan, perkembangan dan kesejahteraan.

Dimana antara satu era dengan era lainnya meninggalkan implikasi dan dampak yang berbeda dalam pola kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kultur masyarakat. Disamping meninggalkan institusi-institusi yang memiliki relevansi dengan perkembangan keuangan dan perbankan dalam era saat ini dan untuk pengembangnnya di masa yang akan datang.

Dalam usaha untuk menginterpretasikan Islam karena perubahan situasi dan kondisi, atau untuk merekonstruksi paradigma-paradigma lama, maka sangat penting jika usaha-usaha penginterpretasian tersebut menghubungkan ide-ide dengan konteksnya yang spesifik. Pertimbangan-pertimbangan sejarah semacam itu sangat diperlukan guna memahami evolusi Islam juga keuangan Islam, dan guna menemukan semangat dalam bingkai moral ekonomi normatif.

Selain referensi-referensi historis, referensi-referensi komparatif juga dibutuhkan untuk memasukkan segala fenomena yang terjadi dalam perspektif yang tepat dan menggambarkan hubungan (pararel) yang bermanfaat. Dalam kasus Islam, menurut Warde, hal ini diperlukan guna menghilangkan mitos-mitos yang ditimbulkan pada masa awal kemunculan Islam. Pada masa masa sekarang ini, sejumlah investasi sosial yang cukup banyak jumlahnya dijalankan oleh kelompok-kelompok keagamaan dan dalam hampir seluruh isu-isu keuangan, permasalahan etika (yang banyak sekali diwarnai oleh agama) selalu mengemuka. Dengan pertimbangan ini pula, gerakan revivalisme keagamaan tidak eksklusif terbatas hanya kepada Islam, dan hal ini menurut Warde sangat jarang didiskusikan dalam perspektif komparatif.

Selanjutnya untuk menangkap berbagai aspek keuangan Islam, disinilah pendekatan interdisipliner sangat diperlukan. Hampir seluruh isu-isu seputar perekonomian dan keuangan Islam dapat dilihat dari aspek yang berbeda. Misalnya riba, ia tidaklah seperti sebuah masalah besar karena sesuatu yang bersifat sama dengan bunga (interest), namun ini akan sangat penting jika terkait dengan aspek pemasaran dan keagamaan. Karena itulah maka berbagai pendekatan tersebut di atas dapat diakomodasi dalam mengkaji aspek keuangan dan perbankan dalam Islam. Sebab yang paling utama dari semua pembahasan menyangkut ekonomi dan keuangan Islam -menurut teori Thaha adalah terciptanya suatu sistem ekonomi yang berkeadilan, yang dapat menangkap semangat ayat-ayat yang mendasarinya dan mensejahterakan ummat.

Penutup
Sebagai penutup uraian-uraian terdahulu dari tulisan ini, perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut: pertama, Munculnya instrumen perekonomian dalam bentuk perbankan syariah menimbulkan beberapa polemik dalam khazanah pemikiran umat Islam, khususnya intelektual Muslim kontemporer. Kedua, Sebagaimana bank konvensional, bank syariah juga memiliki fungsi intermediasi. Perbedaan hanya terletak pada instrumen yang digunakan, jika bank konvensional menggunakan bunga, maka perbankan syariah menarik dan mengharamkan diri dari bunga dan sebagai alternatif lebih menekankan pada prinsip bagi untung dan sharing rugi.

Ketiga, interpretasi gerakan neo-revivalis tentang riba dan bunga bank yakni gerakan ini memiliki pemahaman yang sama akan haramnya bunga bank karena sama dengan riba. Landasan umum yang mereka pegang adalah bahwa setiap bentuk tambahan dari harta pinjaman pokok, baik banyak maupun sedikit adalah riba dan haram hukumnya. Keempat, terdapat sebagian ekonom muslim yang meletakkan dasar sejarah perkembangan lembaga keuangan syariah (perbankan syariah) semenjak zaman Nabi SAW yakni dengan telah diletakkannya prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang harus dijadikan pedoman dalam aktivitas perdagangan dan perekonomian, dan dilanjutkan pada masa sahabat, Bani Umayyah dan bani Abbsiah. Sedangkan perkembangan sangat pesat perbankan syariah ditunjukkan dengan telah diterapkannya konsepperbankan syariah ini dinegara-negara maju dan sebagain dunia berkembang seperti Indonesia yakni dengan telah diberlakukannya UU No. 21 tahun 2008 yang secara khusus membahas perbankan syari’ah merupakan upaya Pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional.

Kelima, operasionalisasi lembaga keuangan syariah dapat digolongkan ke dalam menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, melakukan penyaluran dana, memberikan pelayanan berupa jasa-jasa dalam lalu lintas transaksi keuangan dan kegiatan lainnya yang lazim dilakukan dalam dunia perbankan. Keenam, perbedaan bank konvensional dan bank syariah dapat dilihat dari aspek pada landasan falsafah yang dianutnya, akad dan aspek legalitas. lembaga penyelesaian sengketa, struktur organisasi, investasi, oprinsip organisasi, tujuan dan hubungan bank dengan nasabah.

Ketujuh, hingga hari ini dunia perbankan masih digugat oleh berbagai pihak karena belum dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai penggerak roda perekonomian secara optimal sebagaimana diharapkan atau yang lebih dikenal sebagai fungsi intermediasi, terutama bagi sektor riil. Kedelapan, diperlukan upaya radikalisasi pada ranah perbaikan mutu (quality improvement needs) di semua sisi manajemen dan operasionalisasi perbankan syari'ah. Disini peran Public Relation (PR) dari perbankan syariah dibutuhkan. Sehingga muncul pemahaman yang benar tentang perbankan syariah.

Kesembilan, masih banyak kritik konstruktif yang ditujukan pada praktek operasional perbankan syariah yang selama ini masih berlangsung, baik dari aspek operasional produk, manajemen dan aspek sumber daya manusia. Kesepuluh, selama ini studi-studi terhadap keuangan Islam dikarakterisasikan oleh reduksionisme teologis, keuangan dan legalistik. Selain itu, kebanyakan studi-studi tersebut mempunyai orientasi studi kasus yang kuat, terfokus pada satu negara, terkadang pada satu lembaga keuangan, untuk menggambarkan kesimpulan-kesimpulan yang luas, hal ini berdampak pada adanya pandangan-pandangan yang dangkal terhadap perbedaan dan kompleksitas fenomena keuangan Islam, termasuk menghalangi kita untuk menangkap ‘gambaran besar’ keuangan Islam. Karenanya dibutuhkan pendektan-pendekatan empiris, historis komparatif dan interdisipliner untuk mendeskripsikan secara jelas topik-topik yang multidimensi tanpa terjebak pada perspektif-perspektif monolostik, abstrak dan dogmatis.

Kepustakaan
Abdul Sami’ al-Mishri. 2006. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah Saeed, 2004. Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. Terj. Arif AMftuhin. Jakarta: Paramadina
Abu ‘Ala al-Maududi, 1984. Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam. Bandung: Al Ma’arif.
Adiwarman A Karim. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Afzalur Rahman. 1996. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid III. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Awalil Rizky dan Nasyith Majidi. 2008. Indonesia: Undercover Economy Bank Bersubsidi Yang Membebani. Jakarta: E-Publishing.
Dawam Raharjo. 1985. Orientasi Pembangunan di Dunia Islam dalam buku AE. Priyono, dkk. Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: PLP2M.
Dawam Raharjo. 2004. Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi. Dalam buku Adiwarman A. Karim. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Daja Grafindo Persada.
Edy Suandi Hamid. Makalah. Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangannya, disampaikan Dalam Studium Generale Program Pasca Sarjana FIAI MSI UII di Yogyakarta, 13 September 2008
Fazlur Rahman, 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intelektual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press
Gemala Dewi, 2005. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Peransuransian Syariah Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Badan Penerbit FH UI
Hermansyah. 2008. Dakwah Menuju Islam Kaafah. Yogyakarta: Starbook Media
Ibrahim Warde 2009. Islamic Finance Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global. Terj. Andriyadi Ramli. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Syafe’I Antonio. 1999. Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendikiawan. Jakarta: Tazkia Institute.
Muhammad Syahrur, 2007. Prinsip dan Dasar Hermeutika Hukum Islam Kontemporer. Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri. Yogyakarta: Elsaq Press
Muhammad. 2005. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press
__________. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
___________. 2005. Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta: EKONISIA.
Max Lane. 2007. Bangsa yang Belum Selesai, Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institute.
Rahmat Tohir Ashari. 2001. Konsep Pergerakan Ikhwan Al-Muslimin: Upaya Mengenal hasan Al Banna Lebih Dekat dalam buku M. Aunul Abied Shah et al. Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan.
Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Kanisius: Yogyakarta.
Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Syed Nawab Haidar Naqvi, 2003. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqil Mubin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yusuf Qardhawi. 2001. Hikmah Pelarangan Riba. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

I n t e r n e t
Baraba, Achmad, 2002. Peluang Bank Syariah Menggerakkan Sektor Riel, www.tazkia.com 28 Mei 2010
Statsitik Perbankan Syariah hingga Maret 2010 pada www.bi.go.id akses pada 28 Mei 2010
Kebijakan Moneter Syariah dalam Al Qur’an dan Hadist. http://www.indoforum.com.downloaded di akses pada 22 November 2009.

1 Comment:

isya said...

makasih atas informasinya mas, jazakumullah
dari hamba allah

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id